Pesawat baling-baling yang kami tumpangi, Trigana Air, mendarat dengan agak geradakan di Bandar Udara Wamena, hari Rabu pagi ahad lalu. Saya tak sanggup menahan senyum seraya memandangi pegunungan berlapiskan awan putih yang mengitari landasan pacu. Ini pertama kali saya ke Papua, dan belum pernah bermimpi akan ke Wamena hingga ada undangan ke sana seminggu sebelum berangkat. Tak sabar untuk bermain-main ke kebun kopi Wamena.
“Itu Sungai Baliem,” ujar Pak Lani yang duduk di sebelah saya, menunjuk pada tubuh air yang meliuk bagaikan ular gemuk. Lebar sekali sungainya. Pak Lani orisinil orang Wamena, penerbangan Jayapura-Wamena sudah hampir rutin baginya. “Itu salib besar sekali!” saya menunjuk pada sebuah konstruksi putih berbentuk salib yang mentereng di antara atap-atap rumah dan pepohonan. Saya menerima info kemudian, bahwa pembangunan salib itu memakan biaya puluhan miliar.
Wamena merupakan ibukota Kabupaten Jayawijaya, berada di dataran tinggi Lembah Baliem. Akses ke sana sanggup dilakukan dengan pesawat terbang atau jalan darat lewat ‘Jalan Jokowi’. Ingat gosip Pak Jokowi iring-iringan naik motor di Papua? Itulah jalan Trans Papua yang menghubungkan Jayapura dengan Wamena. Sayangnya, belum banyak warga Papua yang memakai jalan itu lantaran tingkat keamanannya yang masih rendah. “Itu jalan jauh dari mana-mana. Kalau kenapa-kenapa, tak ada yang sanggup menolong kita di sana,” terperinci Pak Lani. Sebab itu, apa-apa yang berasal dari luar Wamena harganya mahal di sana, mirip bahan-bahan bangunan, lantaran diangkut dengan pesawat. Itu sebabnya salib besar tadi mahal sekali, selain mungkin ada biaya-biaya lainnya yang kita tak tahu.
|
Pegunungan yang menjadi pemandangan indah sekaligus tantangan bagi para pilot di Wamena. |
|
Bandara yang sudah moderen. |
Keluar dari bandara, seorang bapak renta mengenakan koteka mendekati kami, memberi isyarat untuk mengajak berfoto. “Ya ampun, waktu gue ke sini tahun 2008, bapak ini juga ngajak-ngajak foto. Nanti jikalau kita foto sama dia, beliau akan minta dibayar,” ujar Motulz, teman seperjalanan saya. Sejak 2008? Konsisten sekali dia! Namun kami menolak ajakannya berfoto lantaran selain tidak berminat, juga kendaraan beroda empat penjemput sudah menanti.
Dengan koper dan ransel di kolam mobil, kami pribadi menuju salah satu desa penghasil kopi di distrik Pyramid. Perjalanan memakai kendaraan beroda empat double cabin yang dikemudikan oleh Januarius, anak Pak Lani. Tidak sembarang jenis kendaraan beroda empat sanggup menembus medan Lembah Baliem, yang jamak disebut Wamena saja. Sebagian jalan sudah diaspal, sebagian masih berbatu-batu dan berumput, sebagian besar lagi masih liar.
Sepanjang perjalanan, mungkin selama satu jam, saya terpesona melihat pemandangan alam yang membentang. Pegunungan bermahkotakan awan, berbatasan dengan rerumputan dan pepohonan. Pagar-pagar kayu beratapkan ilalang kering, melindungi honai (rumah tradisional Papua) dari kunjungan hewan-hewan yang tak diinginkan, membuat pemandangan yang khas.
Udara sejuk, apalagi jendela kendaraan beroda empat kami buka, membuat jaket tak perlu saya lepas. Angin yang bertiup membuat rambut saya riap-riap tak karuan. Lembah Baliem berada di ketinggian 1600 meter dpl ke atas. Ketinggian ini yang membuat kopi asal sana berkualitas baik. “Makin tinggi, makin anggun kualitas kopinya,” kata Pak Piter Tan, pengusaha kopi sekaligus Q-grader yang melaksanakan perjalanan bersama kami ke Wamena.
