Ads

Ads
Menu
Travel Agent Penyedia Info Wisata

Ijen Revisited: The Hunt For The Blue Fire (2Nd Attempt!)

Happy New Year 2017 fellas!!! J

Semoga di tahun ini kita sanggup meraih semua impian yang kita cita-citakan, semua wishlist yang udah kita susun sanggup terlaksana, dan tak lupa menerima berkah di semua sendi kehidupan yang kita jalankan. Amin

Anyway, tahun gres kemarin saya tidak ada aktivitas apapun buat merayakannya. Ngga pernah ngerayain juga sebenernya. Apalagi di tanggal 31 Desember itu, saya disuruh lembur di kantor dari pukul 19.00—24.00, jagain aktivitas Tax Amnesty-nya pemerentah. Which was such a waste  ‘cause nobody came to our office! Sucks. Jadinya, saya sama belum dewasa ngga ngerti mau ngapain. Naik turun lantai ga jelas. Ngemil. Nonton tv. Main hape & komputer hingga mata pedes. Tapi yah gimana lagi, namanya dapet uang lembur kiprah negara. Hhe..

Gara-gara piket ini juga saya balasannya ngga pulang ke Probolinggo. Hvft. Padahal lagi libur panjang (sampai 2 Januari karna cuti bersama). Tapi tak apalah. Untuk mengisi liburan, saya sama belum dewasa kantor ngerencanain buat jalan-jalan bareng. Dan kali ini, kita mau ke Kawah Ijen, Banyuwangi. Woohoo...



Ini akan jadi kunjungan kedua saya ke Ijen. Setelah beberapa waktu lalu, ngga sanggup kesempatan untuk melihat blue fire gara-gara kita kesiangan hingga puncak (ceritanya di sini). Mudah-mudahan kali ini kenginan itu sanggup terwujud. Tuk balas dendam! Hhe..

Minggu, 1 Januari 2017. Awalnya kita ada 13 orang yang mau berangkat. Hmm.. bakalan seru banget niscaya rame-rame motoran ke sana. Kaya sinetron Anak Jalanan. Tapi gara-gara hari itu hujan ngga berhenti-berhenti, dari siang hingga sore, satu per satu mulai undur diri dari perjalanan ini. Saya sendiri awalnya juga agak males mau berangkat. Karena yang pertama, semua peralatan “pergunung”-an saya ada di rumah Probolinggo. Segala baju tebel, jaket, buff, celana, dan tetek bengek lainnya. Dan yang kedua, sebab males mau hujan-hujanan di jalan. Apalagi jikalau hujannya pas di atas nanti niscaya jadi tambah adem. Brrrr...

Tapi gara-gara dikomporin sama anak-anak, ditambah saya mau mem-“balaskan dendam” saya untuk menyaksikan blue fire, saya balasannya nekat ikut juga. Kami janjian di kantor pukul 19.00, tapi balasannya gres berangkat sekitar pukul 20.30. What can I say, we’re Indonesian, dude..  Dan dari 13 orang yang awalnya mau ikut, tinggal 8 aja yang berangkat. Jadinya kami bawa 4 motor. And off we go! :D

Kami pergi menuju Ijen melalui jalur Bondowoso. Dan jalur ini ternyata lebih cepat dibanding yang lewat Banyuwangi. Tanjakannya juga tidak terlalu curam. Cuman jalannya aja banyak yang rusak jadi harus ekstra hati-hati. Di sepanjang jalan, kami sesekali dijatuhi gerimis, tapi untungnya ngga hingga hujan deres.

Kalau melalui jalur Bondowoso ini, sebelum hingga di Paltuding, kita akan melewati 3 buah pos/portal. Beda dari Banyuwangi yang hanya ada 1 pos. Dan yang bikin gedeg, di tiap portal kita disuruh bayar! Heft. Kirain cuman sekali doang pos pertama, ternyata dua pos berikutnya bayar juga. Kalau ngga salah di pos pertama bayar Rp20.000, pos kedua Rp10.000, pos ketiga Rp10.000.

