Ads

Ads
Menu
Travel Agent Penyedia Info Wisata

Tantangan Menggunakan Longyi Sehari Di Bagan, Myanmar


Tulisan ini bab dari artikel yang saya tulis untuk Majalah Panorama di tahun 2014, versi sebelum diedit. Perjalanannya sendiri kami lakukan di bulan November 2013, ketika turis masih diizinkan untuk menaiki bangunan-bangunan kuil. Baca bab pertama di sini


Memakai longyi di Bagan, Myamar.


I knew I loved you before I met you. Itu yang kami rasakan terhadap Bagan dari hasil pencarian gosip perihal Myanmar sebelum perjalanan. Bagan menyimpan segudang cerita bersejarah kerajaan Pagan. Ribuan kuil dan pagoda dari kala ke-9 hingga ke-18 tersebar di area seluas 104 kilometer persegi.

Kami datang di terminal bus Nyaung U di subuh hari, kemudian naik becak ke hotel Aung Mingalar. Becak di sana menciptakan dua penumpangnya bagaikan sedang bermusuhan alasannya ialah duduk beradu punggung, yang satu menghadap depan dan satu lagi menghadap belakang. Sedangkan kakak becaknya mengayuh pedal di samping dingklik penumpang, alhamdulillah menghadap ke depan. 

Pagoda Shwezigon


Tantangan Memakai Longyi: Naik Sepeda


Setelah menaruh ransel di hotel, kami pergi ke Pagoda Shwezigon naik sepeda sewaan. Pagoda berusia 9 kala ini merupakan salah satu pagoda terbesar di Bagan, dengan tinggi dan lebar dasarnya hampir 50 meter. Di salah satu koridor yang mengelilinginya, pandangan saya tertumpu pada tumpukan longyi dengan berpuluh-puluh macam warna dan motif. Nah, ini beliau yang kami cari-cari!


Dari semua motif, pilihan kami risikonya berkompromi dengan harga dan budaya setempat. Ternyata, longyi untuk laki-laki hanya polos atau bermotif kotak-kotak, sedangkan untuk perempuan tersedia pilihan motif yang jauh lebih bermacam-macam – mulai dari garis-garis dengan gabungan benang emas hingga motif floral. Longyi dengan kain yang lebih tebal, berwarna hitam dan motif geometris dengan warna benang yang kontras, terlihat cukup ibarat kain ikat, diberi harga tiga kali lebih mahal daripada yang lainnya.

Sebagian longyi untuk perempuan ialah “ready made”, sudah dijahit tepinya dan ditambahkan tali kain panjang untuk mengikat di pinggang. Sang pedagang mengajarkan cara mengenakannya, sedikit berbeda dengan cara menggunakan sarung yang kami tahu. Untuk longyi tanpa tali tambahan, cara menyimpul kain sama sekali tidak dengan mengikatnya, tapi dengan melipat dan menyelipkan ujung-ujung lipatan sedemikian rupa.


Menuju pagoda untuk beribadah.

Macam-macam motif longyi.

Diyan diajari cara menggunakan longyi.

Iseng-iseng, kami menantang diri untuk menggunakan longyi seharian penuh. Akibatnya, kami semakin sering dikira orang lokal, apalagi kalau kami menyapa orang dengan “Mingalaba,” salam pertemuan yang berarti “semoga hari anda penuh berkah”. Biasanya orang akan lanjut berbicara dalam bahasa Myanmar dan kami hanya sanggup bengong.

Ketika hendak pulang ke hotel, tantangan pertama dimulai.

Memakai longyi memang menciptakan saya merasa lebih anggun. Namun sesungguhnya, anggun itu sulit. Saya mesti lebih hati-hati melangkah alasannya ialah saya tidak terbiasa mengenakan rok panjang lurus hingga ke mata kaki. Ketika pulang ke hotel naik sepeda, jangan ditanya lagi kesulitannya. Saya hampir terhuyung-huyung alasannya ialah harus mengendalikan sepeda sekaligus mengendalikan longyi, sementara di jalan yang hanya berlajur dua tanpa trotoar saya berpapasan dengan motor, pejalan kaki,  mobil, delman, hingga truk! Damn, how do the locals make it look so easy?! 

Mengendarai motor pakai longyi.

Kendaraan besar semakin menciptakan jalan berdebu.

