Ads

Ads
Menu
Travel Agent Penyedia Info Wisata

Warloka – “Taman Jurasic” Insan Flores - Bab Pertama

Dolmen dan Menhir Warloka, menyerupai umumnya ditemukan di Flores

Warloka - mungkin hanya sebuah desa kecil di bibir pantai barat daya Flores, tidak jauh dari Labuan Bajo. Namun, bila dilihat dari eksistensi suku-suku yang mendiami Pulau Flores, tempat ini mempunyai makna yang sangat penting. Sangat mungkin, pada suatu dikala di masa lampau, Warloka yaitu entri point nenek moyang Manusia Flores sebelum menyebar memenuhi tanah tercinta ini. 


Saat melihat altar kerikil Warloka di internet yang diletakkan di atas 4 kaki batu, saya pribadi teringat pada  altar kerikil di kampung usang kami di Doka nua olo ( kampung usang Doka yang  saat ini telah menjadi kebun kopi warga lantaran kampung Doka telah dipindahkan ke dataran yang lebih rendah sekitar 100 tahun yang lalu) di Kecamatan Golewa - Kabupaten Ngada.  Sebagai orang Flores, saya berikhtiar, dalam waktu bersahabat saya harus menjejakkan kaki saya di situs yang amat berharga ini untuk menelusuri kembali asal-usul saya sebagai orang Flores hingga beberapa milenium ke belakang.





Warloka, tempat tinggal Manusia Flores sebelum menyebar ke seluruh Flores
Warloka memberi pesan ilmiah dan moral
yang kuat kepada seluruh orang Flores, apapun suku, agama dan budayanya, bahwa mereka yaitu satu darah dari  satu nenek moyang yang sama. Realitas perbedaan  yang kini ada lebih disebabkan lantaran isolasi geografis yang menjadikan putusnya interaksi antar saudara dalam waktu yang lama. Dalam rentang waktu  itu mereka mengembangkan budayanya masing-masing, suatu prosedur khas insan untuk mengadaptasikan diri dengan lingkungan fisik di mana mereka tinggal.

Misteri Penuh Pesona
Ditemukan pula terse di Warloka, hal yang sama ditemukan juga di kampong-kampong Flores
Bagi kebanyakan orang, bahkan orang Flores sendiri, Warloka - sebuah desa nelayan yang berada di tenggara Labuan Bajo itu, mungkin kurang dikenal. Namun tempat ini mempunyai misteri penuh pesona dan menjadi objek studi antropologis semenjak 70 tahun yang lalu.
Misteri dan pesona itu terkait  dengan eksistensi situs arkeologis. Pada suatu masa di waktu lampau, daerah itu sangat mungkin merupakan tempat tinggal manusia modern yang ramai  yang menandai masuknya peradaban homo sapiens di tanah itu. Momentum itu  menandai peziarahan insan modern hingga Australia dan kepulauan Pasifik. Momentum itu juga menandai persaingannya dengan penghuni orisinil Nusa Nipa,  Homo Floresiensis yang artefaknya dikala ini ditemukan di Flores potongan barat, mulai dari  daerah Manggarai hingga Soa di Kabupaten Ngada.
Dolmen dan Menhir ditemukan hingga di Rinca, pulau tak jauh dari Warloka
Sebagai sebuah situs arkeologis, Warloka sesungguhnya sudah usang dikenal secara terbatas oleh komunitas ilmiah. Dimulai  dari ekspedisi  pertama yang beranggotakan beberapa misionaris SVD yang berkedudukan di daerah misi Flores. Buku Pedoman Museum STF-TK Kampus Ledalero - Flores menuliskan bahwa lawatan pertama terjadi pada bulan Agustus 1950, terdiri dari pastor Dr. Th. Verhoeven, SVD,  Uskup Mgr. van Bekkum, SVD dan Pastor Mommersteeg, SVD.  Dengan berjalan kaki dari Labuan Bajo, mereka tiba di kampung Warloka sesudah 4,5 jam. Di kampung itu mereka menemukan satu tempat bekas kampung (bandar ) usang berjulukan Berloka (orang setempat lazim menyebut Werloka) yang kaya akan sisa-sisa kebudayaan megalith yang dikenal sebagai kebudayaan batu-batu besar.

