Lewat tengah hari kereta yang kami tumpangi dari Litochoro hingga di Kalabaka. Setelah menaruh tas di penginapan, kami berniat pribadi jalan-jalan melihat gugusan bebatuan Meteora. Tapi begitu saya membuka pintu balkon kamar,
oh my! Tatapan mata pribadi beradu dengan tebing kerikil yang megah. Maka kami putuskan untuk
bersantai di balkon sambil menikmati pemandangan ini.
“Majestic, ya. Kayak di Lembah Harau,” seloroh Diyan.
Duh! Sudah jauh-jauh ke Yunani, masa’ pemandangannya disamakan dengan
Lembah Harau di Sumatera Barat? Tapi, ya, memang mirip, sih. Waktu di Lembah Harau pun penginapan kami berlatarkan tebing prasejarah menyerupai ini. Hanya, Meteora ini gugusan batunya lebih megah, areanya lebih luas, dan menyangga biara-biara yang sudah berusia sekitar 7 abad.
Sunset Rock Meteora
Tujuan pertama kami setelah puas bermalas-malasan di balkon kamar yaitu Sunset Rock. Dengan motor sewaan yang diantarkan ke hotel, kami ngegas ke titik pandang yang mainstream ini. Ngegas bukan menyerupai orang marah, tapi memang tempat ini elevasinya cukup tinggi. Saat kami sampai, sudah ada beberapa orang turis sedang berfoto dan duduk-duduk di sana. Padahal, waktu itu masih beberapa jam menuju waktu matahari terbenam.
Sore itu langit agak kelabu. Namun pemandangan Meteora indahnya bukan main. Terhampar susunan tebing kerikil alami yang mencuat dari tanah setinggi hingga 400 meter, berselang-seling dengan pepohonan lebat dan biara di atas tebing, berlatarkan pegunungan. Lucunya, sebagian tebing yang lonjong dan panjang mengingatkan saya pada se’i, daging asap khas Kupang, yang belum diiris. Padahal saya tidak sedang lapar waktu itu.
Langit semakin kelabu dan cuaca terasa makin dingin. Matahari risikonya terbenam, tapi sayangnya awan kelabu menggagalkan pemandangan yang dramatis di hari itu. Di hari berikutnya kami ke sana lagi, tapi nasib lebih buruk:
hujan semenjak sore hari.
|
Menyapa Meteora. |
|
Rasanya nggak mungkin nggak mengeluarkan kamera di Sunset Rock. |
|
Setelah puas berfoto, duduk santai menikmati pemandangan sambil ngobrol. |
Tebing Batu Meteora
Para andal geologi memperkirakan gugusan tebing kerikil Meteora mulai terbentuk semenjak 60 juta tahun yang lalu. Bentuknya yang unik diakibatkan oleh rangkaian gempa, bajir, dan terpaan angin. Di kala ke-11, mulailah para pertapa berdiam di sana, menempati gua-gua yang terkikis di dinding-dinding tebing batu.
Salah satu gua yang tertangkap oleh lensa kamera saya digantungi kain-kain berwarna-warni. Tadinya saya kira ini jemuran, tapi siapa pula yang iseng menjemur baju di gua dengan ketinggian 40 meter? Ternyata, gua ini tempat bertapa St. George the Mandilas. Legendanya adalah, St. George konon membantu seorang laki-laki Muslim yang terluka berat ketika menebang kayu di akrab pertapaannya. Untuk membalas budi, istri dari sang laki-laki hanya bisa menunjukkan kerudung padanya, yaitu satu-satunya barang berharga yang ia miliki. Maka, setiap tahun di tanggal 23 April, warga Kastraki memperingati hari St. George dengan mengutus belum dewasa muda memanjat ke gua tersebut (merekalah yang disebut ‘mandilas’) hanya menggunakan tali dan menggantungkan kain-kain berwarna-warni. Gua ini letaknya tak jauh di utara biara Meteoro.
Untuk kau yang suka memanjat tebing, bisa menyalurkan hobi tersebut di Meteora. Begitu juga dengan hiking dan trekking. Namun sebaiknya lakukan dengan pemandu alasannya minimnya penunjuk arah yang jelas.
|
Tebing-tebing berbentuk se'i. |
|
Gua tempat St. George bertapa. |
|
Tebing kerikil menjadi latar kota Kalampaka. |
Biara-Biara Meteora
Tebing-tebing kerikil Meteora memang spektakuler. Tapi ada yang lebih spektakuler lagi, yaitu biara-biara yang didirikan di atas tebing-tebing itu semenjak kala ke-14 hanya dengan peralatan seadanya! Hanya tangga yang dipindah-pindahkan dan tali pengerek ember. Tangga yang ada kini gres mulai dibentuk semenjak tahun 1920-an. Biara-biara yang seolah “menggantung di udara” ini, menyerupai arti dari kata “meteora”, didirikan alasannya para pertapa merasa terancam dengan serangan dari bangsa Turki di bawah kuasa kekaisaran Bizantium. Maka mereka membangun biara yang sulit dicapai musuh biar bisa hidup dan beribadah dengan aman.
Sepertinya sakti sekali para pendeta Orthodox ini. Bayangkan. Dengan peralatan yang jauh lebih sederhana daripada pembangunan jembatan LRT yang belum selesai saja sudah ambruk, mereka bisa membangun 24 biara! Ya, walaupun, hingga kini hanya enam yang tersisa dan terbuka untuk turis. Keenam biara itu yaitu Megalo Meteoro (The Great Meteoron), Varlaam, Roussanou, Agios Nikolaos Anapafsas, Agios Stefanos, dan Agiatrias (Holy Trinity).
