13 November, 2007.
Siang hari, pesawat yang aku dan teman-teman kantor tumpangi melandas di Changi International Airport, Singapura. Bergegas kami melalu meja imigrasi, kemudian menyewa taksi ke Hotel Peninsula Excelsior. Check-in, kemudian kami menyimpan tas di kamar hotel. Hanya berselang sekitar 2 jam kemudian aku dan 3 teman, Indri, Lena, dan Martin, menuju Singapore Indoor Stadium dengan bukti pembelian tiket konser Linkin Park.
Saya bangga sekali waktu itu. Memang, aku agak telat menggemari Linkin Park. Ketika di tahun 2004 teman-teman aku seru nonton konser mereka di Jakarta, aku belum menyukai grup band asal California ini. Saya nggak ingat bagaimana kemudian aku jadi menyukai dan memasukkan lagu-lagu mereka ke playlist saya. Yang aku ingat, vokal Chester yaitu salah satu magnet Linkin Park bagi saya. Maka ketika ada trip konferensi di Singapura yang kebetulan bersahabat tanggalnya dengan konser Linkin Park di Singapura, aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Harga tiket kelas pameran waktu itu S$150, dengan kurs yang masih jauh lebih murah dari sekarang, tapi tetap cukup mahal bagi saya.
Setelah menukarkan bukti pembelian dengan tiket sesungguhnya, kami masuk ke area konser. Antrean rapi, para penonton tertib, khas Singapura. Saya senang, nggak rusuh walaupun ini konser rock.
Area konser masih terang-benderang. Tribun sudah dipenuhi penonton. Kelas Festival terbagi dua, depan dan belakang, dan aku dan teman-teman di bab depan, paling bersahabat ke panggung. Menunggu konser dimulai, kami berfoto-foto dulu memakai kamera Martin. Saya cuma bawa kamera yang ada di ponsel waktu itu, waktu masih buruk banget hasil fotonya dibanding ponsel-ponsel masa kini.
Tiba-tiba ruangan gelap. Penonton riuh berteriak dan tepuk tangan, bangga alasannya konser sudah akan dimulai. Terdengar bunyi pengumuman peraturan-peraturan selama konser berlangsung dari pengeras suara. Lalu layar panggung ditembak lampu, muncul logo LP yang menciptakan penonton, termasuk saya, heboh berteriak dan bertepuk tangan.
Intro dari lagu "Wake" terdengar, layar ditembak lampu dari belakang panggung, memunculkan siluet raksasa yang menciptakan penonton semakin blingsatan. Kemudia kain layar melambai-lambai ibarat ditiup topan dan perlahan-lahan tersibak. Formasi Linkin Park sudah standby di posisi masing-masing, kecuali Chester. Seperti biasa, vokalis gres muncul dikala verse pertama. Sudah tak terjelaskan lagi bagaimana riuhnya penonton dikala Chester muncul. Saya juga sudah nggak peduli lagi bagaimana suasana ruang konser. Saya cuma terfokus pada performa di panggung, dan bagaimana caranya melihat Chester dengan terperinci di sela-sela ketiak para penonton Kaukasia yang jangkung-jangkung.
Teman-teman wanita aku kebanyakan lebih menggandrungi Mike Shinoda alasannya cakep dan cool. Saya sendiri lebih terkesan dengan Chester, lebih alasannya vokalnya. Teriak atau bernyanyi biasa, aku merasa ada emosi yang besar lengan berkuasa digetarkan dari vokal Chester. Meminjam kata-kata dalam ungkapan murung Chester perihal Chris Cornell yang gres wafat di bulan Mei lalu, “Your voice was joy and pain, anger and forgiveness, love and heartache all wrapped up into one.” Bagi saya, bunyi Chester persis begitu. Marah, sedih, getir, dan kadang manis sekali. Iya, manis, ibarat yang terdengar di lagu "Shadow of the Day", walaupun dalam liriknya terasa kesedihan dan keputusasaan.
Konser berjalan mulus, dengan Chester dan Mike Shinoda bernyanyi bersama dan bergantian. "Papercut", "Numb", "Breaking the Habit", dan banyak lagi. Terus terang aku nggak hafal lagu apa dari album yang mana. Saya juga nggak begitu memerhatikan agresi anggota grup band yang lain, walaupun aku tahu bahwa kesempurnaan performa mereka yaitu hasil dari kolaborasi semuanya.