Tulang belulang insan  yang ditemukan dalam penggalian situs Warloka
Setahun kemudian, pada bulan Juli 1951, oleh Misi SVD diadakan satu ekspedisi lagi ke Manggarai Barat secara umum dan Warloka secara khusus bersama beberapa siswa seminari Mataloko. Mereka melaksanakan penggalian sistematis di Liang Momer dan Liang Panas bersahabat Labuan Bajo. Dari penggalian itu ditemukan peralatan batu, tengkorak dan tulang-tulang insan dan dipastikan sebagai insan Proto Negrito (tinggal di gua-gua, makan buah-buahan, akar-akaran dan hasil buruan ). Penelitian ilmiah terakhir dilakukan oleh ekspedisi dari Universitas Gajah Mada. Tim UGM melaksanakan penggalian di Warloka dan menemukan kerangka seorang perempuan yang dikuburkan bersama beberapa properti sebagai bekal bagi arwah perempuan tersebut. Namun sayang hingga kini belum ada publikasi massa terkait inovasi itu.
Terkait eksistensi Warloka yang amat penting, amat baik jika kita “merasakan”  pengalaman seorang wartawan,  yaitu Hendrik Hadi  yang pernah tiba ke sana menyerupai yang ia tuangkan majalah Vox Seri 20/5/1973:
“Hari itu tanggal 21 Juli 1973. Tepat jam 15.00. Wit. Aku duduk. Dengan agak relaks. Beralaskan rerumputan. Di pinggir hutan nan rindang. Di atas puncak Werloka di lepas pantai barat Flores” (hlm.5).
Dari lokasi barang-barang kuno tampaklah sejauh mata memandang ke arah barat. “Pandangan kami terpancang pulau-pulau ke arah barat. Di sebelah kiri dan kanan, diantara pohon-pohon rindang bersemak yang barusan kulalui tadi, awut-awutan puluhan balok-balok besar yang panjangnya kurang lebih 4 m hingga dengan 5 meter” (hlm.6).
“Tiang-tiang dari balok-balok kerikil itu, terdapat dalam wilayah seluas sekitar 3 kilometer persegi sekitar sini. Puluhan balok awut-awutan dengan panjang kurang lebih 4 m hingga 5 m. Di atas puncak bukit di sana (sebelah kiriku, ada sebuah meja batu, di pulau Rinca di bawah sana, terdapat pula tiang dan balok kerikil menyerupai ini, juga di sana, di bukit di bawah sana ( ke kanan ) terdapat pula batu-batu menyerupai ini”, demikian keterangan bapak Willem Waku pada 39 tahun lampau.
Dua buah tiang dari batu, berbentuk menyerupai tiang kayu, sedang berdiri miring, tumbuh berdiri kokoh di atas tanah berkerikil yang keras. Keempat sisinya masing-masing licin kolam diskap, dan potongan atasnya masing-masing berbentuk menyerupai sebuah ujung sebuah tiang kayu persegi empat. Posisi artefak-artefak yang awut-awutan di situ memperlihatkan kesan seolah sedang ada persiapan membangun rumah baru.”

Artefak yang ditemukan dalam penggalian situs Warloka
Berdasarkan deskripsi Hendrik Hadi di atas, sanggup kita simpulkan bahwa Warloka bahkan hingga Pulau Rinca adalah sebuah area situs purbakala insan modern masa megalitikum. Dalam periodesasi persebaran manusia, penganut budaya megalitikum ini dikenal sebagai ras Austronesia.  Peninggalan budaya megalitikum berupa menhir, dolmen, tabular batu, patung batu, dan sebuah struktur menyerupai piramida berjulukan Punden Berundak di beberapa situs sekitar Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan kepulauan Sunda Kecil.
Dari penggalian ekspedisi pertama dan kedua yang dilakukan Misi SVD ditemukan beberapa peninggalan terpenting; di antaranya Porselin Tiongkok yang terdiri dari piring, buyung dan cangkir yang berasal dari Zaman Yung 960-1279, terdapat di kuburan Rinca dan Werloka. Bersama porselin terdapat pula mata uang. Kedua, alat-alat kerikil dari zaman kerikil renta dan tengah terdapat di dua buah bukit di Werloka dan sebuah bukit di pulau Rinca.


