Ragam Lombok - Suku Sasak ialah salah satu suku bangsa di Indonesia yang mendiami pulau Lombok. Mayoritas suku Sasak beragama Islam, namun ada sebagian dari mereka yang berbeda dalam menjalankan ibadahnya, dan mereka disebut sebagai Islam Wetu Telu. Jumlah islam Wetu Telu hanya berjumlah sekitar 1% yang melaksanakan praktik ibadah ibarat itu. Selain itu ada pula sedikit warga suku Sasak yang masih menganut dogma pra-Islam yang disebut dengan nama "Sasak Boda".
Pulau Lombok, Budaya dan Sejarahnya di Indonesia |
Suku Sasak telah menghuni Pulau Lombok semenjak 4.000 Sebelum Masehi. Ada pendapat yang menyampaikan bahwa orang Sasak berasal dari percampuran antara penduduk orisinil Lombok dengan para pendatang dari Jawa. Ada juga yang menyatakan leluhur orang sasak ialah orang Jawa.
Sejarah
Asal mula nama Sasak kemungkinan berasal dari kata sak-sak yang artinya sampan. Dalam Kitab Negara Kertagama kata Sasak disebut menjadi satu dengan Pulau Lombok. Yakni Lombok Sasak Mirah Adhi. Dalam tradisi verbal warga setempat kata sasak dipercaya berasal dari kata "sa'-saq" yang artinya yang satu. Kemudian Lombok berasal dari kata Lomboq yang artinya lurus. Maka jikalau digabung kata Sa' Saq Lomboq artinya sesuatu yang lurus. banyak juga yang menerjemahkannya sebagai jalan yang lurus. Lombo Mirah Sasak Adi ialah salah satu kutipan dari kakawin Nagarakretagama (Desawarnana), sebuah kitab yang memuat wacana kekuasaan dan kepemerintahaan kerajaan Majapahit, gubanan Mpu Prapanca. kata "lombok" dalam bahasa kawi berarti lurus atau jujur, "Mirah" berarti permata, "sasak" berarti kenyataan dan "adi" artinya yang baik atau yang utama. Maka Lombok Mirah Sasak Adi berarti kejujuran ialah permata kenyataan yang baik atau utama.
Pendapat lain Menurut Goris S., “Sasak” secara etimologi, berasal dari kata “sah” yang berarti “pergi” dan “shaka” yang berarti “leluhur”. Dengan begitu Goris menyimpulkan bahwasasak mempunyai arti “pergi ke tanah leluhur”. Dari pengertian inilah diduga bahwa leluhur orang Sasak itu ialah orang Jawa. Bukti lainnya merujuk kepada huruf Sasak yang dipakai oleh orang Sasak disebut sebagai “Jejawan”, merupakan huruf yang berasal dari tanah Jawa, pada perkembangannya, huruf ini diresepsi dengan baik oleh para pujangga yang telah melahirkan tradisi kesusasteraan Sasak.
Bahasa
Bahasa yang dipakai suku Sasak mempunyai kedekatan dengan sistem huruf Jawa-Bali, sama-sama menggunakan huruf Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Kendati demikian, secara pelafalan, bahasa Sasak ternyata lebih mempunyai kedekatan dengan bahasa Bali. Menurut penelitian para etnologi yang mengumpulkan hampir semua bahasa di dunia, menggolongkan bahasa Sasak kedalam rumbun bahasa Austronesia Malayu-Polinesian, Juga ada kesamaan ciri dengan rumpun bahasa Sunda-Sulawesi, dan Bali-Sasak.
Bahasa Sasak yang dipakai di Lombok secara dialek dan lingkup kosakatanya sanggup digolongkan kedalam beberapa bahasa sesuai dengan wilayah penuturnya seperti;
1. Mriak-Mriku (Lombok Selatan)
2. Meno-Mene dan Ngeno-Ngene (Lombok Tengah)
3. Ngeto-Ngete (Lombok Tenggara)
4. Kuto-Kute (Lombok Utara)
Adat
Salah satu watak istiadat suku Sasak yang menonjol ialah watak dalam proses perkawinan. Perempuan yang mau dinikahkan oleh seorang lelaki maka yang wanita harus dilarikan dulu kerumah keluarganya dari pihak laki laki, ini yang dikenal dengan sebutan merarik atau pelarian.
Dalam proses pelarian gadis tidak perlu memberitahukan kepada orang tuanya. Namun dalam pelarian ini mempunyai hukum yang perlu diikuti. Salah satu hukum dalam mencuri gadis biasanya dilakukan dengan membawa beberapa orang kerabat atau teman. Selain sebagai saksi kerabat yang dibawa untuk mencuri gadis itu sekalian sebagai pengiring dalam prosesi itu. Gadis yang dibawa lari juga tidak eksklusif ke rumah pria tetapi harus dititip di rumah kerabat lelaki tersebut.
Struktur dan Sistem Masyarakat
Suku Sasak pada masa kemudian secara sosial-politik, digolongkan dalam dua tingkatan sosial utama, yaitu
1. Golongan aristokrat yang disebut perwangsa
2. Bangsa Ama atau jajar karang sebagai golongan masyarakat kebanyakan.
Golongan perwangsa ini terbagi lagi atas dua tingkatan, yaitu:
1. Perwangsa
Bangsawan penguasa (perwangsa) umumnya menggunakan gelar datu. Selain itu mereka juga disebut Raden untuk kaum pria dan Denda untuk perempuan. Seorang Raden jikalau menjadi penguasa maka berhak menggunakan gelar datu. Perubahan gelar dan pengangkatan seorang aristokrat penguasa itu umumnya dilakukan melalui serangkaian upacara kerajaan.
