Lebih cepat, lebih baik. Makin modern zaman, jargon ini makin laku. Ya jasa pengiriman barang, ya koneksi internet, hingga makanan, yang menjanjikan kecepatan lebih akan makin laris. Saya pun termasuk orang yang suka apa-apa lebih cepat, termasuk cepat lapar (eh), alasannya dengan cepat saya jadi bisa melaksanakan hal lebih banyak. Tapi ada satu hal yang saya sadari bahwa lebih cepat nggak berarti lebih baik, yaitu mengenal suatu kota. Daripada ngebut naik mobil, saya merasa bisa lebih detail memerhatikan kota dengan berjalan kaki.
Walking tour, bisa blusukan ke mana-mana |
Adalah Gelar, trip and cultural event organizer, yang pertama kali mengenalkan walking tour kepada saya. Waktu itu hari Sincia di tahun 2014, saya dan Mumun diajak ikut walking tour mereka di area Glodok. Nara sumbernya seorang warga Glodok (yang saya lupa namanya), berestafet dengan sejarahwan JJ Rizal. Seru sekali dongeng mereka, suka murung seputar kehidupan masyarakat Glodok dan perkembangan daerah tersebut. Banyak tempat di sana yang mungkin tak akan pernah saya ketahui keberadaannya, apalagi sejarahnya, bila bukan alasannya ikut berjalan kaki sambil mendengarkan dongeng mereka. Salah satunya perihal rumah Candra Naya, yang dulu didiami oleh Kapiten Khouw Kim An, hingga sekarang bertahan sendiri di tengah-tengah gedung modern.
Rumah Candra Naya |
JJ Rizal sedang menjelaskan sejarah Glodok pada para peserta |
Walking tour bersama Jakarta GoodGuide juga menyenangkan. Dua rute mereka yang pernah saya ikuti yaitu Pasar Baru dan Blok M. Bersama para penerima dan panitia workshop TravelNBlog, saya menyimak dongeng Farid sang pemandu perihal sejarah Pasar Baru, termasuk Gereja Ayam dan Gedung Filateli. Karena turnya jalan kaki cukup santai, saya pun sempat mencoba beberapa macam jajanan yang berlimpah di sana. Sedangkan rute Blok M saya tertarik ikut alasannya tumben ada walking tour yang lokasinya nggak terlalu terperinci bersejarah. Maksudnya, Blok M kan lebih dikenal sebagai sentra pergaulan dan perbelanjaan (terutama di tahun 1980’an, kali ya..). Saya cukup terkejut, bahwa ternyata ada museum Polisi Republik Indonesia di Jalan Trunojoyo. Dan dalam tur itu pula saya pertama kali masuk ke supermarket Papaya yang menjual macam-macam masakan Jepang, dan eksklusif ingin sering ke sana rasanya!
Koleksi motor polisi di museum Polri |
Banyak juga yang antusias mengetahui sejarah di rute Blok M |
Pernah juga saya ikut walking tour yang dipandu oleh komunitas Love Our Heritage (LOH). Rute dimulai dari Museum Taman Prasasti – saya gres tahu waktu itu ternyata di situ hanya kumpulan nisan, bukan kuburan betulan – hingga ke Istana Merdeka. Waktu itu Presiden SBY gres tiba ke istana, sehingga kami pun beramai-ramai berfoto dengannya, beserta rombongan tur lainnya. Walaupun saya bukan penggemarnya, lucu juga rasanya berfoto dengan presidan, apalagi murni alasannya kebetulan begitu.
Foto bersama SBY dan es krim Tropik |
Museum Taman Prasasti |
Walking tour di luar Jakarta juga pernah saya rasakan, yaitu ketika saya dan teman-teman mengadakan TravelnBlog diMakassar. Daeng Ipul, blogger Makassar yang banyak membantu kami waktu itu, menjadi pemandu tur di Benteng Somba Opu dan Fort Rotterdam. Tur jalan kaki kali ini bercampur dengan naik kendaraan beroda empat alasannya jarak situs yang tidak mengecewakan berjauhan. Hal yang paling saya ingat dari tur ini yaitu betapa panjang nama orisinil dari Sultan Hasanuddin. Mau tahu siapa?
Tunggu, saya ambil contekan.
Oke, ini beliau nama aslinya:
I Mallombassi Daeng Mattawang Muhammad Baqir Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin.
Sekian.
Panitia dan penerima TravelNBlog 5 |
Meratapi tembok bersama-sama |
Tips ikut walking tour:
- Pakai ganjal kaki yang nyaman dan sehat untuk kaki alasannya kau akan berjalan kaki berjam-jam.
- Untuk yang punya kaki datar (flat feet) menyerupai saya, biasanya bangun 15 menit saja untuk mendengarkan klarifikasi pemandu rasanya menyiksa kaki. Bawalah kursi lipat untuk duduk alasannya belum tentu ada tempat duduk tersedia.
- Bawa minuman dan cemilan sendiri.
- Bawa payung atau topi untuk cuaca panas maupun hujan.
- Sebagian walking tour nggak menetapkan bayaran untuk pemandu, tapi sediakanlah uang untuk tip mereka alasannya sebetulnya pengetahuan yang mereka bagikan itu mahal. Saya biasanya memberi Rp50.000-100.000, tapi tergantung kemampuan dan keikhlasan masing-masing.
Hujan maupun panas, tak duduk kasus ikut walking tour, asal ada payung |
*Tema walking tour kali ini dipersembahkan oleh 28 Days Blogging Challenge.
Tidak ada komentar