ZIARAH MANUSIA MODERN: MISTERI YANG MAKIN TERKUAK

Peta migrasi insan modern berdasarkan menyerupai disarankan Birdsell ( 1977 )
Menurut Theory Out of Africa, diperkirakan 50 hingga 60 ribu tahun kemudian insan modern  telah mencapai Australia melewati dataran Sunda dan dataran Sahul lebih dahulu sebelum menyebar di wilayah Asia dan Pasifik lainnya. Apakah nenek moyang orang Flores termasuk gelombang pertama pada 50 – 60 ribu tahun kemudian itu? Semuanya masih merupakan  misteri. Namun misteri itu kini semakin tersingkap berkat kemajuan sains, terutama  biologi molekuler dan arkeologi  modern.

Populasi Melanesia, secara fisik berbeda dari Austroasiatic
Pakar genetika populasi asal Italia, Luigi Luca Cavalli-Sforza ( 2000 ) menegaskan bahwa membagi insan dalam “ras” yaitu perjuangan yang keliru. Ia menyampaikan bahwa secara biologis, hanya ada satu ras insan modern, yaitu Homo Sapiens, walaupun kemudian tiap populasi  mengembangkan budaya yang berbeda. Bahkan perbedaan ciri fisik lebih disebabkan lantaran proses penyesuaian terhadap lingkungan fisik di mana mereka tinggal.

Untuk Indonesia sendiri, mahir genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Harawati Sudoyo menolak pemisahan populasi insan Indonesia timur dan barat. Menurutnya, genetika insan Indonesia yaitu produk adonan dua atau lebih populasi moyang, walaupun presentasi genetika Austronesia lebih lebih banyak didominasi di potongan barat Indonesia dan  presentasi genetika Papua lebih tinggi di potongan timur Indonesia.

Arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Harry Truman Simanjuntak, menyampaikan keberagaman insan Indonesia dipengaruhi gelombang kedatangan dan jalur perjalanan yang berbeda walaupun asal-usulnya tetap satu, yaitu dari Afrika ( out of Africa ). Truman menyampaikan bahwa imigran awal Africa mencapai daerah Indonesia sekitar 60.000 tahun lalu. Menurutnya, mereka yaitu nenek moyang jauh sebagian masyarakat Indonesia di daerah timur yang kini sering disebut Melanesia.

Bukti-bukti eksistensi migrasi awal insan modern ini sanggup ditemukan di banyak situs di Jawa Timur ( Song Terus, Braholo dan Song Kepek ), Sulawesi Selatan ( Leang Burung,  dan Leang Sekpao ) serta di sejumlah wilayah lain di Indonesia. Temuan lukisan tangan di Leang Timpuseng – Maros yang berusia 40.000 tahun, merupakam lukisan tertua di dunia juga terkait erat dengan kelompok imigran awal ini.

Populasi austroasiatic secara fisik berbeda dengan populasi melanesia
Selanjutnya, di kiamat es, sekitar 12.000 tahun lalu, berdasarkan Truman, kembali terjadi migrasi ke kepulauan Nusantara sebagai akhir perubahan iklim. Mereka tiba dari Asia daratan dan menciptakan diaspora ke banyak sekali arah, termasuk ke Nusantara.

Kelompok insan yang dikenal sebagai Austromelanesia atau Austroasiatik ini kemudian mengembangkan hunia goa yang sebelumnya jugadilakukan insan imigran pertama dan melanjutkan tradisi berburu serta meramu. Gelombang migrasi berikutnya ke Nusantara yaitu kedatangan populasi austronesia ( Out of Taiwan ) sekitar 4.000 tahun silam.


HIPOTESA TENTANG EKSISTENSI MANUSIA FLORES


Dr. Alice Robert, salah satu penduku teori Out of Africa
Berdasarkan teori-teori yang ada, baik teori  out of Africa secara umum, maupun teori perubahan iklim global dan teori out of Taiwan, kami mengungkapkan beberapa hipotesa terkait eksistensi insan Flores.