2. Triwangsa
Bangsawan rendahan (triwangsa) biasanya menggunakan gelar kemudian untuk para lelakinya dan baiq untuk kaum perempuan. Tingkatan terakhir disebut jajar karang atau masyarakat biasa.Panggilan untuk kaum pria di masyarakat umum ini ialah loq dan untuk wanita ialah le.
Golongan aristokrat baik perwangsa dan triwangsa disebut sebagai permenak. Para permenak ini biasanya menguasai sejumlah sumber daya dan juga tanah. Ketika Kerajaan Bali dinasti Karangasem berkuasa di Pulau Lombok, mereka yang disebut permenak kehilangan haknya dan hanya menduduki jabatan pembekel (pejabat pembantu kerajaan).
Masyarakat Sasak sangat menghormati golongan permenak baik berdasarkan ikatan tradisi dan atau berdasarkan ikatan kerajaan. Di sejumlah desa, ibarat wilayah Praya dan Sakra, terdapat hak tanah perdikan (wilayah pertolongan kerajaan yang bebas dari kewajiban pajak). Setiap penduduk mempunyai kewajiban apati getih, yaitu kewajiban untuk membela daerahnya dan ikut serta dalam peperangan. Kepada mereka yang berjasa, Kerajaan akan menawarkan beberapa imbalan, salah satunya ialah dijadikan wilayah perdikan.
Landasan sistem sosial masyarakat dalam kehidupan suku Sasak umumnya mengikuti garis keturunan dari pihak pria (patrilineal). Akan tetapi, dalam beberapa masalah kekerabatan masyarakatnnya terkesan bilateral atau parental (garis keturunan diperhitungkan dari kedua belah pihak; ayah dan ibu).
Pola kekerabatan yang dalam tradisi suku sasak disebut Wiring Kadang ini mengatur hak dan kewajiban anggota masyarakatnya. Unsur-unsur kekerabatan ini mencakup Kakek, Ayah, Paman (saudara pria ayah), Sepupu (anak lelaki saudara lelaki ayah), dan bawah umur mereka.
Wiring Kadang juga mengatur tanggung jawab mereka terhadap masalah-masalah keluarga; pernikahan, duduk kasus warisan dan hak-kewajiban mereka. Harta warisan disebut pustaka sanggup berbentuk tanah, rumah, dan juga benda-benda lainnya yang merupakan peninggalan leluhur. Orang-orang Bali mempunyai contoh kekerabatan yang hampir sama disebut purusa dengan harta waris yang disebut pusaka.
Sistem Kepercayaan
Kepercayaan orisinil suku Sasak ialah Boda, beberapa menyebutnya Sasak Boda. Walapun ada kesamaan pelafalan dengan Buddha, namun sistem dogma Boda tidak mempunyai kesamaan dan kekerabatan dengan Buddhisme. Agama Boda orang Sasak ini justru ditandai dengan penyembahan roh-roh leluhur mereka sendiri.
Beberapa agama ibarat Hindu-Budha masuk kedalam suku ini ketika kerajaan Majapahit masuk. Dan kemudian suku Sasak memeluk agama islam sesudah tugas Sunan Giri dalam dakwahnya berbagi islam. Setelah perkembangan Islam, dogma Suku Sasak sebagian berubah dari Hindu menjadi penganut Islam. Selanjutnya dogma Suku Sasak diklasifikasikan tiga kelompok utama; Boda, Wetu Telu, dan Islam (Wetu Lima).
Penganut Boda sebagai komunitas kecil yang berdiam di wilayah pegunungan utara dan di lembah-lembah pegunungan Lombok bab selatan. Kelompok Boda ini konon ialah orang-orang Sasak yang dari segi kesukuan, budaya, dan bahasa menganut dogma asli. Mereka menyingkir ke kawasan pegunungan melepaskan diri dari islamisasi di Lombok.
Sedangkan Agama Wetu telu awalnya mempunyai ciri sama dengan Hindu-Bali dan Kejawen. Di antara unsur-unsur umum, tugas leluhur begitu menonjol. Hal itu didasarkan pada pandangan yang berakar pada dogma wacana kehidupan senantiasa mengalir.
Pada perkembangannya Wetu telu justru lebih bersahabat dengan Islam. Konon, kini hampir semua desa suku Sasak sudah menganut Agama Islam lima waktu dan meninggalkan Wetu telu sepenuhnya. Sementara sinkretisme Islam-Wetu telu kini berkembang terbatas di beberapa bab utara dan selatan Pulau Lombok. Meliputi Bayan, dataran tinggi Sembalun, Suranadi di Lombok Timur, Pujut di Lombok Tengah, dan Tanjung di Lombok Barat.
