Ads

Ads
Menu
Travel Agent Penyedia Info Wisata

Bermain Di Chiang Rai, Kota Paling Utara Thailand

Pas buka folder lama, gres sadar perjalanan ini belum pernah diceritakan di blog.
Some things have changed, but the memory remains. 


“Yeay! Kita ke Chiang Mai! Mau ke White Temple!” saya dan Mumun bersorak gembira.
“White Temple? Itu, kan, adanya di Chiang Rai,” sanggah Abud, teman kami waktu itu.
“Hah? Di Chiang Mai!” saya ngotot.
“Di Chiang Rai! Coba cek, deh!”
Lalu saya mencarinya di Google, dan Mumun ikut mengintip.

Oh.

“Oke! Kalau begitu kita ke Chiang Rai!” saya dan Mumun kembali bersorak gembira.

Jadi, begitulah awalnya kenapa kami, beserta Vindhya dan Uci, ke Chiang Rai, dalam rangkaian perjalanan Laos-Thailand di bulan April, 2012. Saya sendiri tak punya cita-cita tertentu perihal kota yang hanya satu jam perjalanan dari Chiang Mai ini. Kebanyakan gosip perihal Chiang Rai justru kami dapatkan dari pemilik guesthouse, sehabis kami check-in. Dia juga yang mencarikan kendaraan beroda empat serta supirnya untuk mengantarkan kami ke tempat-tempat wisata di Provinsi Chiang Rai, yang masih di sekitar kota Chiang Rai. Ternyata, White Temple bukan satu-satunya hal menarik di provinsi paling utara Thailand ini. Masih ada pasar malam, Black House, The Golden Triangle, dan Museum of Opium.

***

White Temple alias Wat Rong Khun bukan daerah ibadah biasa. Kuil ini dirancang seorang seniman berjulukan Chalermchai Kositpipat, sebagai dedikasinya terhadap sang Budha. Dibuka untuk umum semenjak tahun 1997, White Temple diperkirakan akan simpulan dibangun pada tahun 2070. Tampilannya luar biasa mendetail, dengan banyak sekali bentuk relief dan patung.

Bangunan utama dari kompleks White Temple ialah kuil berwarna putih yang di depannya ada gapura ibarat sepasang gading raksasa. Untuk menuju kuil, pengunjung harus melewati jembatan, yang di bawahnya ialah lautan patung tangan manusia. Agak ngeri melihatnya, apalagi ada tengkorak-tengkorak. Ternyata ini ialah lisan Kositpipat perihal keserakahan manusia. Sedangkan interior kuil, berdasarkan saya, tidak secantik eksteriornya. Dinding besar penuh dengan lukisan berwarna kemerahan yang menggambarkan kehancuran dunia dan wajah-wajah setan. Anehnya, ada ikon-ikon pop juga di situ, mirip Doraemon, Michael Jackson, Harry Potter, dan Hello Kitty.

Bangunan lainnya ialah toilet emas, tapi cuma luar gedungnya saja yang berwarna emas. Saya sendiri tidak masuk ke toiletnya alasannya ialah waktu itu antrean panjang sekali. Ya, White Temple memang salah satu daerah wisata paling ramai di Chiang Rai.

*Baca juga: membuat tato tradisional Sak Yant di kuil Wat Bang Phra.

Istana-istana di dongeng Disney pun kalah elok dari White Temple.
Jembatan yang menyimbolkan jalan menuju kebahagiaan dengan melewati nafsu duniawi.

Tangan-tangan yang menggapai keinginan duniawi.


Setelah White Temple, kami dibawa ke karya seni yang tak kalah ekstravaganza, yaitu The Black House alias Baan Dam. Senimannya ialah Thawan Duchanee, yang konon ialah murid dari Kositpipat. Kompleks Black House terdiri dari beberapa ‘rumah’ dengan banyak sekali ukuran dan bentuk yang tidak lazim, dengan materi kayu dan metal yang mendominasi, dan sebagian besar berwarna hitam. Model dan ukuran perabotnya pun banyak yang tak lazim, dan sebagian mengingatkan pada markas-markas penjahat di film-film.

Jika White Temple menggambarkan perjalanan insan menuju kebaikan, Black House justru menggambarkan neraka di mata sang seniman.

Kebaikan berwarna putih, keburukan berwarna hitam. Asosiasi warna yang sangat ketara ini rupanya ada di mana-mana.


Salah satu rumah hitam di kompleks Black House.
Meja panjang dan dingklik bergaya tanduk. Quite intimidating, no?

