Di tengah malam ini teman saya, Vindhya, bertanya, "Apa aja destinasi harapan lo?"
Damn! Susah banget dijawab, alasannya bakal panjang daftarnya!
"Oke deh, sebutkan tiga aja!" ralatnya. Seolah-olah itu membuatnya jadi lebih gampang. Tapi okelah, saya jabanin pertanyaannya yang lebih terasa ibarat tantangan ini.
Sebelumnya, saya beri tahu dulu bahwa ketiga destinasi ini nggak berarti ada di paling teratas, tapi merupakan tiga destinasi yang terpikir paling duluan. Ini dia.
1. Berlin
Gara-gara majalah Frankie, saya jadi tahu bahwa Berlin yakni kota yang nyeni. Banyak sekali seniman Australia, kawasan asal majalah favorit saya ini, yang hijrah ke Berlin untuk sementara demi mengejar harapan keseniannya. Ada yang pemusik, penyair, desainer, crafter, dan banyak lagi. Gosipnya, banyak seniman yang merintis karier di Berlin alasannya kota itu murah. Dengan begitu, para seniman nggak perlu terlalu keras bekerja demi penghidupan dan dapat lebih fokus berkarya.
Gosipnya pula, Berlin yakni kota yang sudah tergentrifikasi, sehingga kurang asyik alasannya sudah terlalu komersil. Karena reputasi ‘hipster’nya, Berlin menjadi destinasi favorit turis di Jerman, dan dirasakan tidak setulus dulu lagi. Namun itu nggak menciptakan saya membuang Berlin dari daftar keinginan traveling. Saya masih ingin tau dengan suasana seni yang katanya menyelimuti hampir tiap sudut kota ini.
2. Jepang
Foto-foto sakura bermekaran, Gunung Fuji berlapis salju, dan kuil-kuil khas Jepang sudah sering saya lihat di kartu pos maupun internet. Namun kabar yang menyampaikan bahwa biaya hidup di sana super mahal, saya tak kunjung ingin ke sana…sampai suatu hari saya mendengar kisah dari teman saya, Fenia.
“Di sana itu manusiawi banget. Gue lihat banyak pintu otomatis yang tertutup pelan-pelan dan usang biar manula nggak harus terburu-buru. Di mana-mana banyak bangku, dan gue lihat orang-orang renta itu duduk untuk istirahat sebelum lanjut jalan lagi,” ujar Fenia, menceritakan wacana salah satu kota di Jepang, saya lupa kota yang mana. Ia juga menceritakan wacana host Airbnb-nya yang sangat baik dalam menservis, serta wacana orang tak dikenal yang ia tanyai arah dan membantunya tak tanggung-tanggung hingga mengantarkan ke arah yang ditanyakan tersebut.
Baiklah. Saya akan menabung demi Jepang.
3. Korea Utara
“Shenzen – Travelogue from China” yakni novel grafis pertama karya Guy Delisle yang saya baca. Setelah itu,”Burma Chronicles”, “Pyongyang – A Journey In North Korea”, dan “Jerusalem – Chronicles from the Holy City” menyusul. Semuanya menarik, tapi kisah Pyongyang yang paling menciptakan saya meringis.
Entah apa yang dirasakan warga Korea Utara sebenarnya, tapi bila yang dilihat dari kacamata luar, mereka ibarat kurang bahagia. Kejanggalan-kejanggalan yang dialami dan diperhatikan Delisle menciptakan saya ingin tau wacana kehidupan di sana. Anak-anak sekolah piawai bermain orkestra dengan wajah tanpa ekspresi, kewajiban menghormati presiden yang berlebihan, dan orang luar negeri yang tak boleh luput dari pengawasan pemandu lokal.
Terpikir oleh saya untuk jalan-jalan ke Korea Utara. Dengar-dengar, turis cuma boleh masuk ke sana lewat distributor tur, dan nggak bebas menjelajah negara itu. Saya jadi berpikir ulang. Kalau kita nggak ada kesempatan untuk melihat hal-hal di luar jalur wisata, apa asyiknya ya jauh-jauh ke sana? Walaupun begitu, saya masih penasaran, sih.
Kalau kamu, apa saja 3 destinasi impianmu? Dan apa alasannya?
*Horeee! Ini yakni goresan pena terakhir dalam 28 Days Blogging Challenge! Ternyata ngeblog tiap hari itu nggak mudah, walaupun 'cuma' maksimal 500 kata! Terima kasih Parahita yang sudah menyeret saya ke tantangan ini. It's been fun and I learned a few lessons.
Tidak ada komentar