Tantangan Longyi: Naik Delman


Setiap tahun Myanmar ramai dikunjungi turis antara bulan Oktober hingga Februari, ketika cuaca cenderung bersahabat, tidak sering hujan dan tidak terlalu panas. Bagan mengingatkan saya pada Bali alasannya ialah mata pencarian masyarakat banyak yang bergantung pada bisnis pariwisata. Setidaknya, itu yang dikatakan oleh penarik delman setempat, yang mengantarkan kami tur sehari penuh dengan kudanya, Freedom, dari subuh hingga magrib.

Tantangan kedua mengenakan longyi ialah ketika menaiki delman. Tidak ada cara lain, saya harus menarik kain hingga ke lutut sambil naik di bab belakang. Sampai di atas delman, ada persoalan lain. Tidak ada bangku, yang ada hanya matras seluas kolam belakang, sehingga saya harus duduk lesehan dengan “rok span” gres saya.

Pilihan lain ialah dengan duduk menghadap belakang dan kaki bergantung ke luar, dan ini beda lagi tantangannya. Posisi delman agak menukik ke belakang, jadi rasanya takut jatuh kalau saya duduk menghadap belakang mirip itu. Posisi duduk di samping Pak Kusir memang paling nyaman alasannya ialah kita sanggup duduk normal saja, apalagi pemandangan pun terbentang luas di depan. Maka saya dan Diyan pun duduk bergantian di depan.

Delman tanpa pembatas di bab belakang.

Freedom dan Pak Kusir menunggu kami di halaman salah satu kuil.



Tantangan Memakai Longyi: Naik Tangga Kuil

Tantangan ketiga mengenakan longyi ialah ketika harus naik tangga pagoda Bulethi, yang jarak vertikal antar anak tangga hampir setinggi lutut saya. Ditambah lagi, saya memang selalu gamang ketika menaiki bangunan tinggi tanpa pegangan tangga. Rasanya mau jatuh! Tertatih-tatih mirip jompo, saya menaiki tangga dengan berpegangan pada anak tangga di depan, tangan sesekali menarik kain biar tidak menyerimpet, dan sebisa mungkin tidak menatap ke bawah. Hari masih gelap, kelamnya pagoda kerikil bata tersebut hanya diterangi oleh cahaya senter yang kami bawa sendiri.

Semua ini saya lakukan demi melihat matahari terbit di atas daratan luas yang penuh dengan kuil dan pagoda. Gradasi ketajaman warna tampak berlapis-lapis dari garis horizon. Pemandangan yang awalnya keabu-abuan berangsur-angsur menjadi cerah, seiring naiknya posisi matahari dari ufuk timur. Semakin terang, semakin terkuak pemandangan bangunan kuno misterius, tersebar di antara pepohonan dan ladang rumput. Fantastis!

Pada pukul 6.00, balon-balon udara mulai beterbangan, mempercantik pemandangan kami dari atas Bulethi. Naik balon udara ketika matahari terbit atau terbenam ialah salah satu acara paling istimewa di Bagan. Harganya tidak murah, tapi semua testimoni menyampaikan bahwa itu salah satu pengalaman terindah dalam hidup mereka.


Balon-balon terbang di atas Bagan.

Setelah berhasil naik tangga pakai longyi.

Ketika matari mulai tinggi.


Tantangan Memakai Longyi: Merapikannya Tanpa Bercermin

Ada sekitar dua ribuan bangunan kuno yang tersisa di Bagan, dari total sekitar 10.000 bangunan sebelum dataran Bagan dilanda gempa bumi pada tahun 1975. Kami hanya sanggup mengunjungi sebagian kecil kuil dan pagoda di Bagan, dengan panduan Pak Kusir dan artikel-artikel dari internet yang sudah kami cetak.

Kuil Tha Gyar Hit mempunyai patung Buddha setinggi 4 meter. Dari pelataran di atasnya terlihat Sungai Irawaddy yang mengalir di sebelah barat dataran Bagan.

Kuil Ananda merupakan pencapaian seni arsitektur tertinggi kerajaan Bagan, dan merupakan kuil tercantik yang kami kunjungi di Bagan. Berbagai teknik digunakan dalam membangun kuil ini, termasuk tabrakan kayu, tabrakan batu, pencetakan besi, dan lapisan kerikil bata.