(Baca juga dongeng Motulz perihal kopi Wamena di blognya Motulz.com.)
|
Lapangan daerah belum dewasa Wamena berlatih main sepakbola. |
|
Pagar khas di Wamena. |
Sampai di distrik Pyramid, kami disambut Mama Ria, salah satu petani kopi. Mama yang suaranya empuk ini mengizinkan saya membuntutinya memetik kopi yang sudah merah di kebun. Eh, tapi bahwasanya di Wamena ini belum ada perkebunan kopi. Jadi, yang dimaksud dengan ‘kebun kopi’ di sana ialah kumpulan pohon kopi yang tumbuh di antara pohon-pohon lainnya, di lahan yang lebih mirip hutan.
“Kita ambil itu yang merah saja. Kalau yang hijau itu, jangan,” kata Pak Lani sambil menunjukkan buah-buah kopi yang sekilas mirip melinjo. Sedangkan buah yang sudah berwarna merah renta hingga cokelat berarti sudah ‘lanjut’ alias terlalu tua, hampir busuk. Kopi Wamena ialah jenis Arabica Typica. Saya gres tahu bahwa Arabica lebih harum daripada Robusta. Dua jenis ini yang paling sering dikonsumsi di dunia. Sedangkan dua jenis lainnya, Excelsa dan Liberica, entah kenapa paling jarang.
Pak Maksimus Lani ialah pengumpul kopi terbesar di Wamena, berasal dari desa Walesi. Dulu kopi Wamena hanya dihargai Rp9.000 per kg, sebagian lantaran kualitasnya yang kurang baik. Maka dulu warga Wamena lebih suka menanam ubi, wortel, dan kol yang lebih besar daya tawarnya. Beberapa tahun belakangan ini semakin banyak warga Wamena yang beralih (kembali) ke kopi semenjak Pak Piter membeli dari mereka dengan harga Rp45.000 per kg. Pengusaha kelahiran Jayapura ini juga dengan gigih mengajari para petani cara menghasilkan panen kopi yang berkualitas baik.
|
Kopi Wamena tanpa pupuk buatan, pestisida, dan tidak terkotori polusi udara. |
|
Mama Ria yang berbaik hati membiarkan saya bertanya macam-macam dan mengikutinya ke kebun. |
Hari kedua kami di Wamena ialah panen besar kopi. Lagi, kami mengikuti para pemetik kopi di hutan Walesi. Mereka berasal dari beberapa desa, mirip Walesi, Tangma, dan Kurulu. Setiap orang yang gres tiba menyalami mereka yang sudah ada di sana, termasuk saya dan Motulz yang belum mereka kenal sama sekali.
Keramahan ini saya rasakan di manapun ketika di Wamena. Ketika saya sedang berdiri di pinggir jalan saja, mama-mama atau bapa-bapa yang lewat seringkali menghampiri dan menjabat tangan saya, kemudian menyebutkan namanya sambil tersenyum, menunjukkan gigi dan gusi yang merah jawaban mengunyah pinang. Kadang saya duluan yang menyapa, kadang mereka yang pribadi menghampiri.
Menjelang siang hari itu matahari bersinar terik, tapi para mama, bapa, anak muda dan anak kecil memetik kopi dengan semangat dan ceria. Mama Tina bahkan mengajari saya menyanyikan suatu lagu yang bertema perihal kopi. Saya, sang buta nada, gagal menjadi murid yang membanggakan. Namun tak urung kami tertawa-tawa sesudah selesai berjoget dan direkam kamera ponsel saya. Seorang bapak yang sedang membabat rumput liar terkekeh-kekeh melihat kelakuan kami. Untung goloknya tak hingga salah tebas.
|
Bu Yani dan Mama Tina |
|
Esau memetik kopi ketika libur sekolah. |
|
Pak Piter, Pak Lani, dan para petani serta belum dewasa membawa hasil panen. |
Para pemetik menyebar di hutan. Saya tak hapal luas area yang ditanami pohon kopi. Sebagian cukup rapat sehingga saya perlu agak memutar untuk mencapai titik-titik tertentu. Akibat hujan di malam sebelumnya, tanah jadi agak becek, sepatu tak luput dari tanah yang menempel. Tidak mirip saya, para pemetik melangkah dengan cepat dan pasti, tak peduli kaki nyeker, lantaran hutan itu sudah mirip taman bermain mereka.
