Ads

Ads
Menu
Travel Agent Penyedia Info Wisata

Sejarah Kelam Seputar 'Death Railway' Di Kanchanaburi, Thailand




Lintasan kereta yang mematikan bagi para pembangunnya.


Di tengah-tengah tripBangkok yang lalu, saya menyempatkan untuk melipir ke Kanchanaburi  selama dua hari satu malam. Detour  ini dipicu oleh film The Railway Man yang saya tonton sebelumnya. Film yang dibintangi oleh Collin Firth dan Nicole Kidman ini berkisah wacana pengaruh traumatis dari penyiksaan tahanan perang Sekutu oleh Jepang yang terjadi di Thailand, khususnya di Kanchanaburi. Seperti yang kita tahu, tentara Jepang kalau menyiksa sanggup sangat sadis. Itu pula yang terjadi di Kanchanaburi di sekitar tahun 1942-1943, dan ini ialah kisah nyata.

Perjalanan dari Bangkok ke Kanchanaburi naik kendaraan beroda empat memakan waktu sekitar 2,5 jam. Tujuan pertama di sana ialah jembatan sungai Khwai Yae. Jembatan ini berfungsi sebagai rel kereta, juga penyeberangan untuk pejalan kaki. Ia terkenal tanggapan sejarahnya yang pernah dua kali dibom oleh Sekutu. Mungkin bagi wisatawan Indonesia situs ini kurang populer, tapi sudah banyak sekali wisatawan di sana yang tiba dari banyak sekali negara.


Dari stasiun Kanchanaburi saya naik kereta renta tujuan Nam Tok. Rute Kanchanaburi-Nam Tok ini tersedia untuk penumpang umum maupun wisatawan. Kereta khusus wisata berangkat pada jam 10.46, tiketnya 300 baht per orang, dan masing-masing menerima makanan ringan dan minuman. Sedangkan kereta untuk umum ada banyak jadwal keberangkatan, tiketnya hanya 100 baht per orang tanpa camilan, dan kalau sedang ramai sanggup tidak kebagian daerah duduk.


Kehidupan di atas, bawah, dan sekitar rel kematian.

Liburan bersama orang tua, abang dan keponakan-keponakan.

Setelah keluarga kembali ke Bangkok, saya dan Diyan ke jembatan lagi esok harinya,
biar saya ada waktu untuk menggambar.


Seingat saya, kereta kayu ini bukan orisinil dari tahun 1940-an, tapi sengaja dibentuk sekuno itu. Lajunya lambat; butuh sekitar 2 jam untuk menempuh jarak 59 km. Tapi alasannya ialah itu kita sanggup puas menikmati pemandangan alam di sepanjang perjalanan. Dari pedesaan, lembah, gunung, sungai, hingga bukit yang dibelah, tak saya sangka sanggup basuh mata dalam trip ini. Namun ada kisah ironis di balik semua keindahan itu.

Pembangunan rel kereta ini ialah penyebab dari penyiksaan yang saya sebutkan di atas tadi.  Aslinya, rute rel kereta dari suatu kota erat Bangkok hingga Myanmar, tapi kemudian disisakan sebagian saja di dalam negeri Thailand alasannya ialah alasan keamanan negara. Pekerjanya terdiri dari romusha (termasuk dari Indonesia) dan tentara Australia, Inggris, dan Belanda yang merupakan tawanan perang kala itu. Proyek yang seharusnya diselesaikan dalam waktu 6 tahun dipaksa harus kelar dalam 1,5 tahun oleh Jepang. Sadis, nggak tuh. Walhasil, sekitar 90.000 romusha dan lebih dari 12.000 tahanan perang tewas. Gimana nggak. Mereka dipaksa bekerja dengan alat tidak memadai (misalnya membelah bukit kerikil pakai alat cukil manual!), diberi waktu istirahat yang sangat minim, hampir tidak ada akomodasi kesehatan, ketika panas maupun hujan harus tetap bekerja, tidak diberi baju ataupun sepatu ganti, dan dieksekusi fisik kalau tertangkap lembap kerjanya lambat atau mangkir. Duh, saya heran, sanggup ada insan yang setega itu.


Perjalanan yang cukup lama, sempat foto-foto narsis.

Suasana kereta wisata.
Walaupun mendung, cuaca demam isu hujan bikin adem.


Untuk melengkapi ‘napak tilas’, terdapat beberapa taman makam para korban dan museum bertema pembangunan rel tersebut.

Yang pertama saya datangi ialah JEATH War Museum sehabis kembali lagi ke Kanchanaburi. Namanya merupakan kependekan kebangsaan para korban, yaitu Japanese, English, Australian, American dan Holland. Museum ini membuatkan lahan dengan sebuah kuil, berdiri di tepi sungai Khwae Yai. Bagian pertama museum ialah bangunan bambu yang memuat foto-foto dan lukisan-lukisan wacana kekejaman masa pembangunan rel. Dari suasana bekerja paksa hingga kondisi tahanan perang yang tinggal tulang berbalut kulit dengan luka-luka di tubuh. Miris sekali melihatnya. Di dalam museum tidak boleh memotret menggunakan gawai apapun. Harga tiket ialah 50 baht per wisawatan asing. Hari sudah terlanjur sore, saya tidak melanjutkan ke museum penggalan kedua. Saya lebih menentukan untuk menikmati suasana sungai yang tenang.