Istilah Islam-Wetu Telu diberikan alasannya ialah penganut dogma ini beribadah tiga kali di bulan puasa, yaitu waktu Magrib, Isya, dan waktu Subuh. Di luar bulan puasa, mereka hanya satu hari dalam seminggu melaksanakan ibadah, yaitu pada hari Kamis dan atau Jumat, mencakup waktu Asar. Untuk urusan ibadah lainnya biasanya dilakukan oleh pemimpin agama mereka; para kiai dan penghulu.
Arsitektur Suku Sasak
Sejarah
Asal mula nama Sasak kemungkinan berasal dari kata sak-sak yang artinya sampan. Dalam Kitab Negara Kertagama kata Sasak disebut menjadi satu dengan Pulau Lombok. Yakni Lombok Sasak Mirah Adhi. Dalam tradisi verbal warga setempat kata sasak dipercaya berasal dari kata "sa'-saq" yang artinya yang satu. Kemudian Lombok berasal dari kata Lomboq yang artinya lurus. Maka jikalau digabung kata Sa' Saq Lomboq artinya sesuatu yang lurus. banyak juga yang menerjemahkannya sebagai jalan yang lurus. Lombo Mirah Sasak Adi ialah salah satu kutipan dari kakawin Nagarakretagama (Desawarnana), sebuah kitab yang memuat wacana kekuasaan dan kepemerintahaan kerajaan Majapahit, gubanan Mpu Prapanca. kata "lombok" dalam bahasa kawi berarti lurus atau jujur, "Mirah" berarti permata, "sasak" berarti kenyataan dan "adi" artinya yang baik atau yang utama. Maka Lombok Mirah Sasak Adi berarti kejujuran ialah permata kenyataan yang baik atau utama.
Pendapat lain Menurut Goris S., “Sasak” secara etimologi, berasal dari kata “sah” yang berarti “pergi” dan “shaka” yang berarti “leluhur”. Dengan begitu Goris menyimpulkan bahwasasak mempunyai arti “pergi ke tanah leluhur”. Dari pengertian inilah diduga bahwa leluhur orang Sasak itu ialah orang Jawa. Bukti lainnya merujuk kepada huruf Sasak yang dipakai oleh orang Sasak disebut sebagai “Jejawan”, merupakan huruf yang berasal dari tanah Jawa, pada perkembangannya, huruf ini diresepsi dengan baik oleh para pujangga yang telah melahirkan tradisi kesusasteraan Sasak.
Bahasa
Bahasa yang dipakai suku Sasak mempunyai kedekatan dengan sistem huruf Jawa-Bali, sama-sama menggunakan huruf Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Kendati demikian, secara pelafalan, bahasa Sasak ternyata lebih mempunyai kedekatan dengan bahasa Bali. Menurut penelitian para etnologi yang mengumpulkan hampir semua bahasa di dunia, menggolongkan bahasa Sasak kedalam rumbun bahasa Austronesia Malayu-Polinesian, Juga ada kesamaan ciri dengan rumpun bahasa Sunda-Sulawesi, dan Bali-Sasak.
Bahasa Sasak yang dipakai di Lombok secara dialek dan lingkup kosakatanya sanggup digolongkan kedalam beberapa bahasa sesuai dengan wilayah penuturnya seperti;
1. Mriak-Mriku (Lombok Selatan)
2. Meno-Mene dan Ngeno-Ngene (Lombok Tengah)
3. Ngeto-Ngete (Lombok Tenggara)
4. Kuto-Kute (Lombok Utara)
Adat
Salah satu watak istiadat suku Sasak yang menonjol ialah watak dalam proses perkawinan. Perempuan yang mau dinikahkan oleh seorang lelaki maka yang wanita harus dilarikan dulu kerumah keluarganya dari pihak laki laki, ini yang dikenal dengan sebutan merarik atau pelarian.
Dalam proses pelarian gadis tidak perlu memberitahukan kepada orang tuanya. Namun dalam pelarian ini mempunyai hukum yang perlu diikuti. Salah satu hukum dalam mencuri gadis biasanya dilakukan dengan membawa beberapa orang kerabat atau teman. Selain sebagai saksi kerabat yang dibawa untuk mencuri gadis itu sekalian sebagai pengiring dalam prosesi itu. Gadis yang dibawa lari juga tidak eksklusif ke rumah pria tetapi harus dititip di rumah kerabat lelaki tersebut.
Struktur dan Sistem Masyarakat
Suku Sasak pada masa kemudian secara sosial-politik, digolongkan dalam dua tingkatan sosial utama, yaitu
1. Golongan aristokrat yang disebut perwangsa
2. Bangsa Ama atau jajar karang sebagai golongan masyarakat kebanyakan.
Golongan perwangsa ini terbagi lagi atas dua tingkatan, yaitu:
1. Perwangsa
Bangsawan penguasa (perwangsa) umumnya menggunakan gelar datu. Selain itu mereka juga disebut Raden untuk kaum pria dan Denda untuk perempuan. Seorang Raden jikalau menjadi penguasa maka berhak menggunakan gelar datu. Perubahan gelar dan pengangkatan seorang aristokrat penguasa itu umumnya dilakukan melalui serangkaian upacara kerajaan.
2. Triwangsa
Bangsawan rendahan (triwangsa) biasanya menggunakan gelar kemudian untuk para lelakinya dan baiq untuk kaum perempuan. Tingkatan terakhir disebut jajar karang atau masyarakat biasa.Panggilan untuk kaum pria di masyarakat umum ini ialah loq dan untuk wanita ialah le.
