Deretan meja dingklik berwarna-warni berjemur di luar bangunan berdinding putih. Pintu dan jendela tertutup rapat. Tampaknya taverna ini masih tutup walaupun kala itu sudah hampir tengah hari. Hanya seekor kucing makhluk hidup yang tampak di antara kursi-kursi, sibuk menjilat badannya sendiri dengan mata terpicing. Kami berjalan lagi menyusuri gang, hingga ke bangunan yang di luarnya terdapat meja dingklik dan pintu yang juga tertutup rapat.
“Sudah buka, belum, ya?” saya bertanya setengah berharap.
Sekelebat bayangan orang terlihat di balik pintu bab dalam taverna. “Tuh, sudah ada orangnya. Kita duduk aja,” sahut Diyan tanpa beranjak dari daerah ia berdiri.
“Kalimera!” sapa seorang laki-laki berkepala plontos di bab atas, berperut tambun, bermata tajam, yang tiba-tiba saja keluar dari pintu di hadapan kami sambil membawa selembar kertas besar di tangannya.
“Kalimera!” sahut kami, mengikuti kebiasaan orang Yunani dalam bertegur sapa jikalau hari belum lagi sore. “Are you open?” tanya saya sambil memerhatikan laki-laki itu memasang kertas besar tadi di salah satu meja. Ternyata itu ialah taplak meja sekali pakai. Di tengahnya terdapat gambar sablon bangunan dengan goresan pena “Archountoula” dalam huruf Yunani, persis yang tertera di plang lingkaran di atas salah satu jendela.
“Yes. Please, have a seat,” jawabnya, kemudian mengambilkan lembar sajian untuk kami. Saya menentukan sajian dengan daging ikan dan Diyan, ibarat biasa, daging ayam dengan kentang goreng. Saat menunggu masakan dimasak, sepasang turis lainnya tiba dan duduk di meja belakang saya, mereka bercakap-cakap dalam bahasa Italia. Kami sudah melihat mereka sebelumnya, ketika jalan-jalan di sekitar gereja Panagia Korfiatissa, tak jauh dari taverna.
Kursi-kursi masih bersandar ke meja di taverna Archountoula. |
Gereja Panagia Korfiatissa berdiri semenjak era ke-19, populer alasannya ialah lukisan al fresco dan peninggalan-peninggalan dari era ke-17 yang berada di dalamnya. Sayangnya waktu itu pintu gereja terkunci, kami hanya sanggup menikmati pemandangan di luarnya. Panagia Korfiatissa yang didekasikan untuk kelahiran Perawan Maria ini hanya satu dari banyaknya gereja yang ada di Plaka, ibukota Pulau Milos dan sekitarnya.
Plaka sendiri merupakan pemukiman yang awalnya dibangun untuk menampung pengungsi yang tak muat lagi di balik tembok Kastro yang didirikan di atas bukit tak jauh dari situ. ‘Plaka’ berarti ‘batu yang datar’ atau sanggup diartikan sebagai sebidang tanah datar. Selain di Milos, ada beberapa daerah lagi di Yunani yang dinamakan Plaka, termasuk sentra suvenir yang populer di Athena.
Ketika perut mulai keroncongan, kami menyudahi duduk-duduk di depan gereja demi mencari makan siang. Namun kami berjalan santai saja, menyusuri gang-gang pemukiman yang lebih banyak didominasi berwarna putih dengan aksen biru dan abu-abu. Cantik sekali kota ini. Walaupun ‘tanah datar’, sebagian dari area ini berkontur naik turun landai dengan bawah umur tangga yang lebar dan berbelok-belok. Keindahan Plaka tidak kalah dari Fira ataupun Oia, tapi jauh lebih sepi dari turis. Bukan hanya Plaka, hampir seluruh Pulau Milos demikian.
Panagia Korfiatissa |
Gereja dengan pemandangan laut. |
Pulang sekolah. |
Sepertinya menyenangkan tinggal di daerah ibarat ini. |
Taverna Archountoula di sebelah kiri. |
Pria tadi tiba dan menyajikan pesanan kami di meja. Setelah mempersilakan makan dengan senyuman, ia kembali menghilang di balik pintu. Walaupun terasa angin mulai bertiup lebih kencang, saya bersikukuh untuk tetap bersantap di meja luar. “Jarang sanggup al fresco begini,” ucap saya yang kemudian dimaklumi Diyan, yang lebih tahan hambar daripada saya.
Selesai makan, ternyata kami menerima kejutan berupa masakan pencuci verbal yang disajikan di sendok kecil. Rasanya agak asam, tampaknya terbuat dari yogurt, berbeda dengan dessert yang biasanya manis.
Makanan seenak ini, bagi Diyan masih kurang satu hal: sambal. |
Hari semakin siang, semakin bertambah turis yang hilir pulang kampung di gang-gang Plaka. Kami pun hendak beranjak walaupun tolong-menolong masih nyaman duduk di Archountoula.
“Which way is Kastro?” Diyan bertanya pada laki-laki tadi, yang kami asumsikan ialah pemilik restoran.
“Just go down this street,” jawabnya sambil mengarahkan tangannya ke verbal gang, “and then cross the main street, you’ll see a sign that says ‘Kastro’. Then walk up the street and you’ll find stairs. Just go up, you’ll find it.” Ketika kami berpamitan, ia menyahut dengan senyuman dan berkata, “Enjoy!”
