Tak lengkap rasanya bila sudah mengunjungi Candi Prambanan, tapi tidak mampir juga ke "saudaranya": Candi Borobudur. Maka di hari kedua solo trip saya ke Yogya ini, saya meluncur ke Magelang untuk mengunjungi salah satu warisan budaya dunia tersebut.
And here’s where the story begins...
Kamis, 30 November 2017
Sekitar pukul 06.30, saya memacu motor meninggalkan kota Yogyakarta menuju Magelang, Jawa Tengah. Kali ini, saya sendirian saja lantaran sudah berpisah arah dengan @zira_93. Makara selama seharian ini, foto-foto yang ada sebagian besar ialah foto objek. Tanpa ada saya di dalamnya. Hiks.
Yogya pagi itu sudah tidak mengecewakan ramai. Untuk keluar gang penginapan saja, saya harus meliuk-liukkan motor menghindari warga dan barang-barang dagangan di pasar. Anak-anak kecil pun memenuhi jalan untuk berangkat ke sekolah. Hmm, sungguh menyenangkan rasanya di ketika orang lain sedang sibuk sekolah/bekerja, saya sanggup liburan sendiri.
Perjalanan menuju Borobudur, dari penginapan saya, kata GoogleMaps sekitar 1 jam 34 menit (48 km). Kali ini saya benar-benar berhati-hati dalam memilih arah lantaran saya tak ingin lagi kejadian semalam terulang. Tapi untunglah, rute menuju Magelang tidak terlalu banyak percabangan. It was pretty straightforward. Dan overall, it was an enjoyable ride. Kondisi jalannya cukup baik, tanpa banyak lubang, dan cuaca juga mendung-mendung cerah, sehingga tidak panas.
Saya datang di Borobudur sekitar pukul 07.30, and I was so excited lantaran tampaknya belum terlalu ramai pengunjung. Tapi satu hal ya, saya agak galau cari parkiran motor lantaran tampaknya ngga ada tempat parkir yang official. Entah saya yang ngga nemu atau gimana. Pas tanya ke security-nya, saya disuruh parkir di seberang pintu masuk. Ada kayak parkiran motor gitu yang dikelola warga. Makara yah, saya parkir disana.
Saya bergerak menuju loket penjualan tiket, dan sudah terpampang faktual di sana harga tiket masuk Borobudur untuk remaja ialah sebesar Rp40.000,- dan belum dewasa (di bawah 10 tahun) Rp20.000,-. Tiket sudah ditangan, dan saatnya kita masuk! Namun, untuk menuju candinya, kita masih harus berjalan kaki melewati taman-taman serta menaiki anak tangga.
And welcome to Borobudur temple...
Tak ada kata lain yang terujar, selain W-O-W! Akhirnya, sesudah 25 tahun, saya sanggup menyaksikan secara eksklusif salah satu mahakarya warisan dunia ini. Norak si ya, tapi ya emang gres pertama kali ke sini sih. Hhe.
Stand tall
Candi Borobudur ini berdiri gagah di atas sebuah bukit berketinggian ±265 mdpl, dengan diapit dua pasang gunung kembar: Sindoro-Sumbing di barat maritim dan Merbabu-Merapi di timur laut. Sementara di utara, terdapat bukit Tidar, dan di selatan terdapat perbukitan Menoreh. Selain itu, candi ini juga terletak di erat pertemuan dua sungai, yakni sungai Progo dan Elo. Menurut cerita, tempat yang dikenal dengan sebutan Dataran Kedu ini merupakan tempat suci dan dijuluki sebagai “Taman Jawa” lantaran keindahan serta kesuburan tanahnya.
Ada sebuah hipotesis menarik yang menyatakan jika dulu, Dataran Kedu ini merupakan sebuah danau luas dan Borobudur merepresentasikan tumbuhan teratai yang mengapung di atasnya. Tapi ya masih menjadi perdebatan hangat di kalangan arkeologis.