Golongan aristokrat baik perwangsa dan triwangsa disebut sebagai permenak. Para permenak ini biasanya menguasai sejumlah sumber daya dan juga tanah. Ketika Kerajaan Bali dinasti Karangasem berkuasa di Pulau Lombok, mereka yang disebut permenak kehilangan haknya dan hanya menduduki jabatan pembekel (pejabat pembantu kerajaan).
Masyarakat Sasak sangat menghormati golongan permenak baik berdasarkan ikatan tradisi dan atau berdasarkan ikatan kerajaan. Di sejumlah desa, ibarat wilayah Praya dan Sakra, terdapat hak tanah perdikan (wilayah pertolongan kerajaan yang bebas dari kewajiban pajak). Setiap penduduk mempunyai kewajiban apati getih, yaitu kewajiban untuk membela daerahnya dan ikut serta dalam peperangan. Kepada mereka yang berjasa, Kerajaan akan menawarkan beberapa imbalan, salah satunya ialah dijadikan wilayah perdikan.
Landasan sistem sosial masyarakat dalam kehidupan suku Sasak umumnya mengikuti garis keturunan dari pihak pria (patrilineal). Akan tetapi, dalam beberapa masalah kekerabatan masyarakatnnya terkesan bilateral atau parental (garis keturunan diperhitungkan dari kedua belah pihak; ayah dan ibu).
Pola kekerabatan yang dalam tradisi suku sasak disebut Wiring Kadang ini mengatur hak dan kewajiban anggota masyarakatnya. Unsur-unsur kekerabatan ini mencakup Kakek, Ayah, Paman (saudara pria ayah), Sepupu (anak lelaki saudara lelaki ayah), dan bawah umur mereka.
Wiring Kadang juga mengatur tanggung jawab mereka terhadap masalah-masalah keluarga; pernikahan, duduk kasus warisan dan hak-kewajiban mereka. Harta warisan disebut pustaka sanggup berbentuk tanah, rumah, dan juga benda-benda lainnya yang merupakan peninggalan leluhur. Orang-orang Bali mempunyai contoh kekerabatan yang hampir sama disebut purusa dengan harta waris yang disebut pusaka.
Sistem Kepercayaan
Kepercayaan orisinil suku Sasak ialah Boda, beberapa menyebutnya Sasak Boda. Walapun ada kesamaan pelafalan dengan Buddha, namun sistem dogma Boda tidak mempunyai kesamaan dan kekerabatan dengan Buddhisme. Agama Boda orang Sasak ini justru ditandai dengan penyembahan roh-roh leluhur mereka sendiri.
Beberapa agama ibarat Hindu-Budha masuk kedalam suku ini ketika kerajaan Majapahit masuk. Dan kemudian suku Sasak memeluk agama islam sesudah tugas Sunan Giri dalam dakwahnya berbagi islam. Setelah perkembangan Islam, dogma Suku Sasak sebagian berubah dari Hindu menjadi penganut Islam. Selanjutnya dogma Suku Sasak diklasifikasikan tiga kelompok utama; Boda, Wetu Telu, dan Islam (Wetu Lima).
Penganut Boda sebagai komunitas kecil yang berdiam di wilayah pegunungan utara dan di lembah-lembah pegunungan Lombok bab selatan. Kelompok Boda ini konon ialah orang-orang Sasak yang dari segi kesukuan, budaya, dan bahasa menganut dogma asli. Mereka menyingkir ke kawasan pegunungan melepaskan diri dari islamisasi di Lombok.
Sedangkan Agama Wetu telu awalnya mempunyai ciri sama dengan Hindu-Bali dan Kejawen. Di antara unsur-unsur umum, tugas leluhur begitu menonjol. Hal itu didasarkan pada pandangan yang berakar pada dogma wacana kehidupan senantiasa mengalir.
Pada perkembangannya Wetu telu justru lebih bersahabat dengan Islam. Konon, kini hampir semua desa suku Sasak sudah menganut Agama Islam lima waktu dan meninggalkan Wetu telu sepenuhnya. Sementara sinkretisme Islam-Wetu telu kini berkembang terbatas di beberapa bab utara dan selatan Pulau Lombok. Meliputi Bayan, dataran tinggi Sembalun, Suranadi di Lombok Timur, Pujut di Lombok Tengah, dan Tanjung di Lombok Barat.
Istilah Islam-Wetu Telu diberikan alasannya ialah penganut dogma ini beribadah tiga kali di bulan puasa, yaitu waktu Magrib, Isya, dan waktu Subuh. Di luar bulan puasa, mereka hanya satu hari dalam seminggu melaksanakan ibadah, yaitu pada hari Kamis dan atau Jumat, mencakup waktu Asar. Untuk urusan ibadah lainnya biasanya dilakukan oleh pemimpin agama mereka; para kiai dan penghulu.
Arsitektur Suku Sasak
Rumah-rumah suku Sasak berbeda dengan arsitektur Bali pada umumnya. Di dataran, perkampungan suku Sasak cenderung luas dan melintang. Desa-desa Suku Sasak di wilayah pegunungan tertata rapi mengikuti perencanaan yang pasti. Di Lombok bab utara, biasanya perkampungan Suku Sasak terdapat dua baris rumah tipe bale, dengan sederet lumbung padinya di satu sisi yang lain. Bangunan lain yang menjadi ciri khas perkampungan orang Sasak ialah rumah besar (bale bele).
