Pengaruh Luar
Secara kultural orang Manggarai bergotong-royong sangat bermacam-macam lantaran terdiri dari sub-sub suku yang beragam. Seperti telah kami jelaskan pada kepingan pertama, keberagaman ini diakibatkan oleh lantaran interaksi yang intensif antara orang Manggarai “asli” dengan penduduk luar. Sehingga lebih sempurna kalau dikatakan orang Manggarai ialah sebuah melting pot, sebuah masyarakat homogen yang terbentuk dari heterogenitas di masa kemudian yang berubah secara perlahan menjadi satu kesatuan yang harmonis.
Sejatinya, orang Manggarai “asli” tidak mengenal sistem kerajaan. Sistem itu diperkenalkan oleh suku
pendatang yang menguasai Manggarai, mulai dari Kesultanan Bima, Kesultanan Goa sampai penjajah Belanda.
Sejatinya, orang Manggarai “asli” tidak mengenal sistem kerajaan. Sistem itu diperkenalkan oleh suku
Keanekaragaman tenun ikat Manggarai |
Beberapa sumber menyampaikan bahwa sejak abad ke-11 daerah Manggarai telah menjadi rebutan antara kesultanan Bima dari Sumbawa dan Kesultanan Gowa dari Sulawesi. Meskipun secara faktual kekuasaan abnormal ini hanya terjadi di pesisir namun pengaruhnya merasuk sampai ke seluruh daratan Manggarai. Dewasa ini, efek itu meninggalkan jejak-jejaknya dalam bentuk struktur kekuasaan, gelar-gelar kebangsawanan dan bahasa ( kata-kata ).
Kesultanan Bima menancapkan pengaruhnya atas orang Manggarai di wilayah selatan sampai barat daya, utamanya masyarakat Todo dan Kempo. Sementara kesultanan Goa menancapkan pengaruhnya di kepingan barat sampai utara Manggarai. Kuatnya efek itu tetap terasa sampai ketika ini, mulai dari Labuan Bajo sampai Cibal di utara pedalaman Manggarai. Sementara itu, di Reok dan Pota, dua kota kecil di pantai utara ketika Kesultanan Bima masih berjaya, ditempatkan perwakilan kesultanan Bima. Saat ini, efek Bima bahkan menjalar sampai Riung. Itulah sebabnya Riung, walaupun secara administratif masuk dalam wilayah pemerintahan kawasan Ngada, namun secara kultural lebih erat dengan orang Manggarai timur laut.
Baik kesultanan Bima maupun Goa mempunyai vested interest atas tanah Manggarai. Karena itu, taktik mereka sama. Untuk mempermudah pengontrolan, wilayah Manggarai dibagi dalam kantong-kantong kekuasaan kecil berdasarkan sub sukunya. Kantong-kantong kekuasaan itu disebut dalu. Pada zaman kekuasaan Bima dan Goa, kawasan Manggarai dikelompokkan dalam 39 dalu. Tiap dalu terdiri dari sejumlah kawasan khusus yang disebut glarang, dan setiap glarang terdiri dari sejumlah desa.
Serupa dengan dalu, setiap glarang biasanya juga dikuasai oleh suatu klen mayoritas yang menganggap dirinya bangsawan. Menurut sistem pemerintahan kerajaan, beberapa glarang berada di bawah kekuasaan dari suatu dalu. Sistem perkawinannya sama ibarat sistem perkawinan dalu.
Contoh Glarang dari Cibal di pada zaman Belanda |
Kesultanan Bima dan Goa mempunyai efek yang sangat berpengaruh terhadap Manggarai. Pengaruh itu sudah berlangsung ratusan tahun. Sejak era ke-17, kesultanan Goa tidak hanya menguasai Manggarai kepingan selatan sampai Barat Daya tetapi seluruh Manggarai. Dengan sistem kedaluan yang dibangun, orang Manggarai diwajibkan menyetorkan upeti. Goa juga menancapkan pengaruhnya secara kultural dalam bentuk baju bodo dan pengistilahan Dewa Tertinggi Mori Kraeng. Sehari-hari, Kraeng juga digunakan sebagai gelar para bangsawan. Istilah ini tentunya mengingatkan kita pada gelar kebangsawanan pada suku Makasar, yaitu Kraeng atau Daeng.
Pada tahun 1722 terjadi negosiasi antara Sultan Goa dan Bima . Sebagai hasil negosiasi itu, daerah Manggarai diserahkan kepada Sultan Bima sebagai mas kawin. Tidak terlalu usang kemudian kesultanan Bima menguasai seluruh daratan Manggarai ketika Cibal dikalahkan dalam peperangannya dengan Todo.
Kesultanan Bima bahkan memperluas pengaruhnya sampai ke Rongga dan memasuki wilayah suku Ngadha sebelum munculnya perjanjian yang dilakukan di Watu Jaji. Namun letusan gunung Tambora yang meluluhlantakkan pulau Sumbawa tahun 1815 berdampak pula pada kekuasaan Bima di Manggarai. Manggarai menjadi “daerah tak bertuan.” Keadaan ini dimanfatkan beberapa kedaluan besar untuk mengambil-alih kekuasaan itu. Terjadilah kudeta antaran kedaluan Todo dengan kedaluan Cibal. Perebutan yang terjadi lewat peperangan itu akibatnya dimenangkan oleh kedaluan Todo.
Kedaluan Todo tidak menikmati kekuasaan itu dalam waktu lama. Belanda yang masuk dari timur, yaitu dari Ende di Flores tengah akibatnya menguasai Manggarai dalam tiga kali ekspansi, yaitu tahun 1850, 1890 dan 1905. Belanda pun meneruskan struktur manajemen kekuasaan peninggalan penguasa tardahulu.
