“Saya suka traveling gara-gara Tintin. Saya ke Tibet gara-gara terinspirasi Tintin waktu saya kecil,” ucap Kang Ocon, trip organizer Mata Indonesia (sekarang sudah vakum) yang saya kenal dalam tripnya ke Karimunjawa. Kang Ocon juga suka menggambar dan seorang desainer grafis. Ya, dua hal inilah yang selalu saya asosiasikan dengan Tintin; traveling dan gambar.
Saya sendiri mulai membaca Tintin semenjak SD, ketika komik asal Belgia ini masih diterbitkan oleh Indira. Terima kasih pada kakak saya yang waktu itu mengoleksinya, walaupun ketika giliran saya membaca beberapa judul sudah raib entah ke mana. Judul-judul menyerupai “Rahasia Unicorn”, “Petualangan di Bulan”, dan “Laut Merah”, sangat terperinci dalam ingatan saya hingga kini. Isi ceritanya kadang saya ingat kurang jelas atau tertukar-tukar, tapi tokoh-tokoh utamanya saya masih sangat ingat, menyerupai Bianca Castafiore si diva seriosa bersama Irma, asistennya, Profesor Calculus (Lakmus) yang pikun, Thomson & Thompson (Dupon & Dupont) si detektif kembar yang selalu sial, Snowy (Milo) yang suka jail, dan tentunya Kapten Haddock si pemabuk.
Kostum masing-masing tokoh juga sangat khas, menyerupai celana ngatung dan sepatu cokelat Tintin, sweater biru dan topi pelaut si Kapten, dan jaket hijau si Profesor. Garis gambar, bentuk, serta gerakan badan tokoh-tokohnya pun khas. Beberapa kali saya melihat gaya gambar orang lain, sangat gampang menebak apakah ia terpengaruh komik Tintin atau tidak.
Akhir-akhir ini, saya mulai mengumpulkan komik Tintin lagi, satu-persatu, semenjak ia diterbitkan lagi, kali ini oleh Gramedia. Saya juga sedang membaca (walaupun usang sekali progresnya) buku “Tintin, The Complete Companion” yang membahas tiap judul Tintin dari segi latar belakang cerita, perkembangan gambar, hingga kaitannya dengan kehidupan langsung Herge sang pencipta Tintin. Memang selalu menarik untuk mengupas apa saja yang terjadi di balik sebuah karya besar.
Beberapa hal menarik yang diceritakan buku itu antara lain: bahwa Herge selalu melaksanakan riset sebisanya sebelum menciptakan dongeng dan gambar Tintin. Banyak detail wacana dunia internasional dalam komik Tintin yang akurat walaupun di tahun 1920an – awal 1980an, masa Herge berkarya, belum ada internet. Herge selalu menyimpan foto-foto rujukan yang didapatnya dari majalah, koran, dan sumber mana saja. Herge juga kadang mendahului kemajuan zaman, contohnya Tintin yang sudah mendarat di bulan bahkan sebelum Neil Armstrong, dan memasukkan TV sebelum TV masuk Belgia. Namun Herge juga sempat tersandung gosip rasisme ketika Tintin di Congo. Saat itu ia mendengar dongeng wacana Kongo hanya dari pihak kolonial, sehingga persepsinya wacana orang Kongo di seri itu kurang sempurna dan terlalu mendiskreditkan, walaupun ia tidak bermaksud rasis.
Cerita-cerita komik Tintin sangat kaya rujukan dari dunia nyata. Ia memasukkan unsur-unsur Perang Dunia, nama-nama tokoh kerajaan dan politik yang disamarkan, dan kemajuan teknologi. Hebatnya, Herge tetap sanggup menciptakan saya – dan para penggemar lainnya – tergelak melihat adegan demi adegan di panel-panel komik ini, dari humor slapstik hingga situasional. Terjemahan bahasanya pun sangat kreatif, tidak cuma memindahkan bahasa, tapi juga gagasan ke konteks Indonesia. Terpujilah sang penerjemah dengan makian “sejuta topan badai”, “kutu busuk”, dan bahasanya yang bersahabat dengan percakapan sehari-hari orang Indonesia (setidaknya di bab barat).
