Tulisan ini bab dari artikel yang saya tulis untuk Majalah Panorama versi cetak di tahun 2014, versi sebelum diedit. Perjalanannya saya lakukan di bulan November 2013.
Diyan berusaha membaca judul buku-buku ini tapi nggak bisa, alasannya yaitu belum berguru baca abjad Myanmar. |
“Kok mereka pakai sarung, ya?” ucap saya, setengah bertanya pada Diyan, suami saya. Sama bingungnya, Diyan hanya membisu dan terlihat menyerupai berpikir.
Pemandangan unik yang saya perhatikan semenjak mendarat di Yangon International Airport, Myanmar, yaitu banyaknya laki-laki yang mengenakan sarung dengan atasan kemeja. Lalu, ketika mengantre di depan meja imigrasi, pandangan saya menangkap banyak perempuan yang juga mengenakan sarung atau rok panjang. Mereka terlihat anggun dengan kain yang bermotif bunga-bunga, tribal menyerupai ikat, atau polos beraneka warna. Sempat saya berpikir, bahwa hari itu hari Jumat dan para laki-laki hendak pergi shalat Jumat ke masjid. Tapi, tunggu dulu! Itu ‘kan hari Sabtu, dan setahu saya, penduduk Myanmar kebanyakan beragama Budha!
Tak usang kemudian, Diyan berseru, “Oh, yang mereka pakai itu namanya longyi!” Ah, ya! Saya menyadari, bahwa inilah busana khas mereka, yang rasanya pernah saya baca sekilas ketika sedang browsing perihal Myanmar. Ya, tak salah lagi!
* * *
Pesawat yang kami tumpangi mendarat pada pukul 9.15. Setelah menukar uang dolar AS ke kyat, kami bergegas mencari taksi resmi dari bandara yang dapat mengantarkan ke Aung Mingalar Highway Bus Centre. Tujuan kami hari itu hanya membeli tiket bus malam ke Bagan, kemudian berjalan-jalan keliling kota Yangon untuk mengisi waktu.
Sejujurnya, tak banyak yang kami ketahui perihal Myanmar, negara yang gres di tahun 2010 mulai terbuka terhadap wisatawan asing. Justru itulah yang menciptakan kami ingin tau dan membeli tiket pesawat ke Yangon, kota paling metropolitan di Myanmar, yang kemudian diikuti banyak sekali pertanyaan dari teman-teman kami, seperti, “Mau ngapain di Myanmar?” atau “Memangnya ada apa di Myanmar?” Sejujurnya, kami ingin melihat rumah Aung San Suu Kyi yang sedang menjadi tahanan rumah kala itu. Namun setahu kami, perihal politik yaitu hal sensitif untuk ditanyakan ke sembarang orang di sana. Alih-alih meminta supir taksi mengantarkan melewati rumah sang pejuang demokrasi, kami meminta diturunkan di sentra kota saja.
Ketika berjalan-jalan di sentra kota Yangon, kami melihat makin banyak orang mengenakan longyi. Para tamu hotel berbintang lima, para pegawai kantor, para pengunjung rumah makan, hingga para supir taksi. Saya penasaran, bagaimana rasanya, ya, mengenakan sarung sehari-hari, di tengah kegiatan kehidupan yang sudah modern?
Selain longyi, atribut yang jamak kami lihat di Yangon yaitu payung. Wanita maupun pria, banyak sekali yang berjalan dengan payung terkembang di atas kepala, melindungi dari matahari Yangon yang begitu terik. Untungnya, kami pun sudah siap dengan payung yang kami bawa dari Jakarta, hingga tak perlu mengernyit kesilauan untuk mengagumi Pagoda Sule di hadapan kami.
Pagoda Sule bangkit di bundaran sempurna di tengah kota. Untuk memasuki pagoda yang konon sudah berumur sekitar 2.500 tahun ini, pengunjung harus melepas ganjal kaki dan turis diwajibkan membayar bantuan sebesar 2.000 kyat atau 2 dolar AS per orang. Seperti di tempat-tempat ibadah umat Budha umumnya, pengunjung dibutuhkan berpakaian sopan, menutupi bahu hingga lutut.
Pagoda yang berbentuk segi delapan ini dikelilingi formasi toko kecil, di antaranya memperlihatkan jasa membaca garis tangan dan astrologi. Berjalan ke arah tenggara dari pintu Pagoda Sule, kami hingga di Taman Mahabandoola yang tertata rapi, dengan tugu kemerdekaan bangkit di tengahnya.
Interior Pagoda Sule yang hampir menyilaukan. |
Pagoda Sule di tengah hiruk-pikuk kota Yangon. |
Kota yang menjadi ibukota Myanmar hingga tahun 2005 ini, sangat ramah bagi pejalan kaki. Trotoarnya, walaupun sebagian dijadikan sebagai daerah berdagang kaki lima, tetap mengatakan ruang untuk berjalan. Tak jauh berbeda dengan banyak kota di Asia Tenggara lainnya, menyerupai Vientiane, Manila, dan Surabaya, Yangon pun mempunyai banyak gedung anggun peninggalan bangsa Eropa. Gedung-gedung ini merupakan saksi biksu penjajahan Inggris di Myanmar selama 124 tahun, yang berakhir di tahun 1948. Gedung-gedung ini masih bangkit kokoh, namun sayangnya kurang terawat.
Gedung-gedung bau tanah menjadi obyek menarik untuk difoto, beberapa orang setempat pun sangat ramah kepada turis. Ketika sedang asyik memotret gedung High Court, untuk kesekian kalinya kami disapa dalam bahasa Myanmar. Wajah melayu kami memang tipikal orang setempat. Kali ini seorang polisi pariwisata yang mengajak ngobrol. Dengan bahasa Inggris yang terbata-bata, ia menjelaskan sedikit perihal gedung yang termasuk dalam daftar cagar budaya itu.
Tidak menyerupai masyarakat sipil, semua polisi yang kami lihat di Myanmar mengenakan celana panjang, bukan longyi. Mungkin repot juga, ya, jikalau harus mengejar penjahat mengenakan sarung!
* * *
Kami berkeliling Yangon dengan sangat santai. Ketika panas tak tertahankan, kami pun berlindung dari sengatan matahari di sebuah kedai es krim yang ber-AC. Keinginan untuk berkunjung ke Shwedagon, pagoda paling populer di Yangon, kami tangguhkan untuk beberapa hari kemudian ketika kami akan transit sehari lagi di Yangon sebelum pulang ke Jakarta (yang hasilnya kandas alasannya yaitu kami menambah satu malam di Bagan).
Ketika hari menjelang magrib, bergegas kami menuju terminal bus dan berangkat ke Bagan, destinasi utama kami dalam perjalanan ini.
Apa saja bencana yang kami alami di Bagan? Apakah orang-orang di Bagan juga menggunakan longyi dan payung menyerupai di Yangon? Nantikan dongeng selanjutnya, ya.
Baca juga perihal Myanmar:
Tidak ada komentar