Bisa dibilang, Lasem yaitu wisata pintu. Pintu-pintu kuno berwarna-warni di antara tembok-tembok tinggi yang menghiasi kota kecil di Pantura ini sangat mengundang wisatawan untuk menjadikannya objek foto. Di balik pintu-pintu itu terdapat rumah-rumah tua, rumah-rumah yang sudah direnovasi, rumah-rumah yang sudah beralih fungsi menjadi daerah bisnis, dan aneka macam kisah kehidupan warga dari masa imigran Tiongkok gres tiba ke Lasem, melewati masa penjajahan Belanda, hingga kini.
Salah satu rumah yang menjadi ikon kota Lasem yaitu Tiongkok Kecil Heritage, yang lantaran fasadnya dicat merah maka dikenal juga sebagai Rumah Merah. Rumah ini dibangun pada tahun 1860an, kini sudah beralih kepemilikan pada Pak Rudy Hartono, seorang pengusaha besar di sana. Rumah Merah kini berfungsi sebagai penginapan yang areanya tersambung dengan toko batik, kedai, dan museum batik kecil.
Rumah Merah sedang dalam proses registrasi untuk status situs warisan dunia UNESCO. Oleh alasannya yaitu itu, mereka nggak bisa melaksanakan banyak perubahan pada struktur bangunan. Maka nggak ada kamarnya yang dilengkapi dengan kamar mandi dalam. Cuma ada 4 kamar mandi/toilet di halaman belakang, bersahabat sumur kuning, terpisah dari bangunan utama. Jadi, untuk yang penakut dan suka terbangun tengah malam untuk buang air kecil, mungkin kau harus membangunkan teman sekamar untuk menemani ke kamar mandi.
Rumah bau tanah lainnya yang juga sering menjadi kunjungan para turis yaitu Rumah Tegel. Ini rumah milik keluarga Lie Thiam Kwie, pengusaha tegel ngehits di awal masa ke-20. Pabrik tegelnya berdiri di tahun 1910, dibangun di halaman belakang rumahnya. Jadi, rumahnya sendiri mungkin sudah lebih tua.
Waktu ke sana, kami bertemu dengan Bu Liu, perempuan uzur yang lebih sering tinggal di Semarang. Ia cucu dari Lie Thiam Kwie, dan ia bercerita cukup banyak perihal kisah rumah dan pabrik mereka yang sering disebut Pabrik LZ (berasal dari kata Leipzig, sebuah kota di Jerman daerah asal mesin dan materi pembuatan tegel mereka). Singkat cerita, masa kejayaan LZ sudah lewat jauh, cuma Bu Liu dan suaminya yang mau meneruskan perjuangan itu. Sekarang produksi tegel hanya bila ada pesanan, itupun nggak optimal lantaran beberapa mesinnya sudah rusak dan mereka nggak bisa beli penggantinya.
Bu Liu juga bilang bahwa ia harus bikin perjuangan lain di Semarang untuk menyambung hidup. Pabrik LZ sudah nggak menguntungkan, malah kadang ia harus nombok. Nggak heran bahwa kondisi rumahnya kurang terawat. Perabotan ketara sekali tuanya dan terlihat kusam, halaman belakang yang super luas pun berantakan.
Layaknya sebuah pecinan, tentu ada kelenteng. Dari beberapa kelenteng yang ada di Lasem, kami hanya sempat mengunjungi Cu An Kiong, letaknya di sebelah Rumah Candu Lawang Ombo. Ini yaitu kelenteng tertua di Lasem dan mungkin di Pulau Jawa, juga mungkin didirikan pada masa ke-16. Sejujurnya saya sudah agak bosan berwisata ke kelenteng, tapi bentuknya tetap menarik untuk disketsa. Salah satu hal yang menarik bagi saya di dalam kelenteng ini yaitu kisah bergambar di dinding, ibarat komik. Sayangnya pemandu kami waktu itu nggak bisa menjelaskan apa-apa perihal gambar tersebut.
Wisata pecinan Lasem, yang berpusat di area Karangturi, memang semakin dikenal luas. Tapi bahwasanya Lasem juga dikenal sebagai kota santri. Selama 4 hari kami jalan-jalan di sana, sering sekali kami berpapasan dengan warga beratribut islami. Salah satu tokoh masyarakat yang disegani di sana yaitu Gus Zaim, pendiri pesantren Kauman yang berlokasi di Karangturi.