Di antara formasi rumah-rumah itu dibangun balai yang bersisi terbuka (beruga) sebagai tempat pertemuan. Balai terbuka menyediakan panggung untuk kegiatan sehari-hari dalam fungsi kekerabatan sosial masyarakat. Balai ini juga dipakai untuk urusan keagamaan contohnya upacara penghormatan mayat sebelum dikuburkan. Sementara makam leluhur yang terdiri dari rumah-rumah kayu dan bambu kecil dibangun di wilayah bab atas dari perkampungan.
Sedikitnya ada empat jenis dasar lumbung dengan ukuran yang berbeda-beda. Semua lumbung, kecuali jenis lumbung padi yang berukuran kecil, mempunyai panggung di bawah.
Di desa-desa Lombok bab selatan, panggung yang berada di bab bawah lumbung padi berperan sebagai balai. Di Lombok bab utara, tidak semua desa mempunyai lumbung padi.
Lumbung padi menjadi ciri khas yang sangat menarik dalam arsitektur suku Sasak. Bangunan Lumbung itu didirikan pada tiang-tiang dengan cara dan ciri khas yang ibarat bangunan-bangunan Austronesia.
Bangunan ini mempunyai atap berbentuk “topi” yang ditutup ilalang. Empat tiang besar menyangga tiang-tiang melintang di bab atas tempat kerangka utama dibangun. Bagian atas penopang kayu kemudian menguatkan rangka-rangka bambunya yang semua bagiannya ditutupi ilalang. Satu-satunya yang dibiarkan terbuka ialah sebuah lubang persegi kecil yang terletak tinggi di bab ujung berfungsi untuk menaruh padi hasil panen. Untuk mencegah binatang pengerat masuk. Piringan kayu besar yang mereka sebut jelepreng, disusun di bab atas puncak tiang dasarnya.
Rumah tradisional Suku Sasak berdenah persegi, tidak berjendela dan hanya mempunyai satu pintu dengan pintu ganda yang telah diukir halus. Di bab dalam, tidak terdapat tiang-tiang penyangga atap. Bubungan atapnya curam, terbuat dari jerami yang mempunyai ketebalan kurang lebih 15 centimeter. Atap itu sengaja dibiarkan menganjur ke bab dinding dasar yang hampir menutupi bab dinding. Dinding terdiri dari dua bagian, bab tengah yang menyatu dengan atap dibentuk dari bambu, bab bawah dibentuk dari gabungan lumpur, dan jerami yang permukaannya telah dipelitur halus.
Rumah dipakai terutama untuk tempat tidur dan memasak. Masyarakat Sasak jarang menghabiskan waktu di dalam rumah sepanjang hari. Di sisi sebelah kiri dibagi untuk tempat tidur anggota keluarga, juga terdapat rak di langit-langitnya untuk menyimpan pusaka dan benda berharga. Anak pria tidur di panggung bawah bab luar; anak wanita tidur di atas bab dalam panggung.
Untuk kegiatan memasak, bab dalam rumah berisi tungku yang berada di sisi sebelah kanan yang dilengkapi rak-rak untuk menyimpan dan mengeringkan jagung. Kayu bakar disimpan di belakang rumah, kadang juga disimpan di bawah panggung.
Tradisi dan Seni
Dari sejarahnya yang panjang, Suku Sasak sanggup saja diidentifikasikan sebagai budaya yang banyak menerima efek dari Jawa dan Bali. Namun, kenyataannya kebudayaan Suku Sasak mempunyai corak dan ciri budaya yang khas, orisinil dan sangat mapan sampai berbeda dengan budaya suku-suku lainnya di Nusantara.
Berikut beberapa jenis seni dan tradisi yang cukup populer dari suku Sasak:
Bau Nyale
Nyale ialah sejenis binatang laut, termasuk jenis cacing (anelida) yang berkembang biak dengan bertelur. Dalam alam kepercaan Suku Sasak, Nyale bukan sekedar binatang, beberapa legenda dari Suku ini yang menceritakan wacana putri yang berubah menjadi menjadi Nyale. Lainnya menyatakan bahwa Nyale ialah binatang anugerah, bahkan keberadaannya dihubungkan dengan kesuburan dan keselamatan.
Ritual Bau Nyale atau menangkap nyale digelar setahun sekali. Biasanya pada tanggal 19 atau 20 pada bulan ke-10 atau ke-11 berdasarkan perhitungan tahun suku Sasak, kurang lebih berkisar antara bulan Februari atau Maret.
Rebo Bontong
Suku Sasak percaya bahwa hari Rebo Bontong merupakan hari puncak terjadi tragedi dan atau penyakit (Bala) sehingga bagi mereka sesuatu yang tabu jikalau memulai pekerjaan sempurna pada hari Rebo Bontong. Kata Rebo dan juga Bontong kurang lebih artinya “putus” atau “pemutus”.
Upacara Rebo Bontong dimaksudkan untuk sanggup menghindari tragedi atau penyakit. Upacara ini digelar setahun sekali yaitu pada hari Rabu di ahad terakhir bulan Safar dalam kalender Hijriah.
