“Kita berhenti di mana ya?” tanya saya pada Diyan sambil celingak-celinguk ke luar bus kota. Diyan yang juga tampak gundah memerhatikan jalanan kota Thessaloniki, nggak menjawab. “Tadi ada banyak toko dan kafe berderet gitu, saya mau ke situ,” ungkap saya lagi, mengingat-ingat jalan yang kami lalui beberapa jam lalu, dikala gres memasuki kota kedua terbesar di Yunani ini. Kartu SIM yang waktu itu kami gunakan, entah kenapa, nggak bekerja fungsi data internetnya, sehingga penggunaan internet hanya bergantung pada koneksi wifi gratisan, jadi nggak dapat cek Google Maps di jalan.
Putus asa mencari lokasi yang saya maksud, beberapa puluh menit kemudian kami memutuskan untuk turun di halte sembarang saja. Berjalan mengikuti perasaan, belok kanan belok kiri semaunya, tahu-tahu kami memasuki jalan kecil yang dipenuhi kios. Berwarna-warni tenda berderet di jalan khusus pejalan kaki yang diapit gedung-gedung bertingkat ini. “Wow, pasar!” seru saya. Farmers’ market, lebih tepatnya lagi. Tempat para petani menjual hasil dari ladangnya.
Berwadah-wadah besar buah zaitun, tomat, apel, stroberi, serta sayuran, paprika, bawang bombay, kacang-kacangan, dan banyak lainnya dijajakan di sana. Ada pula truk telur ayam menyempil di formasi kios. Eh, ada yang jual pisang juga, lho! Padahal bukannya pisang itu tanaman tropis, ya?
Para pedagang menjajakan dagangannya dengan seruan yang bersemangat. Miriplah dengan pasar di Indonesia, cuma bedanya pedagang-pedagang ini rata-rata berbadan besar, bersuara lebih menggelegar dengan bahasa Yunani yang intonasinya kadang menyerupai murka padahal tampaknya nggak.
Jadi, kadang saya agak kaget juga mendengar teriakan mereka.
Jadi, kadang saya agak kaget juga mendengar teriakan mereka.
“China? Malaysia?” tanya seorang laki-laki pedagang pada saya ketika saya melihat-lihat paprika di kiosnya. “No, Indonesia,” jawab saya, ingin tau bagaimana reaksinya kemudian. “Oh, Indonesia! Moslem!” katanya. Ha ha ha ha… Itu sungguh bukan reaksi yang saya harapkan. Karena saya nggak pernah menganggap Indonesia ini negara Islam, saya jadi suka lupa bahwa penduduk Indonesia memang lebih banyak didominasi beragama Islam, sehingga orang luar sering mengaitkan Indonesia dengan agama Islam. “Ooh..” kata seorang pedagang lainnya, sambil mengatakan gestur ketakutan. Wah, sebegitu mengerikannya, ya, kesan agama Islam di sana?
Saya terus berjalan menyusuri pasar, yang saya nggak tahu permanen atau termasuk pasar kaget ini. Berbeda dengan pasar tradisional yang sering saya masuki di Indonesia, pasar ini nggak bau. Mungkin alasannya yakni di sana udaranya lebih kering, jadi sampah organik nggak cepat membusuk, entahlah. Yang jelas, sampah pun nggak terlihat berantakan di mana-mana.
Ketika saya minta izin seorang pedagang untuk memotret cherry di kiosnya, ia malah minta ikut difoto juga. Senyumnya mengembang dikala saya membidik dengan kamera, dan pada bidikan berikutnya ia mengajak temannya untuk difoto bareng. Melihat saya yang sangat ‘turis’ ini, ia pun bertanya dari mana saya berasal. “Indonesia,” jawab saya. “Oh, Indonesia. Far away!” begitu kira-kira responsnya, nggak pakai bergidik takut.
Tiba di suatu perempatan, kami harus menentukan untuk terus ke bab pasar lainnya, atau belok dan menemukan entah apa lagi. Merasa sudah puas melihat isi pasar dalam suasana riuh, kami memutuskan untuk belok dan melihat entah apa lagi. Pencarian kami akan formasi toko dan kafe pun berlanjut…
*Tulisan ini masih bab dari 28 Days Blogging Challenge. Temanya kali ini “pasar tradisional”. Berhubung semua kisah pasar tradisional saya yang di Indonesia sudah dituliskan di indohoy.com, maka di sini saya ambil kisah dari trip Yunani.
Tidak ada komentar