Jalan menanjak melalui lorong ini menuju Kastro. |
Kastro ialah lokasi wisata yang merupakan rekomendasi dari ibu host Airbnb kami yang baik hati. Setelah berjalan kira-kira setengah jam, tidak mengecewakan ngos-ngosan saya sesampai di atas. Tapi ibarat biasa selama di Yunani, perjalanan yang melelahkan selalu terbayar dengan indahnya pemandangan.
Kastro dibangun pada era ke-13 di puncak bukit Prophitis Ilias sebagai pemukiman rakyat dan untuk mengawasi gerak-gerak para perompak dan musuh yang berkeliaran di Laut Aegea. Di dalam dindingnya terdapat gereja Mesa Panagia atau Panagia Shiniotissa, yang siang itu terkunci pula. Gereja Panagia Thalassitra, yang berdiri di pelataran yang lebih rendah, menjadi bab dari pemandangan 360° kami. Latar belakangnya Laut Aegea yang biru dan tanpa ombak. Sayangnya angin tak setenang bahari ketika itu. Saat memotret, saya harus memastikan tali kamera dikalungkan di leher untuk menghindarinya terguncang dan terjatuh akhir angin yang bukan lagi bertiup, tapi menerpa.
Dulu kala di bukit ini banyak rumah penduduk yang berlindung dari perompak. |
Panagia Thalassitra dan Laut Aegea. |
Kelihatan kan, anginnya? |
Keesokan harinya, sebelum pergi ke Catacombes dan pantai Sarakiniko, kami mampir lagi ke Archountoula untuk makan siang. Pagi yang mendung disambut gerimis di siang hari, menciptakan baju dan jaket yang sudah berlapis-lapis tak juga terasa hangat, sehingga kami putuskan untuk duduk di dalam restoran.
Si laki-laki pemilik taverna kini tak sendiri, ada seorang wanita bersamanya, yang kami perkirakan ialah istrinya. Mereka duduk di salah satu meja, melipat-lipat tisu di sela-sela melayani para pengunjung. Seorang anak dewasa kemudian masuk dan menghampiri mereka, masih dengan tas sekolahnya. Setelah bercakap-cakap erat dengan pasangan tadi, anak wanita itu mengeluarkan buku dan alat tulis, kemudian tampak mengerjakan PR di meja lain. Pemandangan ibarat itu jamak saya lihat di restoran-restoran milik keluarga, bukan hanya di Yunani. Ibu dan ayah bekerja, anak pulang sekolah mampir ke restoran dan mengerjakan kiprah sekolah, kemungkinan hingga (salah satu) orang tuanya selesai bekerja dan pulang bersamanya.
“Guk!” seekor anjing kecil dengan bulu-bulu yang hampir menutupi matanya menyampirkan kedua kaki depannya di dingklik Diyan. Ia tadi masuk ke taverna bersama si anak remaja. Kami bukan penggemar anjing, tapi si gempal fluffy satu ini menggemaskan sekali! Ia meminta chicken fillet yang ada di piring Diyan. Tentu tak kami beri, alasannya ialah anjing peliharaan begitu biasanya sudah menerima masakan cukup dari tuannya, dan kami tak mau merusak pendidikan perilakunya.
Menu yang kami pesan hari itu tak berbeda jauh dengan hari sebelumnya. Makanan pencuci mulutnya berbeda, tapi sama-sama agak asam ibarat hari sebelumnya. Yang berbeda, hari itu Archountoula lebih ramai pengunjung. Kami mendengar lebih banyak macam bahasa yang diucapkan.
Ayam bakar dan kentang, makan siang saya. |
Down, boy! |
Mengurus taverna. |
Kelar makan, gerimis telah bermetamorfosis hujan. Karena memakai motor, kami tak berani untuk keluar dan menerjang cuaca Milos yang berangin plus hambar akhir hujan. Apalagi jalanan di pulau itu kebanyakan terbuka, tak terlindung pepohonan ataupun gedung.
“Can I have a hot tea, please?” Secangkir teh hangat menjadi pilihan saya untuk mengisi waktu menunggu hujan reda, sedangkan Diyan membaca komik di ponselnya. Seekor kucing tiga warna berjalan mendekati meja saya, namun tak mau disentuh. Ia hanya duduk di lantai dekat saya, mungkin juga sedang berlindung dari hujan.
Riuh rendah percakapan para pengunjung taverna terus berlanjut. Tak hingga setengah jam kemudian dari balik beling jendela saya melihat guratan hujan sudah berkurang, lama-lama hilang.
“Pergi sekarang, yuk. Kalau kesorean takut nanti Catacombes-nya tutup,” ajak Diyan.
Setelah membayar tagihan, kamipun mengucapkan selamat tinggal pada keluarga pemilik restoran, anjing mereka, dan si kucing. Tak disangka-sangka bahwa dari sekian daerah yang kami sambangi di Milos, kesudahannya justru taverna Archountoula yang menjadi daerah paling berkesan bagi kami. Kami berjalan keluar, berharap suatu ketika sanggup mampir ke sana lagi.
Tidak ada komentar