Minggu, 14 Mei 2017. Hari terakhir kami di Pulau Weh. Hmm... Rasanya belum puas jalan-jalan keliling pulau ini. Masih banyak daerah yang belum sempat kami eksplorasi. Definitely, harus ke sini lagi nanti!
Semalem lezat banget tidurnya, ditemanin bunyi ombak dan hambar hujan (lagi-lagi hujan). Dan kami serasa diisolasi dari dunia luar sebab ngga ada sinyal HP sama sekali. Saya sama mba Riris yang awalnya mau naik kapal paling pagi ke Ulee Lheue, kesannya mutusin buat naik kapal kedua, sebab males masih pengen menikmati suasana penginapan. Namun betapa kagetnya saya, ketika ngecek jadwal di hari Minggu itu, kapal kedua gres ada pukul 14.00! Wtf. Kami lantas buru-buru packing, kemudian pamit ke Kak Eva buat check-out.
Kembali, saya memacu motor menyusuri jalanan panjang menuju Pelabuhan Balohan. Dan lagi-lagi, kami dimanjakan dengan pemandangan alam Pulau Weh yang sungguh stunning and breathtaking. Alhamdulillah pagi itu cerah. Tapi entah siang/sorenya tampaknya bakal hujan lagi...
Asma'ul Husna di sepanjang jalan
One of the breathtaking scenes
Singkat cerita, kami hingga di Pelabuhan Balohan. Dan benar saja, sehabis tanya sana-sini, ternyata kapal kedua gres berangkat pukul 14.00. Hmm..
Port of Balohan
Agak kzl sendiri ya sebenernya, soalnya di Banda Aceh kita udah nyusun itinerary sedemikian hingga. Akhirnya, berantakan. And tbh, I lost my mood at that time.
Kami kemudian cari warta tiket kapal. Opsinya tetep ada dua: kapal cepat dan lambat. Of course, kami ingin kapal cepat, tapi sayang konternya lagi tutup. Terus ada seseorang bapak (ngga ngerti siapa) yang bilang kalau tiket kapal cepat-nya udah sold out (?) sebab udah di-booking sama rombongan. What? Seriusan kapalnya sanggup “disewa” kayak gitu?? That’s unbelievable.
Kami ngga mikir panjang lagi, dan pribadi ke konter si kapal lambat. Ternyata belum buka juga. Terus kami ngobrol sama seseorang laki-laki (yang tiba-tiba muncul entah darimana). Dia ngejelasin ihwal tiket kapal lambat, tarifnya, dan bla bla bla.. hingga kesannya dia nanya tiketnya buat berapa orang, atas nama siapa, dsb. It happened so fast hingga saya ngga sempet mikir.
Terus dia bilang total tiketnya Rp54.000,00. Dan sehabis saya crosscheck sama daftar harga (yang saya foto di Ulee Lheue), total harganya bener jumlahnya (Rp27.000,00/orang). So, kami kasih aja uangnya, dan kami tinggal keluar pelabuhan buat cari makan. Nah, pas lagi jalan inilah saya gres mikir.
Who the fvck was that guy? Tadi itu siapa cobak? Dia ngga keliatan kayak petugas resmi. Kenapa kita beli tiket ke dia? Gimana kalau dia kabur bawa duit kita? Apa dia calo? O my God, like, kenapa kami ngga interogasi dia dulu sebelum nyerahin duit. Heft. I just lost my mind. Dan kami kesannya tau yang “sebenarnya”, beberapa waktu kemudian ketika kami kembali ke pelabuhan.
Meanwhile, sambil nunggu kapal, kami cari makan siang. Kami putusin buat balik lagi ke kota Sabang, dan alhamdulillah, si ibuk penjaga motor ngebolehin kami pinjem motornya lagi. Yea. Kali ini yang nyetir mba Riris, kerana saya sudah lelah dengan semua drama yang terjadi hari itu.
Balik Sabang lagi
Awalnya kami mampir ke daerah sate gurita, tapi sate-nya gres ada pukul 17.00. Duh apes. Kami lantas pindah ke daerah berikutnya, yaitu Kedai Mie Sedap (bukan brand mi instan ya). Agak susah cari tempatnya, soalnya alamat yang kami sanggup dari googling ternyata beda. Tapi lokasinya ngga jauh dari situ. Masih di sekitaran pasar-nya Sabang.