Bebubus Batu
Dari kata “bubus”, yaitu sejenis ramuan obat berbahan dasar beras yang dicampur aneka macam jenis tanaman, dan dari kata kerikil yang merujuk kepada kerikil tempat melaksanakan upacara.Bebubus Batu ialah upacara yang digelar untuk meminta berkah kepada sang Kuasa. Upacara ini dilaksanakan tiap tahun, dipimpin oleh Penghulu (pemangku adat) dan Kiai (ahli agama). Masyarakat ramai-ramai mengenakan pakaian watak serta membawa dulang, sesajen dari hasil bumi.
Sabuk Beleq Merujuk kepada sebuah pustaka sabuk yang besar (Beleq) bahkan panjangnya mencapai 25 meter, masyarakat Lombok khususnya mereka yang berada di wilayah Lenek Daya akan menggelar upacara pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun Hijriah. Tradisi pengeluaran Sabuk Bleeq ini mereka awali dengan mengusung Sabuk Beleq mengelilingi kampung diiringi dengan tetabuhan gendang beleq. Ritual upacara kemudian dilanjutkan dengan menggelar praja mulud sampai diakhiri dengan memberi makan aneka macam jenis makhluk. Upacara ini dilakukan untuk mempererat ikatan persaudaraan, persatuan dan bahu-membahu antar masyarakat, serta cinta kasih di antara makhluk Tuhan.
Lomba Memaos
Memaos kurang lebih artinya membaca dan orang yang membaca di sebut pepaos. Lomba memaos ialah lomba untuk membaca lontar yang menceritakan hikayat dari leluhur mereka. Tujuan lomba pembacaan dongeng ini ialah biar generasi selanjutnya sanggup mengetahui kebudayaan dan sejarah masa lalu. Selain itu, Lomba ini juga sanggup berfungsi sebagai regenerasi nilai-nilai sosia, budaya, dan tradisi pada generasi penerus. Satu kelompok pepaos biasanya terdiri dari 3-4 orang; pembaca, pejangga, dan pendukung vokal.
Tandang Mendet
Tandang Mendet ialah tarian perang Suku Sasak. Konon Tarian ini telah ada semenjak zaman Kerajaan Selaparang. Tarian yang menggambarkan keperkasaan dan usaha ini dimainkan oleh belasan orang dengan berpakaian dan membawa alat-alat keprajuritan lenggap; kelewang (pedang), tameng, tombak. Tarian diiringi dengan hentakan gendang beleq serta pembacaan syair-syair perjuangan.
Peresean
Di antara formasi rumah-rumah itu dibangun balai yang bersisi terbuka (beruga) sebagai tempat pertemuan. Balai terbuka menyediakan panggung untuk kegiatan sehari-hari dalam fungsi kekerabatan sosial masyarakat. Balai ini juga dipakai untuk urusan keagamaan contohnya upacara penghormatan mayat sebelum dikuburkan. Sementara makam leluhur yang terdiri dari rumah-rumah kayu dan bambu kecil dibangun di wilayah bab atas dari perkampungan.
Sedikitnya ada empat jenis dasar lumbung dengan ukuran yang berbeda-beda. Semua lumbung, kecuali jenis lumbung padi yang berukuran kecil, mempunyai panggung di bawah.
Di desa-desa Lombok bab selatan, panggung yang berada di bab bawah lumbung padi berperan sebagai balai. Di Lombok bab utara, tidak semua desa mempunyai lumbung padi.
Lumbung padi menjadi ciri khas yang sangat menarik dalam arsitektur suku Sasak. Bangunan Lumbung itu didirikan pada tiang-tiang dengan cara dan ciri khas yang ibarat bangunan-bangunan Austronesia.
Bangunan ini mempunyai atap berbentuk “topi” yang ditutup ilalang. Empat tiang besar menyangga tiang-tiang melintang di bab atas tempat kerangka utama dibangun. Bagian atas penopang kayu kemudian menguatkan rangka-rangka bambunya yang semua bagiannya ditutupi ilalang. Satu-satunya yang dibiarkan terbuka ialah sebuah lubang persegi kecil yang terletak tinggi di bab ujung berfungsi untuk menaruh padi hasil panen. Untuk mencegah binatang pengerat masuk. Piringan kayu besar yang mereka sebut jelepreng, disusun di bab atas puncak tiang dasarnya.
Rumah tradisional Suku Sasak berdenah persegi, tidak berjendela dan hanya mempunyai satu pintu dengan pintu ganda yang telah diukir halus. Di bab dalam, tidak terdapat tiang-tiang penyangga atap. Bubungan atapnya curam, terbuat dari jerami yang mempunyai ketebalan kurang lebih 15 centimeter. Atap itu sengaja dibiarkan menganjur ke bab dinding dasar yang hampir menutupi bab dinding. Dinding terdiri dari dua bagian, bab tengah yang menyatu dengan atap dibentuk dari bambu, bab bawah dibentuk dari gabungan lumpur, dan jerami yang permukaannya telah dipelitur halus.
Rumah dipakai terutama untuk tempat tidur dan memasak. Masyarakat Sasak jarang menghabiskan waktu di dalam rumah sepanjang hari. Di sisi sebelah kiri dibagi untuk tempat tidur anggota keluarga, juga terdapat rak di langit-langitnya untuk menyimpan pusaka dan benda berharga. Anak pria tidur di panggung bawah bab luar; anak wanita tidur di atas bab dalam panggung.