Dari semua biara, hanya beberapa yang sempat kami kunjungi, yaitu Meteoro, Varlaam, dan Stefanos. Meteoro yaitu biara terbesar dan tertua di kompleks Meteora monasteries. Tak heran bahwa biara ini paling ramai turis serta biarawan dan biarawati yang tiba dari kawasan lain. Saya takjub kala itu melihat barisan biarawati yang sudah bau tanah masih sigap naik turun tangga demi mencapai Meteoro untuk kunjungan ibadah. Beberapa orang dari mereka menolak untuk difoto ketika saya minta izin. Ya sudah, saya foto dari jauh saja, tidak kentara wajahnya.
Sebagian ruangan Great Meteoro dijadikan museum, yang memamerkan peralatan dapur, perlengkapan pembuatan anggur, serta jajaran tengkorak para biarawan yang pernah tinggal di sana. Dari salah satu sudut Meteoro terlihat terang Varlaam di seberang lembah, juga bertengger di atas tebing tinggi.
|
The Great Meteoro. Biara terbesar dan tertua di Meteora. |
|
Meteora juga menjadi destinasi wisata religi. |
|
Bagian tengah Meteoro. |
Agios Stefanos atau St. Stephen’s Monastery terletak paling jauh dari Kastraki tapi lebih gampang dicapai alasannya pintu masuknya berada di akrab tempat parkir, tidak perlu naik tangga menyerupai Meteoro. Biara ini didirikan pada kala ke-15 atau 16 dan didedikasikan untuk biarawati. Dulunya wanita dihentikan masuk ke biara-biara Meteora. Peraturan berubah semenjak tahun 1920 ketika para wanita warga desa sekitar membantu memadamkan kebakaran di salah satu biara.
Sedangkan Agios Nikolaos masih sepi ketika kami datangi di pagi hari. Cukup berjalan kaki alasannya letaknya hanya 400 meter dari guesthouse, tapi capek juga alasannya jalannya menanjak. Lalu naik ke biaranya pun kami harus naik tangga lagi. Ada lift sederhana di sana, yang terkesan rapuh alasannya tali kereknya terpapar jelas, tapi hanya boleh dipakai untuk keperluan biara dan pengunjung yang sudah tua.
Seharusnya kami juga ke Roussanou. Apa boleh buat, kami keasyikan menikmati pemandangan di salah satu
viewing point, sehingga telat beberapa menit saja ke Roussanou. Informasi yang kami dapatkan dari peta wisata yaitu biara ini tutup jam 17.45. Kenyataannya, ketika kami tiba pukul 17.00, gerbang sudah ditutup. Oh, sedihnya! Apalagi itu yaitu hari terakhir kami di Meteora.
|
Berbantal batu, berkasur rumput kering, berpemandangan Agios Stefanos. |
|
Agios Nikolaos dan liftnya di ketika hujan. |
|
Hanya bisa memandangi Rossanou dari balik pagar. Hiks. |
Kenapa ke Meteora?
Meteora mungkin tidak sepopuler pulau Santorini atau Athena sebagai tempat wisata, tapi ia mempunyai daya tarik yang berbeda dan sulit untuk dibandingkan. Ketika mengetahuinya dari blog
Kak Febi pada tahun 2014, kami pribadi memasukkannya ke daftar destinasi trip Yunani. Ketika melihatnya langsung, benar-benar berada di sana, rasanya kemampuan saya berkata-kata atau menulis tak sanggup menceritakan dengan adil wacana keindahan, kemegahan, dan ketentraman Meteora. Jika kau punya kesempatan ke Yunani, saya sangat menyarankan untuk ke Meteora alasannya ini yaitu destinasi yang sangat langka sekaligus menakjubkan.
|
Walaupun sunset kelabu, tetap bahagia melihat pemandangan epic Meteora. |
|
Barisan biarawati sehabis ibadah menuruni Meteoro. |
Travel Info Meteora
Transportasi ke Meteora yang saya gunakan yaitu kereta dari Litochoro ke Kalampaka, transit di Paleofarsala, total durasi 2-3 jam. Dari stasiun Kalampaka naik taksi menuju hotel di Kastraki, pinggiran kota yang terdekat dari Meteora. Dari Meteora kami menuju ke Athena dengan kereta selama 5 jam.
Selama di Kalampaka dan Meteora, kami menyewa motor dengan harga 20 euro / hari, bensin sekitar 5 euro / hari.
Tersedia bus wisata dari Kalampaka untuk keliling Meteora dan berhenti di semua biara. Namun saya lupa jadwal dan harganya. yang jelas, rute bus ini melewati Guesthouse Papastathis.
Tiket masuk Meteoro 3 euro per orang, sudah termasuk Agios Stefanos. Sedangkan masuk ke Agios Nikolaos kami tidak diminta membayar sepeserpun.
Entah mengapa, pengunjung wanita diminta menggunakan kain lilit atau rok panjang yang sudah disediakan. Padahal saya mengenakan celana panjang ke semua biara itu. Baju atasan saya cukup tertutup alasannya mengenakan jaket, dan tidak diminta melapisinya dengan kain mereka lagi. Sedangkan Diyan tidak perlu menggunakan kain tambahan.
Akomodasi banyak tersedia di Kalampaka dan Kastraki. Tempat kami menginap yaitu Guesthouse Papastathis di Kastraki, 50 euro / malam.
Tempat makan tersedia di sekitar penginapan, tapi kami lebih suka jajan di Kalampaka. Dari cemilan loukumedes hingga gyros dan pasta banyak pilihannya di downtown.
Tidak ada komentar