Chester sebagai vokalis utama nggak banyak basa-basi. Buat sebagian orang, vokalis seharusnya lebih ramah dan suka menyapa penonton. Buat saya, itu nggak penting. Saya puas dengan performa vokal yang prima, nggak kehabisan napas di tengah-tengah lengkingan, dan menyanyikan nada dengan pas. Chester did that. Ke-nggak-basa-basi-annya justru menciptakan aku merasa beliau menyanyikan lirik-lirik getir itu dengan tulus. Entah, ya, apa gotong royong alasannya beliau lagi lelah saja. Ya, setidaknya itu yang aku rasakan dikala menonton.
Di pertengahan konser Chester membuka kemeja merahnya. Berteriak-teriak sambil mondar-mondar di panggung dan disorot lampu panggung, walaupun di ruangan ber-AC, tetap saja membuatnya gerah. Permainan lampu semakin meriah, terutama di bab refrain lagu. Merah, biru, kuning, ungu, dengan layar latar yang kadang menampilkan logo LP dan kadang polos saja merefleksikan bayangan raksasa para anggota band.
Seperti biasa, para anggota grup band menghilang tanpa pesan, minta dipanggil untuk encore. Seperti biasa pula, penonton meneriakkan ‘we want more!’, tapi nggak ada ‘cu-ran-mor’ di Singapura. Tentu aku ikut teriak we want more alasannya memang masih ingin menyaksikan Linkin Park beraksi lagi. Lalu mereka muncul, dan tiga lagu terakhir dikumandangkan. “One Step Closer”, “In The End”, dan “Bleed It Out”. Lalu mereka pamit, berterima kasih pada penonton. Riuh rendah tepuk tangan dan sorak penonton dengan teriakan-teriakan cinta mengantarkan Chester dan kawan-kawan menghilang ke balik layar.
* * *
21 Juli, 2017.
Pagi ini, masih bermalas-malasan di daerah tidur, aku membuka Path di ponsel. Atre memasang tautan artikel berjudul “Breaking News: Linkin Park singer and father-of-six Chester Bennington commits suicide aged 41 on the birthday of his late friend Chris Cornell”. Hah?! Seketika rasa kantuk aku berganti syok. Saya baca artikel itu hingga tuntas, dan mencari info di beberapa situs lain semacam untuk konfirmasi.
Oh, no. Chester Bennington - aku pun gres tahu nama belakangnya - benar-benar telah meninggal. Ia ditemukan telah menggantung diri di kediamannya ketika sedang sendirian di rumah.
Saya bukan penggemar yang selalu mengikuti perjalanan karier dan kehidupan pribadinya, tapi tak terelakkan mata aku berkaca-kaca demi membaca dongeng singkat hidup Chester yang cukup dramatis di artikel-artikel itu. Apakah vokalnya yang emosional dan lirik-lirik lagunya yang banyak kegetiran itu memang teriakan isi hati dan kepala Chester selama ini? A cry for help but nobody could really help, or was he too comfortable in the panic?
Entahlah.
Saya berusaha untuk nggak sok menganalisis hidup Chester Bennington, yang aku kenal pun tidak. Bunuh diri, selama ini aku diajarkan, yaitu hal yang sia-sia, berdosa, dan pengecut. Namun, tahu apa aku perihal apa yang dialami orang lain? Ya, nggak jarang aku pun judgmental terhadap orang lain, walaupun aku tahu itu salah. Tapi jikalau sudah hingga bunuh diri, aku kira ada sesuatu yang sangat berat yang telah dialaminya; dapat jadi alasannya pengalamannya sendiri atau alasannya tidak menemukan santunan yang cukup dari siapapun dan apapun di sekitarnya.
Dulu Kurt Cobain, kini Chester Bennington. Dua musisi, vokalis, penulis lirik, dan pencipta lagu yang lagu-lagunya telah menemani sebagian hidup saya, yang entah kenapa menciptakan aku nyaman dengan rasa yang dipancarkan dari musik dan nyanyian mereka.
Rest In Peace, Chester.
Semua foto dari Martin Altanie.
Tidak ada komentar