Untuk kegiatan memasak, bab dalam rumah berisi tungku yang berada di sisi sebelah kanan yang dilengkapi rak-rak untuk menyimpan dan mengeringkan jagung. Kayu bakar disimpan di belakang rumah, kadang juga disimpan di bawah panggung.
Tradisi dan Seni
Dari sejarahnya yang panjang, Suku Sasak sanggup saja diidentifikasikan sebagai budaya yang banyak menerima efek dari Jawa dan Bali. Namun, kenyataannya kebudayaan Suku Sasak mempunyai corak dan ciri budaya yang khas, orisinil dan sangat mapan sampai berbeda dengan budaya suku-suku lainnya di Nusantara.
Berikut beberapa jenis seni dan tradisi yang cukup populer dari suku Sasak:
Bau Nyale
Nyale ialah sejenis binatang laut, termasuk jenis cacing (anelida) yang berkembang biak dengan bertelur. Dalam alam kepercaan Suku Sasak, Nyale bukan sekedar binatang, beberapa legenda dari Suku ini yang menceritakan wacana putri yang berubah menjadi menjadi Nyale. Lainnya menyatakan bahwa Nyale ialah binatang anugerah, bahkan keberadaannya dihubungkan dengan kesuburan dan keselamatan.
Ritual Bau Nyale atau menangkap nyale digelar setahun sekali. Biasanya pada tanggal 19 atau 20 pada bulan ke-10 atau ke-11 berdasarkan perhitungan tahun suku Sasak, kurang lebih berkisar antara bulan Februari atau Maret.
Rebo Bontong
Suku Sasak percaya bahwa hari Rebo Bontong merupakan hari puncak terjadi tragedi dan atau penyakit (Bala) sehingga bagi mereka sesuatu yang tabu jikalau memulai pekerjaan sempurna pada hari Rebo Bontong. Kata Rebo dan juga Bontong kurang lebih artinya “putus” atau “pemutus”.
Upacara Rebo Bontong dimaksudkan untuk sanggup menghindari tragedi atau penyakit. Upacara ini digelar setahun sekali yaitu pada hari Rabu di ahad terakhir bulan Safar dalam kalender Hijriah.
Bebubus Batu
Dari kata “bubus”, yaitu sejenis ramuan obat berbahan dasar beras yang dicampur aneka macam jenis tanaman, dan dari kata kerikil yang merujuk kepada kerikil tempat melaksanakan upacara.Bebubus Batu ialah upacara yang digelar untuk meminta berkah kepada sang Kuasa. Upacara ini dilaksanakan tiap tahun, dipimpin oleh Penghulu (pemangku adat) dan Kiai (ahli agama). Masyarakat ramai-ramai mengenakan pakaian watak serta membawa dulang, sesajen dari hasil bumi.
Sabuk Beleq Merujuk kepada sebuah pustaka sabuk yang besar (Beleq) bahkan panjangnya mencapai 25 meter, masyarakat Lombok khususnya mereka yang berada di wilayah Lenek Daya akan menggelar upacara pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun Hijriah. Tradisi pengeluaran Sabuk Bleeq ini mereka awali dengan mengusung Sabuk Beleq mengelilingi kampung diiringi dengan tetabuhan gendang beleq. Ritual upacara kemudian dilanjutkan dengan menggelar praja mulud sampai diakhiri dengan memberi makan aneka macam jenis makhluk. Upacara ini dilakukan untuk mempererat ikatan persaudaraan, persatuan dan bahu-membahu antar masyarakat, serta cinta kasih di antara makhluk Tuhan.
Lomba Memaos
Memaos kurang lebih artinya membaca dan orang yang membaca di sebut pepaos. Lomba memaos ialah lomba untuk membaca lontar yang menceritakan hikayat dari leluhur mereka. Tujuan lomba pembacaan dongeng ini ialah biar generasi selanjutnya sanggup mengetahui kebudayaan dan sejarah masa lalu. Selain itu, Lomba ini juga sanggup berfungsi sebagai regenerasi nilai-nilai sosia, budaya, dan tradisi pada generasi penerus. Satu kelompok pepaos biasanya terdiri dari 3-4 orang; pembaca, pejangga, dan pendukung vokal.
Tandang Mendet
Tandang Mendet ialah tarian perang Suku Sasak. Konon Tarian ini telah ada semenjak zaman Kerajaan Selaparang. Tarian yang menggambarkan keperkasaan dan usaha ini dimainkan oleh belasan orang dengan berpakaian dan membawa alat-alat keprajuritan lenggap; kelewang (pedang), tameng, tombak. Tarian diiringi dengan hentakan gendang beleq serta pembacaan syair-syair perjuangan.
Peresean
Kadang ada yang menulisnya Periseian dan atau Presean ialah seni bela diri yang dulu dipakai oleh lingkungan kerajaan. Peresean awalnya ialah latihan pedang dan perisai bagi seorang prajurit. Pada perkembangannya, latihan ini menjadi pertunjukan rakyat untuk menguji ketangkasan dan “keberanian”.