Museum JEATH.

Sekawanan biksu juga sedang santai menikmati sore.

Museum yang lebih besar, lebih terkenal, dan lebih modern ialah Hellfire Pass Memorial. Museum ini terletak sekitar 80 km di luar kota Kanchanaburi, ke arah barat maritim (makin menjauh dari Bangkok). Perjalanan ke sana melewati jalan raya yang mulus, diiringi pemandangan alam yang ciamik. Saya ke sana di hari kedua, boncengan motor dengan Diyan. Kanchanaburi di bulan Desember kala itu sedang demam isu hujan, sehingga cuaca sejuk. Naik motor 1,5 jam tanpa kendala dan menggunakan celana pendek tidak mengecewakan menciptakan saya kedinginan di sepanjang perjalanan.

Masuk ke Hellfire Pass Memorial gratis, tapi pengunjung diperlukan mengisi kotak donasi. Sepatu harus dilepas sebelum masuk ke gedung, menyerupai masuk ke masjid. Audio guide disediakan, juga secara cuma-cuma. Hellfire Pass Memorial ini terdiri dari dua bagian, yaitu museum dan trek bekas rel kereta di belakangnya.

Di dalam museum terpampang foto-foto dan benda-benda dari masa pembangunan rel. Kelamnya menyerupai dengan di JEATH, apalagi pencahayaan dibentuk temaram. Hal-hal yang diceritakan di panduan audio banyak yang mengulang keterangan foto atau diorama, jadi saya pikir panduan ini lebih bermanfaat untuk didengarkan di trek rel.

Hellfire Pass Memorial Museum

Prisoners Constructing a Railway Bridge oleh Murray Griffin

Replika radio buatan para tahanan perang, yang mereka bikin untuk mencari info wacana keadaan perang.


Panjang trek totalnya 4 km, terdiri dari 19 poin dalam panduan audio. Tapi alasannya ialah waktu yang terbatas, saya cuma sempat berjalan setengah rute. Di sepanjang trek, pepohonan menaungi jalan setapak dengan rapi. Kira-kira 300 meter dari titik awal, sampailah saya di Hellfire Pass. Inilah bukit kerikil setinggi 12 meter yang dibelah oleh para pekerja paksa dengan peralatan minim. Di poin ini juga paling banyak bertumbangan korban jiwa. Di dinding kerikil dan pohon yang tumbuh di dekatnya tersemat beberapa bendera kecil, boneka, dan pernak-pernik lain sebagai tanda hormat bagi para pekerja paksa. Hellfire Pass Memorial sendiri awalnya diprakarsai oleh pemerintah Australia, atas wangsit dari J G “Tom” Morris, seorang tahanan perang berkebangsaan Australia yang selamat sehabis proyek jahanam itu.

Pernak-pernik penghargaan untuk para korban rel kematian.

Poin audio guide yang menjelaskan wacana patahan besi yang masih tertanam di dalam batu.

Rute trek meliputi poin yang mengharuskan kita naik turun tangga.


Walaupun Kanchanaburi identik dengan sejarah ‘rel kematian’, wisata kota ini terasa hidup. Di Jalan Maenamkwai, erat Airbnb Frosty Homestay daerah saya menginap, berjajar restoran, kafe, dan lapak-lapak kerajinan tangan. Di malam hari sebagian daerah ingar-bingar dengan musik pop. Pasar malam, yang berlokasi di erat terminal bus Kanchanaburi, menjajakan macam-macam, dari sushi hingga cengdem, dan semuanya murah (satu sushi cuma 5 baht, tapi rasanya, ya, ala kadarnya). Sedangkan wisata alam yang sempat saya datangi hanya teladas Sao Yak Noi, tak jauh dari stasiun Nam Tok. 

Pasar malam Kanchanaburi.

War Cemetery, hanya 5 menit naik kendaraan beroda empat dari JEATH Museum.

Air terjunnya biasa saja, tapi bahagia juga celap-celup kaki di air dingin.

Cocok untuk wisata keluarga.

Kota Kanchanaburi di sore hari.

Dilihat dari Bridge on the River Kwai.

Sungai Khwai Yae.

Membeli tiket wisata di pinggir rel. 


Awalnya saya ragu mengajak bawah umur kecil ini ke Kanchanaburi.
Ternyata mereka bahagia alasannya ialah banyak pengalaman baru.

Kereta tidak ber-AC, hanya ada kipas angin. Jendela terbuka lebar, malah sulit untuk ditutup.

Diyan di hari ulang tahunnya, menerima "kado" perjalanan yang sudah sangat diinginkannya.

Liburan keluarga, sesuatu yang sudah jarang saya lakukan.

Si history freak di dunianya.

Paku besi menyerupai ini juga dijual sebagai suvenir. Ada yang menjual dengan harga 500 baht dan sudah dibingkai.

Ada semacam balkon di sisi-sisi rel, untuk orang melipir kalau kereta lewat.

Jembatan yang sudah beberapa kali direnovasi.

Mendengarkan audio guide sambil membayangkan apa yang benar-benar terjadi di Hellfire Pass.

Perjalanan dari Bangkok ke Kanchanaburi. Van dengan kapasitas 12 orang, kami hanya ber-8 plus supir. Lega!

Van-van siap mengantar pejalan di terminal bus.












Tidak ada komentar