Candi Borobudur dibangun dengan teladan rumit yang melambangkan kosmos atau alam semesta kehidupan manusia, dengan luas bangunan 15.129 m² yang terdiri dari 55.000 m³ kerikil sejumlah ±2 juta potongan dan total berat ±1,3 juta ton. Batu-batuan ini dipotong berdasarkan ukuran tertentu dan disatukan tanpa memakai semen, melainkan dengan sistem interlock (saling kunci). Makara kayak kita bikin bongkar pasang/lego.
Bangunan candi berbentuk punden berundak dengan 10 tingkatan (9 teras), yang melambangkan tahapan kehidupan insan dalam fatwa Buddha. Enam teras terbawah berbentuk persegi, sementara tiga teras di atasnya berbentuk lingkaran. Tingkatan ini dibagi menjadi tiga bagian, yakni Kamadhatu yang melambangkan bahwa kehidupan insan masih terikat nafsu (kama), kemudian Rupadhatu yang melambangkan kehidupan insan yang bebas dari hawa nafsu tetapi masih terikat dengan bentuk dan rupa. Digambarkan dengan patung-patung yang diletakkan terbuka di relung terbuka.
Dan pecahan terakhir, yakni Arupadhatu yang melambangkan bahwa insan telah terbebas dari nafsu, bentuk, dan rupa, tetapi belum mencapai nirwana. Digambarkan dengan patung-patung yang diletakkan di dalam “sangkar” stupa berlubang-lubang, menjelaskan konsep peralihan menuju keadaan tanpa wujud.
Bagian paling atas yang merupakan stupa tertinggi dan terbesar melambangkan nirwana, tempat Buddha bersemayam. Digambarkan dengan stupa polos tanpa lubang, menunjukkan ketiadaan wujud yang sempurna. Stupa tersebut dibiarkan kosong tanpa patung di dalamnya, diduga bermakna budi tertinggi, yaitu kesunyian dan ketiadaan sempurna. Mungkin inilah yang dimaksud oleh Biksu Tong Sam Cong dengan “Kosong ialah isi. Isi ialah kosong”, hehe.. *cmiiw
Dinding-dinding Candi Borobudur dihiasi dengan relief yang sangat detail dan indah. Cukup usang saya menikmati gambar-gambar yang terpahat dengan apik di sepanjang dinding. Terdapat 1.460 frame relief yang menceritakan aneka macam figur menyerupai manusia, tumbuhan, hewan, bangunan, alat trasnportasi, perilaku tubuh, dan aktivitas sehari-hari, serta menceritakan majemuk kisah menyerupai Ramayana dan perjalanan Siddharta Gautama. Relief-relief ini dibaca searah jarum jam dan senantiasa dimulai dari pintu sisi timur.
Tak hanya sebagai sebuah situs, Borobudur juga merupakan sebuah kitab yang merekam aneka macam macam aspek kehidupan, terutama masyarakat Jawa kuno.
Puas menikmati keindahan candi, saya bergerak ke area sekitar dan di sini, ada beberapa spot yang sanggup kita kunjungi, menyerupai Museum Kapal Samudraraksa dan Museum Arkeologi. Berhubung udah siang dan cuaca panas skale, saya cuman sempat mampir di Museum Arkeologi. Tiket masuknya gratis aja kok.
Begitu masuk museum, kita akan datang di pendopo yang berisi alat-alat musik tradisional, dan di sekeliling bangunan ini, terdapat potongan batu-batu candi yang tidak sanggup ditentukan letak aslinya ketika proses pemugaran. Jadinya disimpen aja di museum tersebut.
Di dalam museum sendiri, berisi informasi-informasi mengenai inovasi candi, hingga teknis pemugarannya. Juga artefak-artefak yang ditemukan di sekitar candi. Sayangnya ngga boleh foto-foto di dalam museum ini twips.
Lanjut ke destinasi berikutnya
Nah, mumpung lagi di Borobudur, sekalian saja saya mampir ke salah satu dua tempat yang belakangan semakin hitz kerana menjadi setting film Ada Apa Dengan Cinta 2.
