Ads

Ads
Menu
Travel Agent Penyedia Info Wisata

Varanus / Komodo Dragon - Sisa Dinosaurus Di Flores - Bab Pertama

Penemuan dan Perlindungan Komodo


Sejarah mencatat, binatang yang dijuluki 'dinosaurus terakhir di muka bumi' itu gres dikenal  secara luas pada awal kurun ke-20. 

Pada mulanya, Pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia mendengar cerita rakyat Manggarai Barat - Flores soal 'buaya yang hidup di darat'.  Penasaran oleh cerita itu, armada kompeni  di bawah pimpinan Letnan Steyn Van Hensbroek, seorang pejabat Administrasi Kolonial Belanda di daerah Reo yang berlokasi di Manggarai Tengah cuilan Utara ketika ini, melaksanakan perjalanan ekspedisi penelurusan  untuk menemukan makhluk “mitologi” naga raksasa itu. Maka, pada  tahun 1910 mereka menemukan makhluk misterius yang tidak dikenal dunia luas hingga remaja itu. 







Oleh Letnan Steyn Van Hensbroek, sampel inovasi kadal raksasa itu dikirim ke Bogor yang merupakan sentra studi dan penelitian ilmiah untuk Hindia Belanda ketika itu. Berdasarkan sampel itu, tahun 1912, Peter A. Ouwens, Direktur Museum Zoologi di Bogor mempublikasikan Komodo kepada dunia lewat disertasinya.

Ia memberi saran nama untuk makhluk itu  raksasa itu "Varanus Komodoensis". Dinamakan demikian lantaran makhluk ini termasuk dalam jenis kadal dan ditemukan di Pulau Komodo yang terletak di sebelah barat Flores.



Selanjutnya, beberapa ekspedisi melaksanakan penangkapan Komodo, entah untuk diambil kulitnya atau dibawa hidup-hidup. Sebagian untuk kepentingan pengetahuan, sebagian tentu saja sekadar untuk memuaskan rasa penasaran. Maraknya penangkapan tersebut menimbulkan kekhawatiran atas berkurangnya populasi Komodo. Menanggapi kekhawatiran tersebut, Pemerintah Swapraja Bima berinisiatif melindungi Komodo lewat satu Undang-Undang Perlindungan Komodo tanggal 12 Maret 1815. Namun, rupa-rupanya peraturan itu kurang efektif lantaran hanya diberlakukan untuk masyarakat biasa yang menjadi penduduk kesultanan Bima sehingga penangkapan Komodo masih tetap saja marak. 

Untuk mempersempit ruang kekebasan penangkapan Komodo, pemerintah Swapraja Manggarai pada tahun 1926 juga mengeluarkan peraturan serupa. Tahun 1930, Residen Flores juga memberlakukan peraturan yang sama. Dan, akibatnya tahun 1931 Pemerintahan Hindia Belanda memasukkan Komodo sebagai satwa yang mutlak dilindungi lewat  Undang-Undang Perlindungan Binatang Liar.


Upaya Memperkenalkan Komodo

W. Douglas Burden (left) with F. J. Defosse di  Komodo, 1926

Walaupun secara regional, binatang purba Komodo semakin dikenal, namun publikasi yang dibentuk untuk masyarakat internasional oleh Peter A. Ouwens itu kurang menggaung baik di kalangan umum maupun di kalangan akademisi. 

Komodo gres semakin dikenal oleh dunia internasional berkat jasa Douglas Burden. Tahun 1926 Douglas Burden, seorang warga negara Amerika Serikat yang bekerja untuk  The American Museum of Natural di New York, melaksanakan ekspedisi ke Pulau Komodo untuk meneliti binatang purba itu bersama seorang herpetolog terkenal E.R. Dunn. Selama beberapa waktu mereka "menyepi" di Komodo, berinteraksi pribadi dengan binatang purba Komodo dan mempelajari binatang langka itu dari dekat. Ketika kembali ke Amerika Serikat, mereka membawa pula materi-materi yang terkait dengan binatang itu, yaitu 12 spesimen yang diawetkan dan 2 ekor komodo hidup. 