Pas hingga kedainya, saya sebenernya masih agak ragu ini bener apa enggak. Namun begitu mie-nya disajikan, (saya cocokin sama gambar di Google juga) ternyata bener ini daerah penjual Mie Jalak yang populer itu!
Mie Jalak
Kalau dari penampakannya sih, sama kayak mi ayam pada umumnya ya. Dimasak ala-ala Chinese, dan porsinya tidak mengecewakan banyak. Tapi yang paling lezat berdasarkan saya adalah... telurnya yang dimasak setengah mateng. Makara kuningnya melted-melted gitu. Harganya juga cukup terjangkau, Rp15.000,00/porsi.
Perut sudah terisi, saatnya kami kembali ke pelabuhan.
Balik lagi ke pelabuhan
(Di pelabuhan) Setelah ngembaliin motor, kami bergegas ke loket kapal lambat. Wew udah ramai bengets itu ruangannya. Saya pun mulai was-was. Bagaimana caranya kita nyari si laki-laki ‘misterius’ tadi? Dan pas kami telusuri antrian di depan lokat, alhamdulillah, kami ketemu si laki-laki itu—yang ternyata lagi ngantri beli tiket. Si laki-laki itu pun ngasih tiket kapal atas nama kami, kemudian... dia minta uang (seikhlasnya) buat ongkos ngantri..
Damn I knew it. Dia ternyata CALO beneran kan! Heft... Akhirnya saya kasih aja Rp10.000,00, sambil dalem hati menggerutu. It’s not really about the money, tapi ihwal bagaimana saya seharusnya lebih tegas dan bernafsu ketika ketemu “orang-orang” macem ini.
Lets just go...
Terus saya jadi inget, si bapak-bapak yang bilang tiket kapal cepat-nya udah sold out, saya yakin 99,99% dia juga CALO yang lagi ngantri beli tiket! Dia niscaya sengaja bilang sold out semoga kami ngga ikutan ngantri. Makara kesempatan dia buat dapet tiket akan lebih besar.
Saya dapet pelajaran, bahwa biasakanlah untuk membeli atau bertanya ketersediaan tiket pada loket/petugas resmi. (diriwayatkan oleh korban calo)
Boarding...
Move on, sekitar pukul 14.00, kami kesannya sanggup naik kapal. That was so crowded! Saya sama mba Riris naik ke dek atas yang terbuka. Dan setelah-agak-lama kemudian, kapal kami pun bergerak meninggalkan dermaga. And we said farewell to Weh Island..
Seeya!
Ini kami disalip sama kapal cepat. Heft kzl
Perjalanan kami memakan waktu sekitar 2 jam, jadi kami datang di Pelabuhan Ulee Lheue sekitar pukul 16.00. Di sana, kami dijemput sama Bang Jon (temennya Bang Zul sewa motor), yang mana ia menyediakan sewa bentor (becak motor). Kami deal harga sewa Rp200.000,00 buat keliling Banda Aceh (termasuk ke Lampuuk sebenernya) dari sore hingga malem. Imo, seharusnya sanggup lebih murah lagi ya, tapi pas kami liat bentornya, OMG, ternyata gede & fancy banget. That was hilarious. Udah berasa kayak seleb lokal.
Welcome back at Ulee Lheue
And welcome to Banda Aceh
Destinasi pertama kami yakni Museum Tsunami. Saya udah ketar-ketir sih, takut ngga sempat soalnya museumnya tutup pukul 16.45. Dan akan sangat mengecewakan, kalau udah hingga Banda Aceh tapi ngga mampir ke museum yang iconic ini. Namun alhamdulillah, pas kami hingga sana, tempatnya masih buka. Meskipun ya tinggal beberapa menit lagi.
Run run run at Tsunami Museum
Kami buru-buru masuk, dan ternyata tiketnya gratis. Yey. Setelah melewati pintu masuk, kita akan pribadi dihadapkan dengan sebuah lorong, yang dihiasi “air terjun” di dindingnya, sambil terdengar sayup-sayup dzikir “Laa ilaaha illallah”. Bikin merinding. Seakan kita dibawa pada di situasi tsunami 26 Desember 2004 silam.