Tempat pertama yakni Punthuk Setumbu. Jaraknya tidak jauh dari Borobudur, hanya sekitar 5 km atau 15 menit berkendara. Punthuk Setumbu sendiri ialah sebuah bukit yang dipakai wisatawan untuk menikmati panorama matahari terbit dan keindahan perbukitan di sekitarnya, menyerupai Bukit Cemuris, Cething, Setompo, dan Menoreh.
Dari atas sini juga, kita sanggup melihat pemandangan Candi Borobudur dari ketinggian. Sayang, waktu itu udah siang, jadi saya belum sanggup menikmati keindahan sunrise dan kabut pagi yang konon katanya menciptakan kita serasa di kahyangan.
Untuk masuk ke sini, kita dikenakan biaya Rp15.000,- dan perlu berjalan kaki selama ±15 menit untuk menuju puncak gemilang cahaya. Pas saya kesana, lagi ada pekerjaan untuk memperbaiki jalan setapak, jadi yummy lah nanti udah ada tangga-tangga dari semen. Dan juga pas di atas, udah dibangun panggung dan gazebo-gazebo untuk menikmati sunrise. Untuk nak kanak kekinian pun juga disediakan spot-spot untuk berfoto ria.
Sebenernya agak gimana gitu ya, saya jadi agak risih kini ini segala tempat wisata dibangun background-background buat foto, kayak papan-papan berbentuk hati lah, kursi-kursi manja lah, dsb. Makara kayak “ngotor-ngotorin” tempat yang udah indah gitu ngga sih twips (?)
Anyway, dari atas Punthuk Setumbu ini juga, kita sanggup melihat sebuah bangunan yang bentuknya menyerupai dengan ‘ayam’, dengan mahkota di atasnya. And yes, kesanalah saya akan pergi berikutnya
Yang dilingkarin
Orang-orangnya mengenalnya dengan sebutan Gereja Ayam. Padahal sebenernya bangunan tersebut bukan “Gereja”, dan bukan “Ayam” lho.
Perjalanan menuju Gereja Ayam memakan waktu kurang lebih 5 menit saja naik motor, tapi untuk ke bangunannya sendiri masih harus jalan kaki kurang lebih 15 menit. Agak jauh dan menanjak, dan agak serem juga lantaran harus melewati jembatan bambu yang tampak ringkih serta hutan-hutan bambu. Mana saya sendirian lagi kan. Duh. Sebenernya dari Punthuk Setumbu ada jalan tembusan yang eksklusif menuju Gereja Ayam (kata si bapak-bapak tukang) tapi kok ya jalannya keliatan serem jadi saya lewat jalur yang biasa aja.
Gereja Ayam ini dibangun oleh Daniel Alamsjah, seorang pegawai swasta asal Jakarta yang pada tahun 1988 silam ketika sedang berwisata di area Borobudur, menerima ide untuk membangun sebuah rumah doa di atas bukit yang kini dikenal dengan Bukit Rhema itu.
Bangunan ini tidak dimaksudkan untuk dipakai sebagai gereja, akan tetapi sebagai tempat berdoa untuk semua bangsa dan semua agama. Maka dari itu, di dalam bangunan ini terdapat ruang-ruang untuk berdoa sendiri maupun berkelompok, ada musholla, ada termpat berdoa umat kristiani, dll.
Bangunan ini juga sempat dipakai sebagai tempat rehabilitasi bagi belum dewasa difabel, gangguan jiwa, ketergantungan narkoba, dan remaja-remaja yang bermasalah.
Pembangunan tempat ini dimulai pada 1992, kemudian pada 1996 sempat terhenti lantaran krisis moneter. Lalu pada tahun 2000 ditutup lantaran protes warga, dan pada tahun 2014 kembali dibuka sebagai destinasi wisata.
Satu lagi, ternyata bangunan ini bukan berbentuk “Ayam” ya permisah, melainkan berbentuk “Burung Merpati”, yang merupakan lambang perdamaian dan kekudusan.
