Tambora...
Begitu mendengar namanya, kita niscaya pribadi teringat dengan erupsi dahsyatnya dua ratus tahun silam. Letusan yang terdengar hingga 2.000 km jauhnya tersebut memotong ketinggian Gunung Tambora hingga tersisa sepertiganya (awal ±4000 m, sekarang 2.851 m). Letusan tersebut turut memusnahkan tiga kerajaan di Pulau Sumbawa, memakan ratusan ribu korban jiwa, serta mengubah iklim dunia sehingga dikenal dengan "Tahun Tanpa Musim Panas".
Letusan Gunung Tambora merupakan salah satu letusan terdahsyat yang pernah tercatat, dengan Indeks Letusan/Volcanic Explosivity Index (VEI) 7—setara 800 megaton TNT, lebih tinggi dari letusan Gunung Krakatau yang mempunyai VEI-6. Letusan ini menjadikan gelombang tsunami hingga ke Pulau Jawa, Kepulauan Maluku, dan membuat sebuah danau di Pulau Satonda (±30 km barat maritim Tambora).
Sementara di bagian bumi lain, selain tragedi kelaparan, pengaruh bermacam-macam muncul akhir meletusnya Gunung Tambora. Mulai dari inovasi sepeda (karena banyaknya kuda yang mati), kemudian tercetusnya migrasi dan pergerakan anti-perbudakan di Amerika, kemudian lukisan-lukisan pada waktu itu yang gambar mataharinya tampak lebih oranye (karena tertutup debu), hingga menginspirasi terciptanya novel horor "Frankenstein" karya Mary Shelley, puisi "Darkness" oleh Lord Byron, dan bibit-bibit dongeng Drakula dan Vampire setelahnya.
Sementara di bagian bumi lain, selain tragedi kelaparan, pengaruh bermacam-macam muncul akhir meletusnya Gunung Tambora. Mulai dari inovasi sepeda (karena banyaknya kuda yang mati), kemudian tercetusnya migrasi dan pergerakan anti-perbudakan di Amerika, kemudian lukisan-lukisan pada waktu itu yang gambar mataharinya tampak lebih oranye (karena tertutup debu), hingga menginspirasi terciptanya novel horor "Frankenstein" karya Mary Shelley, puisi "Darkness" oleh Lord Byron, dan bibit-bibit dongeng Drakula dan Vampire setelahnya.
Kisah-kisah mengenai Tambora inlah yang alhasil memantik hasrat saya untuk—paling tidak— menapaki jejak-jejak keagungan gunung tersebut. Dan jujur, di perjalanan kali ini, untuk pertama kalinya saya benar-benar mencicipi apa yang dinamakan “mendaki”.
And here where our story begins...
Kamis, 21 September 2017
Pagi-pagi, saya, @yuanggafp, & @dentajaya cek out dari penginapan kami dan berangkat ke Bandara Ngurah Rai. Jaraknya deket banget ternyata, cuma 10 menit berkendara. Kami bertiga terbang menuju Bima, Nusa Tenggara Barat, memakai maskapai WingsAir yang dijadwalkan berangkat pukul 08.45 dan datang pukul 09.55. Kami janjian meet up sama penerima pendakian lain di Bima pukul 10.00.
Pagi-pagi, saya, @yuanggafp, & @dentajaya cek out dari penginapan kami dan berangkat ke Bandara Ngurah Rai. Jaraknya deket banget ternyata, cuma 10 menit berkendara. Kami bertiga terbang menuju Bima, Nusa Tenggara Barat, memakai maskapai WingsAir yang dijadwalkan berangkat pukul 08.45 dan datang pukul 09.55. Kami janjian meet up sama penerima pendakian lain di Bima pukul 10.00.
Agak mepet ya sebenernya. Ditambah beberapa hari sebelum berangkat, kami dapet notif dari Wings jikalau penerbangan ke Bima tersebut mundur 10 menit! Hmm.. Alamat, hingga di Bima pribadi dihujat penerima lain
Namun alhamdulillah, meskipun berangkatnya telat, kami hingga di Bima just in time! Sekitar pukul 09.50. Dan sedikit tips, jikalau kita mau terbang ke Sumbawa, duduknya di pesawat coba pilih di sebelah kiri deh. Karena kita akan dimanjakan dengan pemandangan Gunung Rinjani, dan tentu saja, Gunung Tambora!
And welcome to Bima, Nusa Tenggara Barat...
