Sejak mulai menyusun rencana perjalanan ke Yunani bertahun-tahun sebelum berangkat, Hydra sudah menjadi salah satu tujuan saya. Yang paling bikin aku tertarik yakni bahwa di pulau ini tidak ada kendaraan bermotor, dan transportasi hanya dengan keledai. Namun karenanya aku dan Diyan memutuskan untuk main ke Hydra seharian saja, hampir di penghujung perjalanan Yunani kami. Seperti kebanyakan orang, kami menimbulkan Hydra destinasi one-day-trip dari Athena.
Kapal hidrofoil Flying Cat mengangkut kami berlayar selama dua jam dari pelabuhan Piraeus ke Hydra. Isi kapal turis semua, berbicara dengan bahasa yang berbeda-beda. Laut dan langit yang biru cerah mengiringi perjalanan dan menyambut kami di pelabuhan Hydra. Jajaran gedung abu-abu dan kucing-kucing menggemaskan menjadi pemandangan pertama kami di sana.
Kota Hydra Port, daerah pelabuhan berada, yakni bab teramai di Hydra. Barisan keledai dan para penuntunnya menanti para turis yang gres saja turun dari kapal. Saya yang dulu semangat ingin mencoba naik keledai di Hydra, telah berubah pikiran sebelum berangkat ke Yunani. Pasalnya, ada beberapa goresan pena di internet yang menyatakan bahwa kesejahteraan keledai-keledai pekerja keras ini belum tentu terjamin. Saya tidak tahu niscaya kebenerannya. Dan sayangnya, kami gagal ke donkey sanctuary ketika di Pulau Kreta, sehingga batal mendengar eksklusif dongeng wacana nasib keledai di sana. Kebetulan tujuan utama kami di sana yakni trekking ke Profitis Ilias Monastery, jadi memang tidak perlu naik keledai.
But first, Greek Salad.
Selain khas, juga relatif murah dan mengenyangkan. |
Di pelabuhan. |
Random taverna. |
Jajaran restoran di Hydra Port penuh sesak oleh pengunjung. Tak heran, alasannya yakni waktu itu simpulan pekan dan sudah mulai masuk demam isu panas. Kami menentukan makan siang di restoran kecil yang sedikit jauh di dalam gang, dengan suasana yang lebih tenang. Karena kami sudah membeli tiket kapal untuk kembali ke Piraeus jam 5 sore, habis makan kami bergegas jalan lagi semoga tak membuang waktu. Rute trekking ini akan memakan waktu beberapa jam pulang pergi (lupa pastinya). Karena aku bukan trekker andal, kami harus menyiapkan waktu lebih usang agak tidak ketinggalan kapal nantinya.
Kami melewati gang-gang kecil khas Yunani yang semakin usang semakin menanjak. Pintu dan jendela berkusen biru, merah, biru, kuning, dan biru lagi, mewarnai dinding-dinding putih dan dinding bebatuan. Tanaman-tanaman dalam pot menghiasi pinggiran gang, dan angin semilir mengiringi langkah kami di atas jalan berbatu dan jalan tanah. Lingkungannya terasa asri, tapi sepi, tak satupun insan yang kelihatan.
Pemandangan dikala hiking. |
Gang senggol. |
Hampir satu jam berjalan, kami tiba di suatu pertigaan. Jalan di hadapan kami lebih besar, tapi tetap sepi. Di tengah diskusi untuk menentukan belok ke kanan atau kiri, Diyan mengucapkan kalimat yang menjadi penentu petualangan kami selanjutnya.
“Aduh, pengen eek.”
Yha.
Walaupun sudah biasa dengan situasi begini (Diyan juaranya jikalau soal pengen eek di mana saja dan kapan saja), kami sempat agak panik, alasannya yakni mengejar waktu untuk trekking dan kapal balik. Tapi, ya sudah, kami celingak-celinguk cari WC umum ataupun bangunan yang sepertinya punya WC untuk ditumpangi. Nihil. Yang ada di pertigaan itu hanya pepohonan. Kami berjalan sedikit entah ke arah mana, kemudian melihat sebuah gereja. Pasti gereja punya WC, dong!
Tapi apalah artinya suatu bangunan punya WC jikalau semua pintunya terkunci.
Dammet!
Sembari menunggu gejolak perutnya tenang, Diyan cuma dapat duduk di depan pintu gereja. Saya duduk di dingklik kayu yang menghadap ke laut, menikmati pemandangan pulau. Rumah-rumah putih beratap jingga diselingi pepohonan hijau memenuhi lembah, dikelilingi bukit tandus. Pemandangan indah itu pun kemudian mendatangkan inspirasi.
“Numpang di WC rumah penduduk saja!” Entah ini ide aku atau Diyan.
Maka kami berjalan sedikit menuruni bukit, ke area pemukiman yang cukup padat. Begitu melihat suatu pintu rumah terbuka, kami menyapa, “Hello. Kalimera. Excuse me.”
Tak ada jawaban.
Kami menyapa lagi hingga dua atau tiga kali. Lalu muncul seorang wanita paruh baya berambut merah jagung muncul dari balik tirai pintunya. Syukurlah ia dapat berbahasa Inggris, sehingga – dengan canggung – kami dapat memberikan maksud dan tujuan. Syukur lagi, wanita yang ternyata sedang tidur siang itu, ternyata ramah dan pemurah. Ia mempersilakan Diyan masuk dan memakai kamar mandinya.
