(c) Reuters |
Kisah ini bahu-membahu telah disimpan semenjak 9 tahun silam dan tidak pernah diceritakan kepada siapapun. Wirzaini Usman, PNS yang bekerja di pemkot Banda Aceh menuturkan kisah yang mengharukan itu menyerupai dikutip dari Merdeka.com. Saat tsunami melanda pada 26 Desember 2004 lalu, adiknya Hamdani hilang. Dia sempat pesimis bahwa adiknya itu selamat.
"Yang belum jumpa hanya adik saya Hamdani, dikala itu orang renta saya yang sudah renta semakin pesimis, seolah-olah Hamdani tidak selamat, sedangkan saya dan adik wanita hari kedua sudah jumpa," kata Wirzaini.
Saat kejadian, kata Wirzaini, adiknya sedang berada di Pulau Aceh sedang Kuliah Kerja Nyata (KKN). Tentu sulit untuk melacak keberadaannya yang jauh dari Banda Aceh. Untuk menuju pulau tersebut, harus menempuh perjalanan maritim sekitar 2,5 jam dengan menggunakan angkutan laut.
Hari ke-3 tsunami, tepatnya pada hari Rabu, ia bersama ayahnya kembali berangkat ke Banda Aceh untuk mencari Hamdani yang belum menerima kabar apakah selamat atau tidak. Mereka hari itu masih optimis bahwa Hamdani selamat, kemudian ia mencari dari posko pengungsi dari Lambaro dan juga di sejumlah lokasi pengungsian lainnya. Akan tetapi tetap tidak ada gejala keberadaan Hamdani.
"Saat itu kami sudah semakin pasrah, apa lagi sehabis mendengar dongeng salah seorang petugas PMI, Desa Lampunyang, Pulau Aceh terbelah dua, kecil orang sanggup selamat di situ," imbuhnya.
Saat itulah, lanjut Wirzaini, ayahnya semakin syok dan nyaris jatuh dikala mendengar informasi tersebut. Pasalnya, Desa Lampunyang itu lokasi KKN Hamdani di Pulau Aceh. Karena melihat kondisi ayahnya tidak memungkinkan, Wirzaini tetapkan untuk kembali ke Sigli.
"Kami takut ayah semakin syok, sebab ayah ada sakit jantung, makanya kami pulang dulu," imbuhnya.
Pada hari Kamis, tepatnya hari kelima sehabis tsunami, Wirzaini bersama kakak kandungnya kembali ke Banda Aceh untuk mencari Hamdani. Namun tiba-tiba dikala hendak berangkat dengan menggunakan sepeda motor, ia dipanggil oleh ayahnya sambil tertatih-tatih mendekati mereka.
"Nak, ini kantong mayat, tolong kau cari yang menyerupai dengan Hamdani, kau bawa pulang ke sini," kata Wirzaini menjiplak pesan Ayahnya dikala hendak berangkat ke Banda Aceh mencari Hamdani.
Tak terasa isak tangis kedua orang tuanya tidak terbendung, demikian juga sejumlah sanak keluarganya yang berkumpul di rumah sudah pasrah. Mereka hanya berharap sanggup melihat jenazah Hamdani, keluarga besar tidak lagi menaruh keinginan Hamdani sanggup selamat.
Sesampai ke Banda Aceh, kemudian ia mencari ke seluruh tumpukan jenazah dan juga lokasi sentra pengungsian korban tsunami. Tujuannya hanya satu, mau membawa pulang Hamdani meskipun jenazah yang ia dapatkan. Hal ini sesuai dengan usul kedua orang tuanya.
"Jadi waktu itu saya dan abang, mau pinjam bahtera nelayan mau ke Pulau Aceh untuk cari Hamdani," ungkapnya.
Niat menyeberang ke Pulau Aceh urung dilakukan. Dari kejauhan ia melihat beberapa orang mahasiswa yang menggunakan jas almamater PGSD. Bergegas ia menghampiri mahasiswa tersebut dan menanyakan keberadaan adiknya dengan memberitahukan ciri-ciri Hamdani.
"Jadi pribadi mereka bilang, ada di Desa Go Gajah, sebab sedang menghantar sekitar 6.000 korban tsunami dari Pulai Aceh," kata Wirzaini.
Saat itulah, Wirzaini merasa lega dan senang. Kendati demikian, ia belum puas hatinya jikalau tidak jumpa secara langsung. Karena teringat akan pesan orang tuanya, ia diamanahkan untuk membawa pulang Hamdani hidup ataupun sudah meninggal.
"Waktu jumpa pribadi saya minta di pulang, sebab keluarga dan ayah dan ibu menunggu," ungkap Wirzaini. Kini Hamdani sudah menjadi PNS di Pemerintah Kabupaten Pidie.
Tidak ada komentar