Harga masuk tempat ini sebesar Rp15.000,- dan itu udah free snack singkong keju. Asik khan. Kita sanggup menikmati snack nya di sebuah “cafe” yang ada di lantai dua Gereja Ayam. Dari cafe ini juga, pemandangannya manis lho. Apalagi waktu itu lagi mendung, sesekali gerimis, sehingga menambah kesyahduan.
Dan jika kita memanjat hingga ke tingkat paling atas, kita sanggup menikmati pemandangan 360° dari mahkota si “Merpati”. Tapi ya harus gantian lantaran space-nya sangat sempit sementara orang-orang pada rebutan mau ke atas, dan yang di atas pun ngga turun-turun. Hft.
View from the crown
Buk, gantian napah
Mendung di langit Magelang sudah semakin tebal, jadi tampaknya sudah saatnya saya balik ke Yogya. Daripada kehujanan lagi ya. Saya pun memacu motor kembali ke jalan raya Magelang-Yogyakarta. Namun di tengah-tengah perjalanan, saya sempatkan untuk mampir sebentar di Candi Mendut, yang kebetulan searah balik. Tapi ngga sempet masuk lantaran keburu gerimis.
Dan for your info nih twips, Candi Mendut ini dibangun dalam satu garis lurus dengan Candi Borobudur dan Candi Pawon. Diduga, ada semacam koneksi religius khusus di antara ketiga candi ini, meskipun ritual tepatnya belum diketahui.
Saya kemudian melanjutkan perjalanan kembali menuju Yogyakarta. Langit di atas tampaknya sedang galaw kerana semenit gerimis semenit engga. Kujadi lelah bongkar pasang jas hujan. Tapi alhamdulillah, hujannya tidak sederas air mataku ketika ditinggal kawin hujan semalam sebelumnya.
Nah, selain tempat wisatanya yang kece-kece, Yogyakarta juga menjadi surga bagi para penikmat kuliner, ya kan gaes? Banyak kuliner dan resto-resto unik yang sanggup kita dikunjungin di sini.
Kebetulan, waktu itu belom makan siang, dan saya sedang nyasar di tengah-tengah jalanan kota Yogya yang memusingkan. Ternyata eh ternyata, pas liat di GoogleMaps, posisi saya waktu itu ada di erat salah satu resto yang cukup populer di Yogya, namanya The House of Raminten. Pernah denger dong ya? Jadi, saya sekalian lah mampir ke sana. Pengen tau kek mana sih dalemnya.
Dari luar nuansa tradisionalnya sudah sangat terasa ya. Dan pengunjungnya luar biasah ramai. Mungkin lantaran pas waktunya makan siang ya (tapi udah mau Ashar sih sebenernya). Ketika masuk, kita akan ditanyain sama mas-mas yang jaga: “Berapa orang?” “Sendiri aja mas,” jawabku pelan dan tersipu malu. Dan mas-nya pun eksklusif mempersilakan saya masuk. Kayaknya jika kita bawa rombongan banyak harus ngantri dulu, saking ramainya.
Yang menarik, di resto ini semua pegawainya pakai baju tradisional Jawa. Mas-masnya pake bawahan jarik batik, rompi, dan blangkon, sementara mba-mbanya pakai bawahan jarik dan kemben. Kalau kita mau pesen, tinggal panggil mas/mbaknya, terus dicatat sama mas/mbaknya, dan kita eksklusif bayar. Makara kita ngga bayar di kasir, tapi ke pelayan yang ngelayanin kita, dan mereka kemana-mana selain bawa sajian & alat tulis, mereka bawa uang juga buat kembalian.
Untuk makannya sendiri memang secara umum dikuasai masakan rumahan ya. Saya waktu itu pesen Ayam Koteka, Es Buah Raminten, sama Puding Jawa. Kalau soal rasa, berdasarkan saya sih yummy ya, but not that special. Enak aja. Dan harganya juga ngga terlalu mahal. Masih terjangkau lah.