Itu yakni kali pertama saya menginjakkan kaki di Pulau Sumbawa. Kesan pertama, it was so spacious! Terlihat luas dan lengang sekali, ngga ada gedung-gedung tinggi. Dari jendela pesawat pun udah kelihatan jikalau daeah tersebut didominasi oleh padang-padang rumput, perbukitan, dengan permukiman yang tidak terlalu padat—kalau tidak dapat dibilang “jarang”.
Di depan bandara, kami disambut sama mas @ichyak_ dan rekan-rekan satu tim lainnya. Ada mba @shinta_sw & @qadzillah. Kaprikornus total kami ber-enam (tambah satu lagi guide lokal). Saya pribadi suka jikalau trip-nya ngga terlalu banyak orang, kayak kita waktu itu. Kaprikornus dapat lebih “intim”.
Tak lama kemudian, kami pun berangkat menuju basecamp pendakian Gunung Tambora, yakni Desa Pancasila, Kabupaten Dompu. Sebenernya, ada satu lagi jalur pendakiannya yaitu lewat Doropeti, Bima, cuman yang lebih sering ya lewat Desa Pancasila ini. Dan di luar ekspektasi saya, ternyata perjalanan menuju Desa Pancasila itu.. LIMA JAM sodara-sodara! Ya Alloh.
Tapi meskipun perjalanannya lama, ditambah desek-desekan di kendaraan beroda empat yang membuat pinggang pegal dan pantat tepos, ditambah jalan-jalan berliku yang memabukkan, kita semua akan dimanjakan dengan pemandangan alam Sumbawa yang indah!
Awalnya kami ngeliat tambak-tambak garam. Dan kata si bapak driver, jikalau lagi ngga berladang garam, area tersebut digunakan buat tambak ikan.
Kemudian ada pemandangan padang rumput dan tanah lapang yang luaaas, yang waktu itu warnanya didominasi kuning kecoklatan kerana sedang ekspresi dominan kemarau. Kaprikornus berasa lagi jalan-jalan di Afrika—atau versi lokalnya, di Baluran lah.
Doro Ncanga
(courtesy of @qadzillah)
Kaprikornus jikalau lagi lewat sini, kita harus hati-hati alasannya yakni kadang ada kawanan sapi lewat, kerbau baris-berbaris, kuda lari-larian, atau kambing yang asyik main di tengah jalan.
But seriously, tempat ini pemandangannya keren maksimal. Apalagi pas kita dapat lihat maritim di kejauhan. Wew, keche baday lah pokoke!
Well singkat cerita, sampailah kami di Desa Pancasila, tepatnya di basecamp pendakian milik Pak Syaiful Bahri. Buat yang pernah ke Tambora, udah niscaya tau lah tempat ini. Kayaknya sih rumah Pak Syaiful ini jadi satu-satunya basecamp *cmiiw.
Pancasila Basecamp
(Left-Right: @shinta_sw, @qadzillah, @dentajaya, @yuanggafp, me)
(courtesy of @shinta_sw)
Ada beberapa pondokan buat nginep, toilet umum, juga warung kecil. Pak Syaiful ini juga mengoordinasi para porter, guide, dan ojek yang merupakan warga sekitar juga. Beliau juga menyediakan pernak-pernik buat buah tangan menyerupai kopi Tambora, kaos, pin, madu, dsb.
Setelah leyeh-leyeh, bongkar-muat tas, dan mengisi perut dengan semangkuk mi instan, kami pun siap untuk memulai pendakian!
Tujuan pertama kami yakni Pos 1. Dari basecamp, kita dapat jalan kaki atau naik ojek. Waktu itu, menentukan naik ojek, untuk menghemat waktu (tarifnya ±Rp50.000). Kalau naik ojek, kita tidak akan diantar hingga Pos 1, melainkan hingga pintu hutan. Tapi ya tidak mengecewakan lah, daripada jalan kaki.
Perjalanan menuju pintu hutan memakan waktu ±30 menit. Dan itu merupakan pengalaman yang benar-benar menegangkan! Tapi seru.
Medan yang kami lalui adalah jalanan bergelombang, berlubang, ditambah cuaca panas dan berdebu. Tak ayal, naik ojek itu pun serasa ikut balap motor offroad! Antar pengendara ojek tampak ingin bersaing menjadi yang pertama. Saya yang dibonceng udah ngga karuan bentuknya. Sebadan-badan penuh debu, kegores-gores ranting pohon, jantungan alasannya yakni beberapa kali hampir jatuh, ditambah si kakak ojeknya posesif minta dipeluk erat. Ngga boleh pegangan samping motor! Tapi bener juga sih, biar abangnya lebih stabil nyetirnya.