Lalu ada juga pesantren Pondok Bodoh Al Frustasiyah yang punya konsep unik, dari segi pendidikan agamanya maupun arsitekturnya. Namanya pun unik, ya. Menurut seorang penghuni pesantren yang kami temui waktu saya sketching di sana, memang banyak orang yang tiba ke sana lantaran merasa frustrasi dengan kehidupan, sudah mentok dan nggak tahu mesti ngapain lagi.
Pintu-pintu Lasem mungkin gres terekspos kecantikannya semenjak Instagram naik daun. Sebelum itu, Lasem jauh lebih dulu dikenal sebagai kota batik dengan motif dan warna merah darah ayamnya yang khas. Batik khas Lasem biasanya bermotif penuh. Motif-motif bunga, binatang ibarat naga dan ikan juga sering muncul.
Selain itu, batik tiga negeri juga merupakan tipe batik yang banyak dicari orang di Lasem. Bisa dibilang, batik tiga negeri merupakan simbol akulturasi budaya lantaran proses pewarnaannya melibatkan tiga kota, yaitu Lasem, Solo dan Pekalongan. Selembar kain batik yang sudah digambar kemudian dikirim antar tiga kota ini untuk diwarnai dengan warna khas masing-masing kota; merah darah ayam di Lasem, biru indigo di Pekalongan, dan cokelat sogan di Solo. Nggak kebayang, waktu belum ada kendaraan beroda empat atau kereta, proses pembuatan selembar kain saja makan waktu berapa lama, ya?
Secara umum kami bukan penggemar masakan Jawa. Dua macam masakan yang katanya harus dicoba di Lasem, kami coba; lontong tuyuhan dan sate serepeh. Lontong tuyuhan ibarat lontong ayam opor, tapi lebih gurih dan lebih light. Sate serepeh, saya galau menjelaskan rasanya. Keduanya bisa kami nikmati, tapi bukan kuliner yang akan kami cari-cari lagi. Malah, masakan cumi hitam dan pedas di Warung Bu Tri yang buat saya paling enak, tapi rasanya itu bukan khas Lasem.
Di luar rasa makanan, kami paling suka makan di Warung Mbak Marem lantaran suasananya. Warung nasi kecil ini berlokasi di pinggir jalan besar, dengan salah satu meja panjang yang menghadap jendela. Jadi, sambil makan bisa sambil ngelihatin orang-orang yang lalu-lalang dengan aneka macam aktivitasnya. Saya bahkan sempat mencuri dengar ceramah perihal tugas bagaimana perempuan Islam seharusnya bersikap dari TV yang ada di kios bensin depan warung, yang sedang disimak oleh ibu berjilbab penjaganya.
Dua hari berturut-turut kami sarapan di Warkop Jenghai. Warkop ini populer dengan ampas kopinya yang lembut, sehingga bisa dijadikan materi untuk menggambar di rokok. Kegiatan ini dikenal dengan ‘ngelelet’. Saya mencoba ngelelet, ternyata nggak semudah kelihatannya. Tapi saya nggak mencoba kopinya lantaran memang saya nggak tahan minum kopi. Ketan bumbunya yang terkenal, baiklah juga. Yang paling asyik di sana yaitu mendengarkan percakapan bapak-bapak yang juga sedang sarapan, ngalor ngidul dari topik yang serius hingga berandai-andai jadi anak jendral, dilatari ramainya cuitan burung.
Di samping budaya dan kuliner, Lasem juga punya wisata alam. Pantai Caruban yaitu salah satu yang terkenal, tapi kami nggak sempat ke sana. Karena Lasem panasnya bukan main, kami lebih menentukan untuk ngadem di bawah pohon trembesi raksasa yang sudah berumur sekitar 200 tahun. Lokasinya tidak mengecewakan jauh dari sentra kota Lasem dan susah mencarinya di Google Maps. Setelah salah belok beberapa kali, kesudahannya kami hingga juga di sana.
Sejuknya angin yang bertiup sepoi-sepoi, ditambah lagi hari memang sudah sore, menciptakan kami ingin rasanya berlama-lama di sana. Tapi lantaran kami harus melalu jalan setapak di tengah-tengah persawahan tanpa lampu, kami memutuskan untuk segera kembali ke kota sebelum langit benar-benar gelap. Lagipula, motor sewaan harus dikembalikan paling telat jam 6 sore ke Rumah Merah!
Tulisan ini saya bikin hanya menurut tempat-tempat yang saya gambar di sana. Sehabis ini, mungkin saya akan menuliskan itinerary yang kami jalani selama di Lasem, beserta how to get where dan where to sleepnya. Semoga sempat!
Tidak ada komentar