Walaupun efek kesultanan Bima dan Goa begitu kuat, namun secara tradisional stratifikasi masyarakat Manggarai terbagi atas 3 golongan, suatu hal yang juga ditemukan pada suku-suku lain di Flores, terutama pada masyarakat Ngada. Struktur ini pula digunakan oleh penjajah dengan sedikit modifikasi untuk menguasai Manggarai dalam waktu yang usang ibarat sudah kami paparkan di atas. Lapisan pertama disebut orang kraeng terdiri dari bangsawan dan orang berkuasa, lapisan kedua disebut ata lehe terdiri dari petani dan pedagang dan lapisan ketiga disebut orang budak terdiri dari para tawanan perang dan orang yang tidak bisa membayar hutang.
Struktur Sosial Orang Manggarai
Orang Manggarai ialah masyarakat yang sangat komunal. Mereka sangat menekankan korelasi kekerabatan dan persaudaraan. Keluarga inti yang terdiri dari bapak, ibu dan bawah umur disebut Cak Kilo. Perluasan Cak Kilo yang membentuk keluarga luas, berdasarkan tingkat keturunan terbagi atas dua, yaitu klan sedang yang disebut Panga dan klen besar yang disebut Wau.
Orang Manggarai ialah masyarakat yang sangat komunal. Mereka sangat menekankan korelasi kekerabatan dan persaudaraan. Keluarga inti yang terdiri dari bapak, ibu dan bawah umur disebut Cak Kilo. Perluasan Cak Kilo yang membentuk keluarga luas, berdasarkan tingkat keturunan terbagi atas dua, yaitu klan sedang yang disebut Panga dan klen besar yang disebut Wau.
Orang Manggarai yang menganut garis keturunan patrilineal juga mengenal beberapa sistem kekrabatan. Untuk kekerabatan yang lebih luas - Wau, orang Manggarai mengenal beberapa bentuk kekerabatan, yaitu; turunan dari abang disebut Wae Tua, turunan dari adik disebut Wae Koe, turunan keluarga ibu disebut Ana Rona, turunan dari saudarai wanita disebut Ana Wina.
Sedangkan untuk kekerabatan yang lebih sempit, yaitu pada garis keturunan tingkat dua, orang Manggarai mengenal beberapa konsep untuk menjelaskan korelasi kekerabatan itu, yaitu; Saudara pria ibu disebut Amang, saudari bapak disebut Inang, adik pria bapak disebut Ema Koe, kakak pria dari bapak disebut Ema Tua, adik ibu disebut Ende Koe, abang ibu disebut Ende Tua.
Struktur compang yang sudah tidak utuh lantaran kebikan yang salah |
Compang atau perkampungan orang Manggarai biasanya dibangun di atas bukit. Hal ini memang disengaja untuk mempertahankan diri dari serangan suku lain.
Compang atau kampung tradisional Manggarai berbentuk bulat dengan rumah saling berhadapan. Bentuk bulat compang ini mengandung makna keutuhan atau kebulatan; bahwa warga kampung itu merupakan suatu kebulatan atau kesatuan yang utuh. Secara umum, compang terdiri atas tiga bagian, yaitu; pa’ang (bagian depan – merupakan gerbang kampung), ngandu (pusat di mana ditanami pohon dadap atau pohon beringin dan altar pemujaan nenek moyang yang dibentuk dari tumpukan kerikil yang di atasnya terdapat kerikil datar sebagai tempat sesaji untuk arwah nenek moyang), dan ngaung atau musi (bagian belakang kampung).
Compang atau kampung tradisional Manggarai berbentuk bulat dengan rumah saling berhadapan. Bentuk bulat compang ini mengandung makna keutuhan atau kebulatan; bahwa warga kampung itu merupakan suatu kebulatan atau kesatuan yang utuh. Secara umum, compang terdiri atas tiga bagian, yaitu; pa’ang (bagian depan – merupakan gerbang kampung), ngandu (pusat di mana ditanami pohon dadap atau pohon beringin dan altar pemujaan nenek moyang yang dibentuk dari tumpukan kerikil yang di atasnya terdapat kerikil datar sebagai tempat sesaji untuk arwah nenek moyang), dan ngaung atau musi (bagian belakang kampung).
Mbaru gendang - sebuah bangunan beratap kerucut yang hampir menyentuh tanah |
Secara umum, Mbaru Gendang ialah sebuah rumah dengan atap seperti kerucut yang menerus hingga mendekati tanah. Materialnya terdiri dari kayu sebagai kerangka rumah yang disatukan yang dengan tali enau. Bahan atapnya diambil dari alang-alang atau daum rumbia.
Compang Wae Rebo - sebuah copang khas Manggarai yang masih utuh |
Mungkin sudah waktunya compang-compang yang ada itu merevitalisasikan dirinya lantaran hal itu bukan sekedar romantisasi masa kemudian tetapi terkait dengan eksistensi orang Manggarai sendiri. Identitas orang Manggarai bukan hanya terkait dengan pengetahuan wacana siapa dirinya dan dari mana asal-usulnya tetapi juga dengan segala artibut yang melengkapinya. Hanya dengan cara ibarat itu, Manggarai yang kaya akan potensi pariwisata sanggup menjadi pemain utama di tanahnya sendiri.
Sumber: Dari banyak sekali sumber.
Sumber https://pariwisata-tourisme-flores.blogspot.com
Sumber: Dari banyak sekali sumber.
Tidak ada komentar