Temuan W. Douglas Burden itu menarik perhatian dunia internasional sekaligus memperlihatkan ide bagi terbitnya film King Kong tahun 1933. "Komodo Dragon", nama lain untuk Varanus Komodoensis atau sering disebut Komodo saja yaitu nama yang pertama kali diperkenalkan oleh Douglas Burden. Selain memberi ide atas di-release-nya film King Kong yang terkenal itu, ekspedisi Burden juga menghasilkan banyak publikasi. Ia bahkan menghasilkan sebuah buku yang sangat terkenal dan menjadi best seller ketika itu, yaitu  “Dragon Lizard of Komodo An Expedition to the Lost World of the Dutch East Indies”.


Namun ekspedisi-ekspedisi  selanjutnya terhenti semasa Perang Dunia II dan gres dilanjutkan tahun 1950-an hingga 1960-an. Sebuah ekspedisi gres pasca ekspedisi Burden dirancang untuk meneliti Komodo secara lebih luas dan mendalam. Ekspedisi ini jatuh ke tangan  keluarga Auffenberg, yang menetap selama 11 bulan di Pulau Komodo pada tahun 1969. Team ini berhasil menangkap dan menandai lebih dari 50 ekor Komodo. Hasil ekspedisi ini ternyata sangat kuat terhadap meningkatnya penangkaran Komodo.

Asal-Usul Komodo
Secara alamiah, Komodo hanya ditemukan di pulau Komodo, Rinca dan Flores. Namun demikian, berdasarkan penelitian para jago tahun 2009 disimpulkan bahwa  Komodo  bukanlah binatang orisinil pulau-pulau itu.

Perkembangan evolusi komodo bahu-membahu dimulai dengan munculnya jenis Varanus di Asia sekitar 40 juta tahun silam. Hewan itu  lalu menyebar dan bermigrasi ke Australia sekitar 15 juta tahun  silam ketika terjadi  pertemuan lempeng Australia dan Asia Tenggara. Komodo yang kini ditetapkan sebagai Tujuh Keajaiban Dunia, diyakini berevolusi dari nenek-moyangnya di  Australia yang bermigrasi ke utara, yaitu ke pulau Timor, Flores dan sekitarnya sekitar 4 juta tahun silam. 

Ketika berakhirnya zaman es, hewan-hewan itu “terpaku” pada habitatnya. Rupa-rupanya Flores dan pulau-pulau di sekitarnya, terutama di cuilan barat, memperlihatkan lingkungan yang mendukung sehingga binatang itu tetap bertahan hingga kini sementara saudara-saudari mereka di tempat lain telah bermetamorfosis fosil. 


Penggalian yang dilakukan para  palaeontolog dan arkeolog  Australia, Malaysia, dan Indonesia membuktikan bahwa tulang Komodo sama dengan tiga fosil binatang yang ditemukan di Queensland. Tentu saja hasil penggalian ini semakin memperkuat teori bahwa Australia merupakan tempat evolusi Varanus Komodoensis.

Fosil yang ditemukan di Queensland itu juga menandakan bahwa Varanus Komodoensis di  Flores berasal dari Australia yang hidup empat juta tahun yang lalu. Para peneliti juga menemukan bahwa Komodo menyebar ke sejumlah wilayah dan hingga di Pulau Flores sekitar 900.000 tahun kemudian dan bertahan hingga kini. Sementara di tempat asalnya, Australia, Komodo telah punah 50.000 tahun kemudian bertepatan dengan tibanya insan modern di Australia.


Saat ini, diperkirakan sekitar 4.000–5.000 ekor komodo masih hidup di alam liar. Hewan ini secara terbatas menyebar di pulau-pulau Rinca, Gili Motang, Gili Dasami, Komodo dan Flores. 

Meskipun demikian, ada keprihatinan mengenai populasi ini lantaran diperkirakan dari semuanya itu hanya tinggal 350 ekor betina saja yang produktif dan sanggup memperlihatkan keturunan yang baik. 

Bertolak dari kekhawatiran inilah, maka tahun 1980 Pemerintah Indonesia memutuskan berdirinya Taman Nasional Komodo untuk melindungi populasi Komodo dan ekosistemnya yang meliputi  beberapa pulau yaitu, Komodo, Rinca, dan Padar.

Fisiologi Komodo

Binatang Komodo yang kini semakin menarik banyak minat wisatawan ke Flores, secara umum mempunyai panjang 3 meter dan berat maksimal kurang lebih  90 kg. Binatang ini termasuk spesies kadal terbesar dunia yang kini dinyatakan sebagai salah satu dari 7 keajaiban alam di dunia.