Pertama, Manusia Flores yaitu Homo Sapiens Africa menyerupai yang dikatakan oleh Teori Out of Africa. Dalam bukunya, The Incredible Human Journey Dr. Alice Roberts  mengira bahwa homo sapiens, insan modern melaksanakan migrasi dari Afrika barat daya sekitar 70.000 tahun yang lalu, ketika iklim bumi berubah, dan Gurun Sahara menghijau hanya beberapa ratus tahun lamanya. Kesempatan ini memungkinkan sekelompok insan melintasi Afrika lewat Gurun Sahara dan menyeberang ke jazirah Arab di sebelah selatan. Dari sana kelompok itu memecah diri. Ada yang tinggal, ada yang menuju ke timur dan ada yang menuju ke barat kemudian ke arah barat bahari dan memasuki benua Eropa.

Prototipe orang Flores potongan barat, ciri austroasiatic lebih dominan
Kelompok yang menuju ke timur, mencapai Anak Benua India melalui Timur Tengah. Di India, kelompok ini memecahkan diri, ada yang tetap tinggal di India, ada yang menuju ke timur dan ada yang menuju ke arah utara. Kelompok yang ke timur secara perlahan memasuki wilayah Asia Tenggara. Sebagian ada yang tinggal   dan sebagian lagi terus mengembara untuk mencari persediaan materi makanan sehingga ada yang mencapai Oseania melalui Indonesia . Diperkirakan 50 hingga 60 ribu tahun kemudian mereka telah hingga Australia lebih dahulu sebelum menyebar di wilayah Asia dan Pasifik lainnya. 

Penyebaran ini sanggup terjadi lantaran pada Zaman Es permukaan air bahari lebih rendah. Kondisi itu memungkinkan Indochina , Indonesia potongan barat dan sebagian kecil Filipina menyatu membentuk Paparan Sunda yang dianggap sebagai cikal bakal negara-negara Asia dikala ini. Australia dan Pulau Papua ( New Guinea ) juga bergabung membentuk Paparan Sahul yang dipisahkan dari Paparan Sunda oleh Selat Sahul. Namun demikian beberapa kelompok insan berhasil menyeberanginya dan mencapai pulau-pulau di Oseania. 

Prototipe orang Flores potongan timur, ciri melanosoid lebih dominan
Karena merupakan potongan dari insan modern yang mengembara ke mana-mana, sangat mungkin orang-orang Flores dikala ini di dalam dirinya tertanam DNA insan modern  gelombang pertama yang tiba di tanah ini sekitar 40 tahun kemudian dan menyebarkan nenek moyang yang sama dengan penduduk orisinil Australia, orang Papua dan orang-orang Oseania. Mengapa dikatakan sangat mungkin? Karena secara fisik dan budaya, ada kesamaan di antara insan yang mendiami ujung barat Lautan Pasifik ini. Ada kemiripan fisik insan di antara 200 negara yang tergabung dalam Melanesian Spreadhead Group, menyerupai Fiji, Papua Niugini, Kepulauan Solomon, Timor Leste dan Indonesia potongan Timur yang meliputi Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara dan NTT .Oleh penjelajah Perancis – Jules Dumont d’Urville orang-orang yang mendiami daerah ini disebut Melanesia dari bahasa Yunani Melano–nesos artinya nusa hitam. Bahkam 11 kabupaten dari 22 kabupaten di NTT mempunyai latar belakang budaya Melanesia.

Honai, rumah adat Papua
Mbaru niang, rumah adat Manggarai
Bahkan orang Manggarai yang selama ini tidak dimasukkan dalam bilangan orang-orang Melanesia secara kasat mata mempunyai akar Melanesia yang terekspresi dalam bentuk rumah adatnya. Mbaru Niang yang berada di Wae Rebo dan dikala ini dikategorikan sebagai Warisan Dunia mempunyai kesamaan yang akurat dengan rumah adat orang Papua – Honai. Bahkan Mbaru Gendang yang merupakan rumah adat orang Manggarai umumnya, walaupun sudah mengalami evolusi dari sisi bentuk dan strukturnya, secara fundamental tetap membawa ‘DNA’ rumah adat Melanesia yang umum ditemukan di Timor, Alor dan tentunya Papua.