“Ini masih sedikit. Nanti kira-kira bulan Maret lebih banyak lagi buahnya,” Pak Lani menjelaskan. Ternyata, dalam suatu siklus panen, terjadi beberapa kali panen. Kali ini ialah tahap pertama. Secara kualitas, lebih anggun biji kopi yang dihasilkan dari panen yang besar nanti.
Setelah hampir dua jam saya di hutan, Pak Lani mengaba-abakan para pemetik untuk berkumpul dengan hasil petikan mereka. Berember-ember buah kopi berkulit merah kemudian digotong ke rumah Pak Lani untuk diproses. Kami berjalan beriringan dengan petani-petani lain yang mengangkut hasil bumi mirip pisang dan kol di dalam tas noken mereka. Suasana terasa ceria sekali, mungkin lantaran hasil panen yang baik di bawah naungan langit biru cerah.
Di pekarangan belakang rumah Pak Lani, beberapa orang termasuk Bu Yani, wanita Jawa yang sudah 20 tahun tinggal di Wamena, memisahkan buah kopi yang anggun dari yang buruk di bejana berisi air. Buah yang anggun tidak mengambang di permukaan air, kemudian dimasukkan ke mesin pulper untuk dikupas kulitnya. Setelah itu masih ada beberapa tahap pengolahan biji kopi hingga proses pengeringan, tidak selesai dalam sehari saja.
|
Proses memilah buah kopi yang anggun dan yang buruk (ada udara di dalam, mengambang di permukaan air). |
|
Mengupas kulit kopi dengan mesin pulper. |
Keesokan paginya kami kembali naik pesawat ke Jayapura. Waktu kami di Wamena hanya dua hari itu saja. Dua hari yang kebanyakan kami habiskan di seputar urusan kopi. Bentang alam yang indahnya tak terwakili hanya dengan foto-foto jepretan saya, menjadi bonus istimewa. Dua hari untuk menikmati dan menjelajahi Wamena, atau Lembah Baliem lebih tepatnya, tentu tidak cukup. Seperti pada perjalanan-perjalanan menyenangkan lainnya, saya akhiri perjalanan Wamena dengan keinginan sanggup kembali lagi ke sana.
Baca juga dongeng saya perihal bagaimana kopi Wamena telah mengubah perilaku saya perihal kopi, di sini.
|
Di antara dua honai. |
|
Membawa hasil bumi di dalam noken. |
|
"But first, let me take a selfie.." LoL. |
|
Kopi sedang dijemur di distrik Pyramid. Saya lupa nama desanya. |
|
Mengaso sejenak sesudah panen kopi di Walesi. |
|
Para petani kemudian lalang di jalanan Walesi. |
|
Motulz menunjukkan hasil foto ke Pak Elyas. |
|
Pak Lani di depan sangkar babi dan honai di Kurulu. |
|
Di depan pagar suatu kompleks honai di Kurulu, bersama Januarius yang sering dipanggil Dian. |
|
Bapa Horame Marian, kepala suku Marian. "Mahkota"-nya ia buat sendiri, dan koleksinya ada 5 macam. |
|
Distrik Pyramid. |
|
Bu Yani, selain sebagai petani kopi Wamena, ia juga membantu di Posyandu. |
|
Babi-babi bebas berkeliaran. |
|
Bapa Elyas, petani ubi dan kol. Baru dari foto ini saya ngeh satu ruas jarinya hilang. Mungkin lantaran budaya 'potong jari', untuk menunjukkan rasa kehilangan seorang terkasih yang meninggal. |
|
Model lain pagar khas Wamena. |
|
Kapan lagi menghirup udara sebersih di Wamena? |
|
Pagi yang mendung, semendung hati saya lantaran harus meninggalkan Wamena. Cieee. |
Tidak ada komentar