Komodo yang dipelihara di penangkaran atau di kebon binatang bisa mempunyai tubuh yang gemuk dan berbobot berat. Namun di alam liar, secara umum komodo remaja biasanya mempunyai bobot tubuh seberat 70 kilogram. Berat ini ideal bagi Komodo liar untuk bertahan hiup. Ditambah dengan kaki-kaki yang kuat dan kokoh serta perut yang relatif ramping tidak menyeret tanah. Komodo bisa berlari dengan kecepatan 20 km/jam. Ini sangat cukup bagi Komodo untuk menyergap mangsanya.

Namun demikian, Komodo bukan tanpa "kekurangan". Komodo mempunyai penglihatan yang buruk. Namun kekurangan itu diimbangi oleh kelebihan yang lain. Komodo mempunyai pengecap yang panjang, berwarna kuning dan bercabang. Sama menyerupai kadal pada umumnya, pengecap itu difungsikan sebagai pendeteksi utama keadaan sekitarnya.

Komodo mempunyai ekor yang sama panjang dengan tubuhnya. Ekor itu bisa dipakai sebagai penyangga tubuhnya untuk meraih mangsa di atas pohon. Bagi Komodo jantan, ekor itu sangat penting ketika berkompetisi dengan jantan yang lain untuk memperebutkan si betina pujaan hati. 

Selain itu, Komodo juga mempunyai sekitar 60 buah gigi yang tajam sepanjang sekitar 2,5 cm. Gigi-gigi yang tajam itu mengalami pergantian secara periodik. sehingga kekuatan dan ketajamannya tetap terjaga dan terjamin. 


Selain gigi-giginya yang tajam, Komodo juga mempunyai cadangan air liur yang berlimpah dan bercampur dengan sedikit darah. Hal itu disebabkan lantaran gigi-giginya dilapisi jaringan gingiva yagng terus tercabik selama Komodo makan. Namun keadaan itu tidak pernah membuat verbal Komodo infaksi. Justru sebaliknya, gabungan liur dan darah itu membuat kondisi yang sangat ideal bagi bertumbuhnya jenis basil yang mematikan dan menjadi senjata andalan Komodo. Bakteri itulah yang membuat mangsa Komodo mati lantaran abuh secara perlahan sehabis digigit Komodo.



Anatomi Komodo

Panca indera Komodo agak payah. Meskipun mempunyai lobang telinga, Komodo tak mempunyai indera pendengaran yang baik. Ia lebih responsif terhadap gerakan daripada suara. Selain itu, kadal raksasa ini juga hanya bisa melihat hingga jarak 300 meter saja. Dalam kegelapan malam, Komodo sama sekali buta. Itulah sebabnya,aktivitasnya lebih banyak dilakukan pada siang hari. Ketika malam, Komodo akan berdiam dalam kediamannya di lobang-lobang yang telah dibuatnya.
Matanya mmemang bisa membedakan warna, terutama warna-warna cerah, tetapi kurang bisa membedakan objek yang tidak bergerak. 

Namun menyerupai reptil lainnya, Komodo memakai lidahnya untuk mendeteksi. Dengan indera vomeronasal yang terdapat pada lidah, Komodo mempunyai kemampuan navigasi dalam kegelapan. Lewat indera ini, Komodo bahkan bisa mendeteksi keberadaan bangkai pada jarak 4 – 9,5 kilometer. 

Walaupun mempunyai lobang hidung, namun bukan merupakan alat penciuman yang baik. Hal ini terjadi  lantaran Komodo tidak mempunyai sekat rongga badan.


Rahasia kesuksesan Komodo juga terletak pada sisik-sisiknya. Sisik-sisik Komodo diperkuat dengan tulang bersensor yang terhubung ke saraf-sarafnya. Sisik-sisik di sekitar telinga, bibir, dagu dan tapak kaki mempunyai tiga sensor rangsangan atau lebih.

Sensor inilah yang berfungsi sebagai indera perasa bagi Komodo dalam merespon keadaan di sekitarnya.

Jadi, walaupun panca indera Komodo payah kalau dibandingkan dengan hewan-hewan lainnya, namun tetap survive hingga hari ini. Semuanya itu terjadi lantaran keunggulan-keunggulan yang menempel pada spesies ini.



Daftar Pustaka: 
Dari banyak sekali sumber


Sumber https://pariwisata-tourisme-flores.blogspot.com

Tidak ada komentar