Senjata yang dipakai ialah sebilah rotan yang dilapisi pecahan kaca. Dan untuk menangkis serangan, pepadu (pemain) biasanya membawa sebuah perisai (ende) yan terbuat dari kayu berlapis kulit lembu atau kerbau. Setiap pepadu menggunakan ikat kepala dan mengenakan kain panjang.
Festival peresean diadakan setiap tahun terutama di Kabupaten Lombok Timur yang akan diikuti oleh pepadu dari seluruh Pulau Lombok.
Begasingan
Permainan rakyat yang mempunyai unsur seni dan olahraga, bahkan termasuk permainan tradisional yang tergolong bau tanah di masyarakat Sasak. Permainan tradisional ini juga dikenal di beberapa wilayah lain di Indonesia. Hanya saja, Gasing orang sasak ini berbeda baik bentuk maupun hukum permainannya. Gasing besar, mereka namai pemantok, dipakai untuk menghantam gasingpengorong atau pelepas yang ukurannya lebih kecil.
Begasingan berasal dari kata gang yang artinya “lokasi”, dan dari kata sing artinya “suara”. Permainan tradisional ini tak mengenal umur dan tempat, sanggup siapa saja, sanggup di mana saja.
Alat Musik
Slober
Alat musik tradisional Lombok yang cukup tua, unik, dan bersahaja. Slober dibentuk dari pelepah enau dan ketika dimainkan alat musik ini biasanya didukung dengan alat musik lainnya ibarat gendang, gambus, seruling, dll. Kesenian yang masih sanggup anda saksikan sampai dikala ini, sangat asyik jikalau dimainkan ketika malam bulan purnama.
Gendang Beleq
Satu dari kesenian Lombok yang mendunia. Gendang Beleq merupakan pertunjukan dengan alat perkusi gendang berukuran besar (Beleq) sebagai ensembel utamanya. Komposisi musiknya sanggup dimainkan dengan posisi duduk, berdiri, dan berjalan untuk mengarak iring-iringan.
Ada dua jenis gendang beleq yang berfungsi sebagai pembawa dinamika yaitu gendang pria atau gendang mama dan gendang nina atau gendang perempuan).
Sebagai pembawa melodi ialah gendang kodeq atau gendang kecil. Sedangkan sebagai alat ritmis ialah dua buah reog, 6-8 buah perembak kodeq, sebuah petuk, sebuah gong besar, sebuah gong penyentak, sebuah gong oncer, dan dua buah lelontek. Menurut cerita, gendang beleq dahulu dimainkan bila ada pesta-pesta yang diselenggarakan oleh pihak kerajaan. Bila terjadi perang gendang ini berfungsi sebagai penyemangat prajurit yang ikut berperang.
Senjata yang dipakai ialah sebilah rotan yang dilapisi pecahan kaca. Dan untuk menangkis serangan, pepadu (pemain) biasanya membawa sebuah perisai (ende) yan terbuat dari kayu berlapis kulit lembu atau kerbau. Setiap pepadu menggunakan ikat kepala dan mengenakan kain panjang.
Festival peresean diadakan setiap tahun terutama di Kabupaten Lombok Timur yang akan diikuti oleh pepadu dari seluruh Pulau Lombok.
Begasingan
Permainan rakyat yang mempunyai unsur seni dan olahraga, bahkan termasuk permainan tradisional yang tergolong bau tanah di masyarakat Sasak. Permainan tradisional ini juga dikenal di beberapa wilayah lain di Indonesia. Hanya saja, Gasing orang sasak ini berbeda baik bentuk maupun hukum permainannya. Gasing besar, mereka namai pemantok, dipakai untuk menghantam gasingpengorong atau pelepas yang ukurannya lebih kecil.
Begasingan berasal dari kata gang yang artinya “lokasi”, dan dari kata sing artinya “suara”. Permainan tradisional ini tak mengenal umur dan tempat, sanggup siapa saja, sanggup di mana saja.
Alat Musik
Slober
Alat musik tradisional Lombok yang cukup tua, unik, dan bersahaja. Slober dibentuk dari pelepah enau dan ketika dimainkan alat musik ini biasanya didukung dengan alat musik lainnya ibarat gendang, gambus, seruling, dll. Kesenian yang masih sanggup anda saksikan sampai dikala ini, sangat asyik jikalau dimainkan ketika malam bulan purnama.
Gendang Beleq
Satu dari kesenian Lombok yang mendunia. Gendang Beleq merupakan pertunjukan dengan alat perkusi gendang berukuran besar (Beleq) sebagai ensembel utamanya. Komposisi musiknya sanggup dimainkan dengan posisi duduk, berdiri, dan berjalan untuk mengarak iring-iringan.
Ada dua jenis gendang beleq yang berfungsi sebagai pembawa dinamika yaitu gendang pria atau gendang mama dan gendang nina atau gendang perempuan).
Sebagai pembawa melodi ialah gendang kodeq atau gendang kecil. Sedangkan sebagai alat ritmis ialah dua buah reog, 6-8 buah perembak kodeq, sebuah petuk, sebuah gong besar, sebuah gong penyentak, sebuah gong oncer, dan dua buah lelontek. Menurut cerita, gendang beleq dahulu dimainkan bila ada pesta-pesta yang diselenggarakan oleh pihak kerajaan. Bila terjadi perang gendang ini berfungsi sebagai penyemangat prajurit yang ikut berperang.
Tidak ada komentar