Sambil menunggu Diyan menuntaskan panggilan alamnya, wanita ini – yang, sebalnya, aku lupa namanya – menemani aku di teras kecil rumahnya sambil mengobrol. Melihat wajah asing, bermata kecil, berkulit cokelat, dan bicara dalam bahasa Inggris menyerupai kami, tentunya ia bertanya dari mana kami berasal. Yang mengejutkan, kemudian beliau berkata, “I’ve been to Jakarta, long time ago.”
Whaaaattt??
Jauh-jauh di perbukitan suatu pulau kecil di sisi bumi yang lain, dikala kebanyakan orang di sana mengira kami dari Cina, ternyata ada juga yang sudah pernah ke Indonesia. Dan ke Jakarta, bukan Bali. Obrol punya obrol, ternyata ia ke Jakarta dalam rangka pekerjaan, semacam memberi training dalam bidang bahasa dan hubungannya dengan psikologi. Duh, aku ingat bahwa poin-poin ceritanya menarik, tapi aku lupa detailnya. Kalau tidak salah, ia bilang bahwa bahasa Yunani itu salah satu bahasa terbaik untuk melatih perkembangan otak. Hm, menarik juga untuk dicari tahu lebih lanjut.
Turun ke perumahan. |
Punya teras dengan pemandangan begini, siapa yang nggak mau? |
Kami masih melanjutkan dialog sehabis Diyan muncul kembali ke teras. Perempuan baik hati ini memberi saran beberapa pantai terbaik di Hydra. Ya, kami berubah rencana alasannya yakni dengan detour ini sudah tak cukup waktu bagi kami untuk hiking ke Profitis Illias Monastery. Jadi, pergilah kami ke pantai.
Hydra dulunya berjulukan Hydrea, yang berarti ‘air’ dalam bahasa Yunani. Dinamakan demikian karena, konon, dulu di Hydra banyak mata air, tapi kini sudah pada kering. Air higienis pun, berdasarkan artikel yang pernah aku baca, dibawa dari mainland. Namun alasannya yakni Hydra punya banyak pantai bagus, ‘wisata air’ tetap menjadi salah satu daya tarik utama.
Setelah nyasar-nyasar sedikit, karenanya kami hingga di suatu pantai. Entahlah ini pantai yang kami tuju atau bukan, itu tidak begitu penting. Yang jelas, pantai ini berbentuk teluk, dan kita harus berjalan ke bawah untuk mencapai pasirnya. Air lautnya biru banget dan bergradasi ke toska, kontras dengan tebing kerikil yang pucat.
Di satu sisi teluk berdiri sebuah resor. Sebagian pantai ramai dengan wisatawan, kebanyakan sepertinya bawah umur muda. Ada yang berjemur, ada yang berenang, ada yang bercanda riuh rendah, semua terkesan gembira. Ingin sekali kami mencoba berenang juga di sekitar mereka, tapi, uuuh, sayangnya kami salah kostum untuk pantai. Makara kami cuma duduk di kerikil sambil melihat-lihat saja. Sempat turun ke pantai tapi rasanya ribet alasannya yakni harus buka-buka sepatu trekking segala dan menentengnya, tidak bawa handuk pula.
Entah ini pantai yang benar atau bukan. |
Tak terasa hari sudah mulai sore. Kami berjalan lagi menuju pelabuhan. Setiap ada pemandangan bagus, dan itu sering, kami berhenti dan menikmatinya. Salah satu area yang kami lewati tampak menyerupai kota renta dan sepi, mungkin semua tutup alasannya yakni itu hari libur. Sampai di pelabuhan, ternyata kapal kami belum datang. Baiklah, itu berarti saatnya makan es krim. Sejak menyicipi es krim fistiki (pistachio) diThessaloniki, aku selalu meminta es krim rasa fistiki. Sayangnya, waktu itu fistiki sedang habis, tapi dengan es krim almond pun aku bahagia, apalagi menjilatinya sambil lihat-lihat area pelabuhan.
Keledai-keledai masih berderet, ada yang sedang ditunggangi anak kecil yang kegirangan. Kafe-kafe sudah mulai sepi, toko-toko suvenir sudah mulai menutup etalasenya. Kami berdiri di antara puluhan turis yang sedang menunggu kapal untuk kembali ke Athena. Sekitar satu jam kemudian kapal datang, semua pengantre bergegas naik. Satu jam, yang bekerjsama dapat jadi waktu pemanis untuk aku dan Diyan melanjutkan trekking sehabis kejadian sakit perut tadi. Oh, well. Tapi tak apa-apa. Gagal rencana awal, kami pun mendapat pengalaman unik lainnya. Menumpang WC orang yang tidak kami kenal dan bertukar dongeng dengan latar pemandangan istimewa.
Sampai berjumpa lagi, Hydra!
Aaaawww... |
Menurut kamu, naik keledai untuk wisata, baiklah nggak? |
Tertiup angin. |
Kapal dari Piraeus. |
Pasrah sama nasib di pintu gereja. |
Banyak pintu dan jendela entah ada WC-nya atau nggak. |
Mungkin beliau pergi mencari WC juga. |
Baca: i-dra. |
Menunggu kapal yang telat. |
Menahan terpaan angin. |
Sesama penumpang kapal. |
A cute ice cream parlor. |
Sisa turis di sore hari. |
Pemandangan dari seberang pelabuhan. |
Lovely Hydra. |
Tidak ada komentar