Kemudian, kami memasuki ruang multimedia dimana kita sanggup menyaksikan slide-slide gambar kejadian Tsunami 2004.
Ruang Multimedia
Setelah itu, kita akan melewati ruangan (yang paling emosional berdasarkan saya), yakni Ruang Sumur Do’a (Chamber of Blessing). Ruangan ini berbentuk silinder, yang di dindingnya ditempel nama-nama korban peristiwa tsunami.
Selama di sini, kita akan ditemani dengan bunyi lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Dan apabila kita tengok ke atas, kita akan melihat goresan pena lafadz “Allah” yang tampak bercahaya di antara dinding ruangan yang gelap. Hmm... Seakan mengingatkan, bahwa suatu ketika nanti, kita semua niscaya kembali kepada-Nya. Tanpa kita ketahui kapan, dimana, dan dengan cara ibarat apa.
Next, kita akan melewati jalan spiral ke atas hingga di sebuah jembatan panjang. Dari sini kita sanggup melihat, di langit-langit gedung ada banyak bendera dari banyak sekali negara yang turut membantu Indonesia ketika peristiwa tsunami terjadi.
The bridge
The flags
Kemudian, kita hingga di lantai tiga (kayaknya). Di sini, kita sanggup melihat ruang festival yang menyimpan benda-benda peninggalan ketika tsunami terjadi. Namun sayang, kami tidak sanggup melanjutkan keliling museum lebih jauh, sebab udah mau tutup. Too bad. But still, it was a nice experience tho. J
Maket Museum Tsunami
Plakat Kerjasama Red Cross accross the world
Temporary Exhibition room
Setelah dari Museum Tsunami, kami lanjut ke lokasi PLTD Apung I, di Desa Punge Blang Cut. That was insane ya. Bayangin aja, kapal seberat 2.600 ton terseret sejauh 5 kilometer dari maritim hingga ke desa ini. Wew.
PLTD Apung
Monumen Tsunami
Kami kemudian mampir juga di lokasi kapal yang “nyasar” hingga ke perumahan penduduk. Nggak jauh dari PLTD Apung tadi. Sayangnya, kami ngga sempat mampir ke “kapal di atas rumah” sebab lokasinya agak jauh dan tiba-tiba... hujan deres! Heft.
Kapal di tengah permukiman
Rencana kami ke Pantai Lampuuk pun gagal juga (Fyi, kata Bang Jon, kalau malam, pantai-pantai di Aceh ini “ditutup” semoga ngga ada muda-mudi non-muhrim yang berduaan/pacaran—due to the sharia rules, I guess)
Kami kemudian cari penginapan di sekitaran Banda Aceh dan kesannya menjatuhkan pilihan di Hotel Prapat. Lokasinya di tengah kota dan harganya cukup terjangkau mulai dari Rp100.000,00-an/malam. Kami pribadi cek in dan naruh barang.
Hotel Prapat
Menjelang Maghrib, saya sama mba Riris keluar lagi, masih sama Bang Jon. Kami minta diantar ke Masjid Raya Baiturrahman untuk sholat Maghrib. Alhamdulillah yah, seneng rasanya sanggup sholat di masjid yang jadi landmark pujian Banda Aceh.
Masjid Raya Baiturrahman
Lepas Maghrib, kami minta diantar buat makan malam di salah satu resto (lupa namanya apa, yang penting makan), dan sehabis itu, kami pribadi balik ke hotel!
I just wanted that day to be over. Lelah sudah rasanya menghadapi semua “cobaan” di hari itu. Esok hari, kami akan melanjutkan perjalanan kami ke... Danau Toba! So, stay tune
NaraHubung:
Kedai Mie Sedap
Jl. Perdagangan, Kuta Barat, Sukakarya, Kota Sabang, Aceh 24411
Museum Tsunami Aceh
Jl. Sultan Iskandar Muda No.3, Sukaramai, Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Aceh 23243
Buka: 09.00-16.45
Hotel Prapat
Jalan Jenderal Ahmad Yani No.19
Telp.: (0651) 22 159
Masjid Raya Baiturrahman
Masjid Raya, Kp. Baru, Baiturrahman, Kota Banda Aceh
Bang Jon (sewa bentor)
Telp.: 081360231339
Sumber http://ferydyan.blogspot.com
Tidak ada komentar