Rumah lainnya. Cute, quirky, and mysterious at the same time.


Keesokan harinya, kami dibawa ke kota paling utara Thailand, yaitu Mae Sai, yang sekaligus merupakan perbatasan dengan Myanmar. Jika tidak hendak menyeberangi perbatasan, orang tidak diperkenankan melewai jembatan yang menghubungkan dua negara ini. Kabarnya, wisatawan suka iseng ke Tachileik, kota perbatasan di bab Myanmar, cuma untuk belanja di pasar, kemudian kembali lagi ke Thailand dalam beberapa jam. Namun kami tak melakukannya alasannya ialah tak mau repot mengurus visa dan agak takut dengan kisah bahwa di sisi sana kurang kondusif pada waktu itu.


Jembatan menuju Myanmar.

Mae Sai, kota paling utara di Thailand.


Sekitar 25 km ke arah tenggara dari perbatasan, sampailah kami di The Golden Triangle, titik pertemuan antara Thailand, Myanmar, dan Laos.

Dulu kala The Golden Triangle ini merupakan daerah penghasil opium paling besar di dunia, dan kini sudah tergeser oleh Afghanistan. Tak heran, di bersahabat sana terdapat museum khusus perihal opium. Naskah sejarah perihal perdagangan opium, pola jenis-jenis flora opium, hingga peralatan untuk memakai opium, dipajang di museum tersebut.

*Baca juga: cerita-cerita perjalanan saya di Laos

Tempat Myanmar, Thailand, dan Laos bertemu.
Contoh penggunaan opium, untuk menekan rasa sakit, zaman dulu.

Ladang opium. Cantik!


Kami menghabiskan dua malam di Chiang Rai. Di kedua malam kami berjalan-jalan dan cari makan di sentra kota. Mobil motor berseliweran, tapi saya tidak melihat kemacetan sama sekali. Kafe-kafe trendi berjajar di pinggir jalan raya, dipenuhi belum dewasa muda yang juga terlihat trendi. Kami sempat makan malam di salah satu kafe dengan hidangan masakan barat, waktu itu dalam rangka merayakan ulang tahun Uci.

Masih di sentra kota, ada pasar malam yang memperlihatkan banyak sekali masakan dan pernak-pernik. Beberapa jenis masakan yang kami coba rasanya lezat semua, tapi saya sudah lupa apa saja. Sedangkan pernak-perniknya banyak yang mirip dengan yang kami lihat di pasar malam Luang Prabang dan Vientiane, Laos. Mungkin alasannya ialah bertetangga dekat, kerajinan mereka pun mirip satu sama lain. Oh, tapi bukan hanya kerajinan tradisional. Barang-barang modern mirip kaus parodi pun ada yang sama. Kalau mau mencari oleh-oleh, pasar malam ini ialah tempatnya.

Uci yang bubbly kami berikan kado topi stroberi. Cocok, kan?

Pasar malam, penuh dengan suvenir dan barang keperluan sehari-hari.

Niat beli oleh-oleh, sanggup jadi belanja banyak untuk diri sendiri!



Chiang Rai memang tidak sepopular Bangkok atau Phuket. Tapi dari pengalaman saya, 3 hari di sana tanpa banyak rencana dari awal sudah cukup menciptakan sibuk ke sana kemari alasannya ialah ternyata banyak daerah yang menarik. Kalau lebih banyak waktu di sana, tentu masih banyak yang sanggup dieksplorasi di Chiang Rai. 

*Baca juga: kisah seru perihal Festival Songkran di Chiang Rai dan Bangkok


More photos from our Chiang Rai trip:

Di teras belakang suatu kuil. 
Kuil dengan bentuk yang khas Thailand. 
White Temple, detailnya dari dekat.
Warna putih mencerminkan sifat Budha.
Berbagai patung berdasarkan mitologi aliran Budha menghiasi kompleks White Temple.
Sebagian terlihat mirip fairy tale, sebagian mengerikan. Menurut kamu, jika yang ini, bagaimana?


Pintu masuk White Temple.
Mengingatkan pada topi Petruk. 

Pintunya tinggi sekali! Keren, sih. 
Karya seni yang boleh diduduki.

Tempat berfoto sejuta turis.

Uci dengan penduduk lokal di area Golden Triangle.

Ayam si pengusaha suvenir.

Begitu kami datang, ibu ini eksklusif mengenakan pakaian tradisional. Berfoto dengannya dikenai tarif.
Yang di kanan ialah bapak yang menyupiri kami ke sana kemari.




Tidak ada komentar