Karena Tintin yaitu wartawan serba bisa, cepat belajar, dan sangat penasaran, ia sering terlibat dalam peristiwa-peristiwa di banyak sekali negara. Dari petualangan-petualangannya yang internasional ini saya jadi tahu yang namanya binatang llama, suku Inka, kapal selam, “rok” kotak-kotak Skotlandia, dan banyak hal lainnya. Ada 24 judul buku komik Tintin yang terbit hingga kesannya Herge meninggal dunia. Yang terakhir, “Tintin dan Alpha Art”, belum selesai digambarnya.
Poster program merayakan ulang tahun Herge ke 110. |
Pada tanggal 22 Mei 2017, para penggemar Tintin di Jakarta berkumpul di Paviliun 28 untuk merayakan ulang tahun Herge ke-110 (jika masih hidup). Mungkin kesannya berlebihan untuk merayakan ulang tahun seseorang yang kita tidak kenal secara pribadi, apalagi setelah ia meninggal 34 tahun lalu. Namun sesungguhnya, bagi saya perayaan itu lebih sebagai perayaan karya hebat, pengabdian penuh, dan ajang para penggemar untuk bernostalgia dan mengekspresikan rasa cinta pada komik Tintin.
Kapten Haddock "hadir", minus Loch Lomond, alasannya yaitu di Paviliun 28 adanya Jamu Lotus Biru. |
Acara Herge 110 diisi dengan pemutaran film dokumenter wacana Herge, pojok suvenir, menggambar atau mewarnai gambar tokoh-tokoh komik Tintin, dan makan kentang goreng ditemani minuman Lotus Biru yang terbuat dari daun telang dan tetesan lemon; ada yang nyeletuk minta minuman Loch Lomond, tapi sayangnya semua drum Loch Lomond sudah dikuasai Kapten Haddock. Ada juga ruangan kecil daerah Gramedia menggelar koleksi komik Tintin dan beberapa macam buku lainnya. Kemudian bincang-bincang dengan dua orang penerjemah Tintin edisi baru, serta tamu Istimewa penerjemah Asterix (yang kebetulan seri komik favorit saya lainnya).
Acara belum selesai, tapi jam 21.30 saya memutuskan untuk pulang alasannya yaitu sudah mengantuk. Walau banyak orang yang saya tak kenal di program itu, saya mencicipi antusiasme yang besar lengan berkuasa dari hampir semuanya mengenai Tintin. Dalam perjalanan pulang naik ojek, saya ingin buru-buru hingga biar sanggup segera pamer 2 komik Tintin gres saya ke Diyan dan membacanya bersama sebelum tidur.
Sketchwalker girls: Nadia, Lala, saya. Lala salah satu penggambar poster program Herge 110. |
Para penggemar Tintin malam itu. |
Ibu penerjemah komik Asterix diapit oleh dua orang penerjemah komik Tintin versi Gramedia. |
Trivia:
- Komik Tintin awalnya berupa comic strips yang dimuat di harian Kristen berjulukan Le XXe Siecle.
- Saat resah alasannya yaitu problem percintaan, Herge menciptakan “Tintin di Tibet”. Gambar, warna, dan penokohan di dongeng ini sangat terpengaruh oleh perasaannya waktu itu. Lebih sepi dibandingkan biasanya.
- Herge sempat merasa terpenjara oleh Tintin. Ia sempat ‘melarikan diri’ dengan berguru melukis abstrak. Lalu kembali menciptakan seri Tintin lagi, ditandai dengan ilustrasi akan dirinya sendiri yang ditangkap oleh Thomson & Thompson dan segenap tokoh Tintin.
- Cetakan komik Tintin selalu mengalami revisi, diubahsuaikan dengan zaman. Misal, adegan perburuan binatang dalam “Tintin di Congo” dikurangi alasannya yaitu kesadaran orang wacana pelestarian lingkungan yang meningkat.
- Pada awalnya, wiski favorit Kapten Haddock bermerek Johnnie Walker. Entah di cetakan keberapa, penerbit memintanya diganti dengan merek karangan Herge, yaitu Loch Lomond.
- Herge meninggal alasannya yaitu penyakit leukimia di tahun 1983. “Tintin dan Alpha-Art” belum selesai digarap, maka diterbitkan dalam bentuk naskah dengan coretan-coretan draft komik oleh Herge.
Kalau kamu, paling suka komik apa? Dan kenapa?
Tidak ada komentar