Kami hingga di pintu hutan dalam keadaan dekil, padahal belum juga mulai mendaki. Tapi ya udahlah ya, dinikmati saja semua pengalamannya.
Di pintu hutan ini kami ketemu sama rombongan pendaki lain (dari Lombok kalo ngga salah). Kita sebut saja "trio kwek-kwek" alasannya yakni terdiri dari satu laki-laki dan dua wanita. Mereka jalan kaki dari basecamp hingga pintu hutan lho btw. Dan mereka pamit jalan duluan ke Pos 1, selagi kami masih siap-siap.
Setelah berdoa, kami pun mulai berjalan menuju Pos 1. Begitu masuk hutan, suasana pribadi berubah. Dari yang tadinya panas berdebu, jadi adem dan lembab. Memang, trek di Tambora ini didominasi oleh hutan. Hutan semua malah hingga Pos 5 (sebelum puncak). Dan jikalau ekspresi dominan hujan, dapat dibayangkan, bakalan becek dan serangan pacet akan merajalela! Tapi untunglah kami mendaki ketika kemarau sehingga kondusif dari pacet.
Di luar dugaan, trek menuju Pos 1 ini cukup membuat stress berat ya. Langsung nanjak-nanjak terjal. Tapi alhamdulillah, sekitar satu jam kemudian, kami sampailah di Pos 1.
Pos 1 berada di ketinggian ±1.200 mdpl. Di sini ada shelter buat istirahat dan tanah yang tidak mengecewakan lapang jikalau mau buka tenda/nge-camp. Di sini kami ketemu sama "trio kwek-kwek" lagi.
Setelah istirahat, minum-minum, dan guyon-guyon sejenak, kami melanjutkan perjalanan menuju Pos 2. Treknya ngga terlalu susah, ngga nanjak-nanjak banget. Cuman jalannya emang agak sempit Perjalanan kami memakan waktu ±2 jam dan kami hingga di Pos 2 sekitar Maghrib/Isya.
Pos 2 berada di ketinggan ±1.280 mdpl. Area di sini ngga terlalu luas dan ngga rata juga, jadi ngga dapat banyak menampung tenda. Tapi enaknya, sumber air so dekat, tinggal jalan kaki turun ±2 menit saja.
Kami buka tenda dan bermalam di Pos 2 ini. Waktu itu, hanya ada kami di sana, sementara si "trio kwek-kwek" nginep di Pos 1 kayaknya.
Inilah pertama kalinya, saya merasa benar-benar “mendaki” gunung. Suasananya yang sepi, sunyi, dan lebih intim. Kita jarang banget ketemu/papasan sama orang-orang lain (ngga kayak di Semeru atau Rinjani). Jadi, ya, lezat deh. Rasanya lebih khusyu' menikmati alam sekitar.
Malam itu kami “menguasai” shelter Pos 2. Kami masak dan makan malem dengan leluasa. Tapi jujur, cuaca di sana tidak sedingin yang saya bayangkan. Malah jikalau udah masuk tenda & sleeping bag cenderung jadi gerah.
Anyway, sehabis perut kenyang, ngobrol ngalor-ngidul, kami pun menuju peraduan dan bersiap untuk perjalanan esok hari. Tapi jangan lupa, sehabis masak & makan-makan, sisa logistiknya diberesin biar tidak mengundang si babi hutan dan musang-musang yang nackal!
Next day, kami melanjutkan perjalanan hingga Pos 3, dimana kami nganggur hampir seharian!
Next Episode...
Thanks-List:
nationalgeographic.co.id, wikipedia.org, KompasTV YouTube Channel, wowshack.com, for the info
@shinta_sw, @qadzillah, @dentajaya, @yuanggafp, @ichyak_, for the pics
Sumber http://ferydyan.blogspot.com
Tambora's starry night
(courtesy of @yuanggafp)
Next day, kami melanjutkan perjalanan hingga Pos 3, dimana kami nganggur hampir seharian!
Next Episode...
Thanks-List:
nationalgeographic.co.id, wikipedia.org, KompasTV YouTube Channel, wowshack.com, for the info
@shinta_sw, @qadzillah, @dentajaya, @yuanggafp, @ichyak_, for the pics
Tidak ada komentar