Kami hingga di Paltuding sekitar pukul 00.30 dan daerah loket karcisnya masih belum buka. Kami balasannya nongki-nongki dulu sambil ngupi-ngupi di salah satu warung di sana. Si bapak yang punya warung kisah jikalau ada pendaki yang hilang sehari sebelumnya. Wew. Serem juga. Akhirya, sekitar pukul 01.00, loket karcis pun di buka, dan kami pun memulai pendakian.

Overall, di pendakian kali ini, saya merasa jauh lebih baik dari sebelumnya. Dari segi fisik juga ternyata saya masih tidak mengecewakan kuat, hehe... Kami juga cuman beberapa kali berhenti. Dan istirahatnya juga sebentar-sebentar. Ngga hingga buka lapak, terus bikin kopi. Alhamdulillah, cuaca juga bersahabat. Lumayan cerah. Kita jadi sanggup menikmati pemandangan bintang-bintang di langit malam. One of my most favorite things to do in this world. Stargazing!

Sekitar dua jam kami berjalan, kami hampir mencapai puncak. Namun, keadaan mulai memburuk gara-gara asap sulfur yang semakin menebal. Pokoknya parah banget, hingga mata kita perih dan batuk-batuk. Jarak pandang juga jadi makin memburuk sebab pekatnya asap. Sontak, kami dan pendaki-pendaki lain didatangi oleh para penjaja sewa masker. Maskernya yang hitam ada tabung-tabung itu.

Mereka pakai segala cara dan bahasa untuk menarik hati kami agar nyewa maskernya. Dan kebetulan, keadaan sekitar—asap sulfur yang lagi tebel—juga sangat mendukung promosi itu. Mereka bilang jikalau kita ngga bakal dibolehin ke blue fire jikalau ngga pakai masker hitam itu. Pft. Padahal sebenernya ya ngga ada melarang. Orang blue fire-nya ngga ada yang jaga.

Tapi berhubung asap belerangnya waktu itu bener-bener parah, jauh lebih parah dari terakhir saya kesana, balasannya kami mutusin juga buat sewa maskernya. Per masker dihargai Rp25.000,00. (pertama kali saya ke sana harganya masih Rp20.000). Dan memang masker hitam itu lebih yummy digunakan jikalau pas belerangnya lagi tebal. Bau telor busuknya jadi ngga terlalu tajam. Cuman masalahnya, mata masih kadang perih. Untuk mengurangi perihnya, kita sanggup pakai tisu yang dibasahi air, terus diusap ke mata. Cara lainnya, dengan berhenti sejenak membelakangi arah angin. Makara asapnya ngga eksklusif kena mata.

Beberapa dikala kemudian, kami hingga di percabangan. Kalau mau liat blue fire, kita sanggup ambil kiri terus turun ke kawah. Kalau mau ke puncak, kita ambil kanan kemudian naik. Dua orang teman saya tetapkan untuk tidak ikut melihat blue fire. Mereka nunggu di pertigaan itu. Jadinya, tinggal ber-enam aja yang turun.

The blue fire spot is somewhere downthere

Perjalanan turun ke blue fire ternyata ngga simpel juga. Sebenernya ada kayak tangga-tangga gitu, cuman sebab gelap banget jadi agak susah jalannya. Dan di situlah saya gres sadar jikalau penglihatan malam saya bener-bener buruk! Saya ngga sanggup ngeliat jalan SAMA SEKALI jikalau ngga dibantu senter. Saya jadi sering berhenti jikalau ngga dapet pencahayaan dari temen-temen atau dari pendaki lain. So from now on, saya harus bawa senter sendiri!

Perjalanan menuju lokasi blue fire memakan waktu sekitar 45 menit. Di pertengahan jalan, kita sudah sanggup melihat dari jauh siluet-siluet kebiruan dari blue fire. Temen saya yang cewek satu-satunya, mutusin buat berhenti jalan dan nunggu kita di situ. Di dekat kayak jembatan gitu. Sementara saya dan keempat teman lain meneruskan untuk ke bawah. Dua teman saya yang paling depan udah jalan jauh. Sementara saya dan dua teman saya mengikuti di belakang. Dan beberapa menit kemudian, sampailah kami di spot dimana kita sanggup melihat dengan terang blue fire yang populer itu.