Yang Istimewa ya, suasananya ya. Tradisional, tapi masih ada touch of modernity-nya. Agak funky-funky gitu. Cocok tuk kongkow-kongkow bersama mitra dan keluarga. Ditemani dengan iringan musik Jawa. Tapi yang saya agak ngga suka itu, busuk kemenyan/dupa-nya. Lama-lama bikin pusing.
Nama “Raminten” sendiri diambil dari tokoh yang diperankan oleh si pendiri restoran, bapak Hamzah Sulaeman, sewaktu dia bermain dalam ketoprak komedi berjudul “Pengkolan”. Unik ya pemirsa.
Selain The House of Raminten, malam harinya saya juga mengunjungi salah satu tempat makan lain yang juga populer di Yogya, dan kebetulan erat dari penginapan, nama tempatnya Warung Bu Ageng.
Tau Butet Kertaradjasa kan? Nah, Warung Bu Ageng ini punyanya dia lho twips. Nama "Bu Ageng" sendiri terinspirasi dari istria beliau, ibu Rulyani Isfihana, yang katanya sering dipanggil “Bu Ageng” sama cucu-cucunya.
Restorannya sendiri masih bernuansa tradisional, tapi simple, asri, dan homy sekali. Deretan meja dingklik yang tersusun rapih layaknya rumah makan pada umumnya. Dihiasi taman-taman kecil di tepi-tepi, serta pajangan dinding berupa foto tokoh-tokoh Indonesia.
Waktu itu saya pesen Nasi Campur Ayam Bakar Suwiran. Dan rasanya... yummy banget!
Makara isinya ada nasi (of course), ayam suwir, ikan asin, sambel goreng kentang, sambal Kutai, dan yang paling favorit, ada kerupuk gendar (kerupuk nasi/karak). Ini yummy orisinil gendarnya. Dan harganya juga tidak mengecewakan lah, seporsi nasi campur itu Rp26.000,- jika ngga salah.
Nah, dengan berakhirnya makan malam di Warung Bu Ageng, berakhir pula perjalanan saya di hari kedua solo-trip di Yogya. Esok hari ialah hari terakhir, dan masih bingung, mau main ke pantai, atau mau keliling kota aja ya (?)
So, stay tune
NaraHubung:
Candi Borobudur
Jl. Badrawati, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah
Telp.: 0293788266, (024) 86462345
Email: borobudur@borobudurpark.co.id
Website: borobudurpark.com
Punthuk Setumbu
Jl.Borobudur Ngadiharjo KM3, Kurahan, Karangrejo, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah 56553
Telp.: 08128281901
Gereja Ayam (Bukit Rhema)
Gombong, Kembanglimus, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah 56553
Telp.: 082330035288
Candi Mendut
Jalan Magelang, Sumberrejo, Mendut, Mungkid, Magelang, Jawa Tengah 56501
Sumber http://ferydyan.blogspot.com
Jl. Badrawati, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah
Telp.: 0293788266, (024) 86462345
Email: borobudur@borobudurpark.co.id
Website: borobudurpark.com
Punthuk Setumbu
Jl.Borobudur Ngadiharjo KM3, Kurahan, Karangrejo, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah 56553
Telp.: 08128281901
Gereja Ayam (Bukit Rhema)
Gombong, Kembanglimus, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah 56553
Telp.: 082330035288
Candi Mendut
Jalan Magelang, Sumberrejo, Mendut, Mungkid, Magelang, Jawa Tengah 56501
Telp.: (0293) 788564
The House of Raminten
Jl. FM. Noto No. 7, Kotabaru, Yogyakarta
Telp.: (0274) 547315
Email: ramintenhouse@ yahoo.com
Warung Bu Ageng
Jl. Tirtodipuran No. 13, Mantrirejon, Yogyakarta, 55143
Telp.: (0274) 387191, 087780004888
Email: Bu.Ageng@yahoo.com
Email: Bu.Ageng@yahoo.com
Thanks-List:
wikipedia.org, for the info
YOU, for reading this! :)
Tidak ada komentar