Sedangkan kuil Dhammayangyi, bentuknya ibarat piramida, menyimpan cerita suram dan misterius. Konon, Raja Narathu, yang membangunnya pada kala ke-12, ialah seorang perfeksionis dan kejam. Ia tak membiarkan sedikitpun celah di antara lapisan batu-batu bata alasannya ialah ia menginginkan bangunan yang kokoh dan padat. Salah sedikit saja, hamba pekerja dieksekusi mati. Cerita versi lain, sang raja membangun kuil ini untuk menebus perbuatannya dikarenakan telah membunuh ayah, kakak, dan istrinya sendiri! Dan ia menyimpan bukti-bukti kejahatannya di suatu ruangan yang tertutup rapat. Tidak terang cerita mana yang benar, tapi perasaan ngeri terbersit ketika kami menyusuri lorong-lorong kuil Dhammayangyi yang terasa lembap.

Semakin sore, semakin banyak lorong dan anak tangga yang kami lalui di kuil-kuil tua, semakin awut-awutan pula lipatan longyi yang saya pakai. Akan sangat membantu kalau saya merapikannya di depan cermin, tapi di situlah letak tantangannya.

Lama-lama, saya pikir, tak apa-apa berantakan, yang penting panjangnya longyi masih di bawah lutut, masih sopan untuk memasuki kuil-kuil dan pagoda. Sempat terpikir untuk menggantinya dengan celana panjang, tapi saya ogah kalah dengan tantangan sendiri. Lagipula tanggung, kunjungan saya tinggal ke satu situs lagi hari itu.

(Baca juga: Golden Palace Bagan)

Ananda Paya yang sedang dalam renovasi.

Kuil Dhammayangyi 
Salah satu susukan ke kuil Dhammayangyi

Mulai Lincah dengan Longyi

Kuil Shwesandaw ialah tempat favorit para turis untuk melihat matahari terbenam. Saking ramainya, terlambat sedikit saja kita sanggup gagal mendapat tempat strategis untuk melihat matahari.
Di pelataran bawah, berjajar meja suvenir. Di sebuah pojok, seorang perempuan bau tanah menenun kain bermotif garis-garis, yang biasa dijadikan syal maupun longyi. Wanita ini menarik perhatian para turis alasannya ialah kalung-kalung di lehernya yang panjang. Obrol punya obrol, ternyata ia dari Di Mor Soo, sebuah kawasan di selatan Myanmar. Mereka keturunan suku Kayan, bab dari suku Karen yang sering menjadi daya tarik wisata di Myanmar dan Thailand.

Seusai melihat-lihat suvenir, kami naik ke pelataran tingkat keempat kuil Shwesandaw. Kali ini lebih gampang alasannya ialah terdapat pegangan tangga, dan saya pun sudah mulai hebat melangkah dengan longyi. Ha!

Setelah melalui beberapa kesulitan selama menggunakan longyi, saya jadi kagum pada masyarakat Myanmar. Walaupun gaya berpakaian modern sudah memasuki kehidupan mereka, longyi masih banyak digunakan dan tampaknya tidak mengganggu acara sehari-hari. Dari pengalaman dan pengamatan saya sendiri, longyi juga serbaguna. Saat cuaca panas, longyi melindungi kulit dari sengatan matahari dan memberi ruang untuk sirkulasi udara. Saat cuaca dingin, longyi sanggup berfungsi bagaikan selimut. Untuk beribadah, longyi menutupi bab badan yang seharusnya tidak diumbar. Sedangkan bagi para laki-laki yang bekerja di ladang, longyi sanggup ditarik dan disimpul di bab pinggang hingga ibarat celana pendek mirip popok dewasa. Longyi is versatility!

Memelajari peta Bagan sambil menunggu matahari tenggelam.


Para penjual longyi di pelataran Shwesandaw.

Pemandangan menjelang matahari terbenam.

* * *

Sore itu, pemandangan matahari terbenam dari Shwesandaw memukau. Kabut tipis perlahan-lahan menyelimuti dataran Bagan, diterpa cahaya emas berkilau dari sang mentari, hingga risikonya berkas sinar memendar dari balik awan, meninggalkan ribuan kuil hanya sebagai siluet. Satu-persatu pengunjung turun dan meninggalkan kuil, kami tak ketinggalan.


Saya kembali menaiki delman, kali ini dengan lebih lincah, dan kami siap pulang ke hotel. Saya menatap longyi yang saya kenakan. Ia masih terlihat cerah walaupun sudah diterpa angin, debu, dan bergesekan dengan tembok-tembok kuil ketika saya menyusuri lorong-lorongnya. Sudah waktunya saya bawa ia ke Indonesia sebagai kenang-kenangan kunjungan ke Myanmar yang penuh daya pikat.

Pemandangan matahari terbenam dilihat dari Shwesandaw.


Tidak ada komentar