MashaAllah. Cakep banget dah blue fire-nya! Saya bersyukur sanggup diberi kesempatan untuk menyaksikan salah satu keindahan ciptaan Allah SWT itu.


The magical blue flames
(sorry for the bad quality)

Blue fire di kawah Ijen sendiri muncul akhir gas sulfur yang bereaksi dengan oksigen, kemudian terbakar dengan suhu mencapai 600°Celcius dan sanggup menyala hingga 5 meter tingginya. Fakta uniknya, jikalau saja gas sulfur ini tidak terbakar, ia sanggup terakumulasi dan akan jadi berbahaya sebab sangat beracun! Saya tetapkan untuk tidak berjalan lebih jauh lagi untuk mendekati blue fire tersebut. Karena seringkali asap sulfur tebal  berhembus kesana kemari menciptakan sesek napas dan mata perih. Bisa melihat blue fire dengan mata kepala sendiri saja saya sudah sangat puas dan bersyukur. Finally, mission accomplished!

Buat ngambil foto aja susahnya minta ampun. Selain “gangguan” dari asap belerang, keadaan sekitar yang sangat gelap, spesifikasi kamera, dan kelihaian sang fotografer juga sangat menentukan. Semua faktor ini tentu tidak saya miliki, jadinya ya saya ngga sanggup dokumentasi yang bagus, wkwkwk.. But anyway, I was so happy with the experience tho J

We're climbing up


The infamous Ijen sulphur miner

Setelah cukup puas menyaksikan the magical blue fire, kami tetapkan untuk kembali. Jalan menanjak ternyata bikin ngos-ngosan juga. Namun untungnya, fajar mulai menyingsing sehingga menerangi setapak jalan yang kami hendak lalui. Maka, nikmat Tuhan yang mana yang kamu ingkari?
Di atas, kami berdelapan balasannya berkumpul kembali. Asap sulfur masih saja pekat sehingga kami cukup kesulitan untuk mengabadikan gambar. Setelah beristirahat dan makan bekal, kami mulai berjalan turun.

At the top of Mt. Ijen

On our way down

The smog sometimes were so thick
(courtesy of @irwantris)

Kami hingga di Paltuding lagi sekitar pukul 10.00 atau 11.00. Dan sesampainya di bawah, kami disambut dengan kehebohan. Ternyata, si pendaki yang dikabarkan hilang sehari sebelumnya sudah ditemukan! (Kabarnya) dalam keadaan linglung dan tak bercelana. OMG. Dari kisah yang beredar, katanya si pendaki tersebut terpisah dari rombongannya pas waktu buang air kecil. Entah ditinggal sama temennya atau gimana. Dan temen-temen si pendaki itu gres sadar, waktu di parkiran, si pendaki itu ternyata belum turun. Tapi untunglah, kini si pendaki itu sudah sanggup berkumpul dengan keluarganya lagi.

(courtesy of @iqbalmohammadhasan)

Saya dan temen-temen pun melanjutkan perjalanan pulang ke Jember. Sepanjang jalan, barulah saya sanggup melihat pemandangan pepohonan yang indah yang semalam sama sekali tidak terlihat sebab gelap. Namun, sepanjang perjalanan pulang , kami dihadapkan dengan series of unlucky events. Di awali dengan saya yang jatuh dari motor, temen saya yang masuk ke selokan, hingga balasannya kami diguyur hujan deras hingga Jember. Wew..

On our way home, we passed this cute little village named Sempol.
Everything is so neat, clean, and the people seems to live a happy simple-life.

Tapi yah, itulah yang menarik dari traveling, kan? Kita ngga pernah tau apa yang akan terjadi di jalan. The thing is, we just have to enjoy the ride, and eventually, we will learn something, and be grateful for anything... J




Thanks-List:
@miftah.jombang@i.am_thor, for the great experience
YOU, for reading this! :)

Sumber http://ferydyan.blogspot.com

Tidak ada komentar