Ads

Ads
Menu
Travel Agent Penyedia Info Wisata

Merayakan Hari Istimewa Di Plataran Menteng


Pada tanggal 16 Juni yang gres saja lewat, saya dan Diyan merayakan ulang tahun ijab kabul ke-4. Di tiga tahun sebelumnya kami merayakan hanya dengan nonton di bioskop atau makan malam berdua entah di mana, saya lupa. Entah kenapa, kali ini Diyan melontarkan wangsit lain. “Kita rayain di Plataran Menteng, yuk!” katanya. Sontak saya mengiyakan, alasannya memang sudah cukup usang ingin mencoba makan di sana.

Proses reservasi sedikit alot alasannya Plataran Menteng laku manis untuk program buka puasa. Setelah mencoba dua kali, risikonya kami sanggup meja, walaupun gres sanggup mulai di jam 20.30.

Plataran Menteng ialah bab dari grup Plataran yang bergerak di bidang hospitality, meliputi restoran dan hotel. Belum satupun cabang mereka yang saya datangi sebelumnya. Yang menciptakan saya ingin tau ialah alasannya bangunan Plataran Menteng ini terlihat bagus dan anggun, serta menyajikan hidangan kuliner Indonesia. 

(Baca juga goresan pena perihal restoran Indonesia favorit saya: Tugu Kunstkring Paleis


Meja di kanan itu kawasan kami bersantap malam. 



Tamu-tamu di meja panjang ini salah satu sumber keberisikan malam itu.


Malam anniversary tiba. Setelah terburu-buru berdandan sederhana dengan baju gres yang sebetulnya saya beli untuk Lebaran, kemudian bersabar dengan kemacetan Jumat malam yang gila, dan harus meyakinkan staf restoran lagi bahwa kami sudah menciptakan reservasi, risikonya kami duduk di meja pada jam sembilan kurang. Ruang makan utama di lantai dasar itu sedikit terlalu terang-benderang dan berisik akhir ramainya tamu dalam kelompok besar dan jarak antar meja yang kurang jauh. Taman di depan meja kami menjadi ‘studio foto’ para tamu yang kebanyakan berbalut gaun kaftan dan berdandan to the max.

Sejujurnya, saya mengira suasana Plataran Menteng akan lebih tenang, tidak seriuh ini. Namun desain interiornya memang elegan mirip yang tercitrakan dari eksteriornya. Rumah besar yang dulunya dihuni keluarga seorang dokter terkemuka di Jakarta ini bergaya kolonial Belanda dan terdiri dari tiga tingkat. Taman di tengah bangunan memberi ruang untuk pohon yang konon berusia lebih dari seratus tahun, dengan dahan-dahannya yang menjulur hingga ke tingkat tiga. Saya selalu punya hormat lebih untuk pemilik bangunan yang membiarkan pohon tumbuh mirip ini (pernah saya temukan juga di Lucky Cat Café Jakarta, Hotel Tugu Lestari Blitar, dan Le Jardin Villas Bali).

Pohon di belakang saya itu tingginya hingga lantai 3 di dalam gedung.


Saat memesan menu, kami berpikir agak usang alasannya banyak yang menarik dan banyak juga yang belum terbayang alasannya buku hidangan tidak disertai ilustrasi makanan. Sang pramusaji menjawab dengan sabar setiap pertanyaan kami, dan selalu melempar senyum bahkan dikala saya membatalkan pesanan air mineral yang ternyata berharga Rp75.000 per botol 750 ml. Akhirnya pilihan kami jatuh pada Kerabu Pucuk Polong (sayur kecipir dengan serutan kelapa, kacang, potongan daging ayam dan telur rebus), Udang Gandum (king prawn goreng dengan bumbu gandum dan jeruk purut), Mushrooms Medley Tofu (tahu dan jamur dengan bumbu yang saya tak mengerti), dua porsi nasi putih, Lychee Iced Tea dan Fresh Juice. Tak hingga 15 menit, semua pesanan kami sudah hingga di meja. Wow, magic!

Bersantap dengan kehati-hatian ekstra alasannya mengenakan baju putih, saya tetap menikmati sekali kelezatan semua hidangan kami. Si king prawn menjadi favorit saya, alasannya selain saya memang sangat suka udang, bumbunya gurih, renyah, daging udangnya manis, semua dalam dosis yang pas, tak terlalu tajam. Sedangkan Diyan paling menyukai si kecipir alasannya rasa bumbunya paling tajam. Seperti biasanya, makan di malam sehabis buka puasa menciptakan kami agak cepat kenyang. Maka walaupun pengecap kami rasanya masih ingin terus mengecap semua hidangan tadi, terpaksa kami berhenti makan dan meminta pramusaji untuk membungkuskan sisa kuliner yang masih sisa setengahnya. Lumayan, buat sahur, dan tidak mubazir.


Masih menunggu satu hidangan lagi sebelum kami mulai makan.


Seraya menenangkan perut yang kekenyangan, kami memerhatikan tamu-tamu lain yang masih sibuk berfoto grup di taman, di meja makan, dan di lobi. Keberisikan sudah berkurang alasannya sudah banyak meja yang kosong. Kamipun merasa sudah waktunya pulang. Namun sebelum menuju pintu keluar, kami berjalan-jalan dulu ke lantai dua.

Baru hingga lift, kami sudah terkesima alasannya interiornya yang bling bling. Keluar dari lift, kami disambut serambi dengan tegel bermotif klasik yang mengantarkan kami ke ruang makan dengan meja-meja panjang dan beberapa set sofa. Ruangan lantai dua ini tampak lebih glamor dan cocok untuk pertemuan-pertemuan resmi. Ada pula beberapa ruangan makan yang lebih tertutup, salah satunya dinamakan Ruang Kebaya. Sebuah ruangan di bab depan berdindingkan kaca, sehingga terang melihat ke jalan raya. Di siang hari ruangan itu niscaya panas sekali, tapi ada tirai yang sanggup ditutup untuk melawan sinar matahari. Semua ruangan, termasuk kamar kecil, didesain dengan rapi, elegan, dan banyak sentuhan tradisional Jawa atau Peranakan Cina. Elemen dekorasi banyak terdiri dari piring keramik di dinding, cermin besar dan kecil berbingkai kayu ukiran, hingga pembatas ruangan mirip gebyok.


Lift bling bling dan tangga yang agak tersembunyi.

Tegel yang manis.


Sebagian ruang bersofa.


Salah satu ruang makan yang tertutup.

Ladies restroom di lantai dua.

Terus terang, sulit bagi saya untuk tidak membanding-bandingkan Plataran Menteng dengan Tugu Kunstkring Paleis, restoran kuliner Indonesia favorit saya yang merangkap galeri seni dan juga berlokasi di Menteng. Walaupun saya masih lebih menyukai Kunstkring alasannya totalitasnya dalam aneka macam hal (artistik, budaya, imajinasi, dan konsep), secara keseluruhan saya cukup menyukai Plataran Menteng, terutama alasannya desain arsitektur dan kelezatan makanannya. 

Apakah saya akan mengulangi makan di Plataran Menteng? Kalau lagi ada rezeki nomplok, mungkin okelah. Untuk Rp400-600.000 berdua, saya masih akan berpikir-pikir lagi kalau peristiwanya tidak terlalu istimewa.


Kamu sendiri, punya restoran Indonesia yang ingin diceritakan? 




Tidak ada komentar