Kedua, Manusia Flores yaitu Perpaduan antara Homo Sapiens Africa Gelombang Pertama dengan insan gelombang kedua yang tiba dari Asia sekitar 12.000 tahun lalu. Secara historis, kedua populasi itu sesungguhnya berasal dari nenek moyang  yang sama dan menyebarkan jalan di anak benua India sekitar 60.000 tahun silam.

Zona pembagian lintang bumi yang besar lengan berkuasa pada iklimnya
Lalu kenapa ada perbedaan fisik di antara mereka jika dikatakan berasal dari nenek moyang yang sama – Homo Sapiens? Perbedaan itu disebabkan lantaran faktor lingkungan fisik – tempat tinggal. Berbeda dengan populasi gelombang pertama yang mendiami wilayah Kepulauan Nusantara, termasukFlores di dalamnya. Daerah ini berada di  katulistiwa yang kaya sinar matahari sehingga tidak terjadi perubahan fisik yang mendasar. Kelompok kedua ini, sesungguhnya juga berasal dari Afrika tetapi menyebarkan jalan migrasi di anak benua Asia sekitar 60.000 tahun lalu. Mereka mengambil jalan ke utara menuju daratan yang kini dikenal dengan nama Yunan di Tiongkok yang terletak di daerah sub-tropis. Berada di daerah sub-tropis selama selama kurang lebih 20.000 – 30.000 tahun menjadikan terjadinya adaptasi-evolutif sehingga kulit mereka memudar lantaran kehilangan pigmen dan usang kelamaan menjadi putih.  Homo sapiens yang kulitnya jelas ini, selanjutnya 12.000 tahun lalu,  sebagian  populasinya  ini melaksanakan migrasi ke arah tenggara menuju kepulauan Nusantara dan bertemu kembali dengan saudara-saudari mereka gelombang pertama. Terjadi interaksi dan perkawinan  sehingga menghasilkan populasi gres yang disebut Austromelanesia atau Austroasiatik. Hal yang sama juga terjadi di Flores.

Ketiga, Manusia Flores, terutama potongan barat hingga tengah  yaitu perpaduan antara Austromelanesia dengan insan yang memasuki Indonesia yang disebut dalam Teori Out Of Taiwan. Teori ini menyampaikan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia  berasal dari Kepulauan Formosa ( Taiwan ), bukan dari Yunan menyerupai yang tertulis dalam buku-buku sejarah hingga dikala ini. Teori ini didukung oleh Direktur Institut Biologi Molekuler, Prof. Dr. Sangkot Marzuki lantaran ditemukan adanya kecocokan genetika. Hal ini juga diperkuat oleh teladan pendekatan linguistik yang telah diteliti oleh beberapa antropolog menyerupai Harry Truman Simanjuntak. Ia menyampaikan bahwa bahasa-bahasa yang dipakai suku-suku di Nusantara berasal dari satu rumpun yang sama, yang dinamakan Rumpun bahasa Taiwan .  Manusia modern Out Of Taiwan, terutama yang dating dari utara - Sulawesi telah melaksanakan interaksi yang intensif, terutama dalam bentuk  perkawinan dengan penduduk asli Flores yang mendiami wilayah paling barat Flores yang dikenal sebagai Orang Manggarai dikala ini.


Intensitas interaksi itu semakin jarang ke  ke wilayah timur. Hal inilah yang menjadikan timbulnya sedikit perbedaan ciri fisik antar Orang Manggarai dengan Orang Ngada-Nage Keo dan Ende-Lio. Namun semakin ke timur insan Out of Taiwan semakin resesif dan ciri-ciri insan Melanesoid tetap  “terpelihara” baik. Inilah mengapa secara fisik, kita menemukan perbedaan antara Orang Manggarai dengan Orang Sikka dan Lamaholot.

Sumber: 
http://sains.kompas.com/read/2015/11/23/15030471/Jejak.Pembauran.Melanesia.dan.Austronesia
http://sains.kompas.com/read/2014/08/07/00152811/Dua.Arus.Besar.Migrasi.Leluhur.ke.Nusantara

Sumber https://pariwisata-tourisme-flores.blogspot.com

Tidak ada komentar