- PERANG biasanya identik dengan kebencian, darah, dan kematian. Tapi "Perang Topat" di Lombok, Nusa Tenggara Barat, justru menjadi simbol persaudaran dan kebersamaan antar umat Islam dan Hindu di sana.
Bentuk Perang Topat Lombok Barat |
Iring-iringan perempuan membawa ribuan topat atau ketupat sebelum perang topat dimulai. Topat-topat ini yang menjadi amunisi dalam perang topat di Lombok.". Setelah isyarat perangpun dimulai, dua kelompok itu pun mulai saling lempar. Suasana makin hiruk-pikuk, mereka berlarian menghindari lemparan lawan, lalu megambil posisi untuk kembali melempar lawan. Perang biasanya identik dengan kemarahan dan kekerasan berupa bentrok fisik antara dua pihak yang bersengketa.
Tapi perang topat di Lombok yang melibatkan ratusan masyarakat berbeda agama ini, justru jauh dari kesan menakutkan dan penuh kebencian. Sebaliknya, tradisi yang dilaksanakan turun temurun selama ratusan tahun di Desa Lingsar, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, itu justru memperkokoh kerukunan antara umat Muslim dan umat Hindu di sana .
Perang dimulai semenjak pukul 17.00 Wita, atau disebut rarak kembang waru (Waktunya gugur daun pohon waru di sore hari). Masyarakat percaya ketupat yang dipakai untuk saling lempar bisa membawa berkah. Usai perang, mereka akan berebutan membawa pulang ketupat sisa perang, untuk ditaburkan di sawah bagi para petani semoga subur, bisa juga ditaruh di daerah dagangan bagi para pedagang semoga laris. “Sejak leluhur, turun temurun selalu melaksanakan tradisi ini. Biasanya habis panen raya, sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan dan juga berharap semoga isu terkini tanam ini menerima kesuburan. Ini juga mempererat hubungan sosial dengan sobat Hindu.
Setiap tahun masyarakat Desa Lingsar melaksanakan perang topat di kompleks Pura Lingsar, sebuah Pura yang dibangun pada tahun 1759 pada zaman Raja Anak Agung Gede Ngurah, keturunan Raja Karangasem Bali yang sempat berkuasa di sebagian pulau Lombok pada kala ke 17 silam. Pura Lingsar terletak sekitar 9 Km arah Timur dari Kota Mataram, dan bisa dibilang bangunan Pura paling unik se-nusantara. Sebab, di dalam kompleks Pura Lingsar terdapat dua bangunan besar yakni Pura Gaduh sebagai daerah persembahyangan umat Hindu, dan bangunan Kemaliq yang disakralkan sebagian umat muslim Sasak dan masih dipakai untuk upacara-upacara ritual susila sampai kini.
Dua bangunan itu dibangun dengan arsitektur Bali , berdiri berdampingan tanpa jarak. Di depannya ada dua jabe atau pelataran halaman.
Karena keunikannya semenjak 1990-an komplek Pura Lingsar ditetapkan sebagai benda cagar budaya. Masyarakat Desa Lingsar selalu menggelar ritual perang topat pada hari ke 15 bulan ke tujuh pada penanggalan Sasak Lombok, yang disebut purnama sasih kepitu (Purnama bulan ketujuh), atau hari ke 15 bulan ke enam pada penanggalan Hindu Bali, yang disebut purnama sasi kenem (Purnama bulan keenam, umat Hindu merayakan odalan atau ulang tahun Pura Lingsar, dengan melaksanakan upacara Pujawali. Sedangkan umat muslim melaksanakan napak tilas memperingati jasa Raden Mas Sumilir, seorang penyiar agama Islam dari Demak, Jawa Tengah, yang menyiarkan Islam di Lombok pada kala 15.
Sejak siang masyarakat mulai berdatangan ke kompleks Pura Lingsar. Di Pura Gaduh, umat Hindu dipimpin pemangku Pura menyiapkan banten atau sesaji untuk persembahyangan Pujawali, sedangkan di Kemaliq umat Muslim Sasak dipimpin pengelola Kemaliq menyiapkan Kebon Odek (Bumi Kecil) yang juga sesaji berupa buah-buahan dan hasil bumi. Persiapan yang tak mungkin tertinggal, tentu saja topat atau ketupat, nasi yang ditanak dengan bungkus anyaman janur kelapa sebesar tinju orang dewasa. Topat-topat itu disiapkan warga dari masing-masing dusun di Desa Lingsar, baik dusun yang berpenghuni umat Hindu maupun dusun yang dihuni umat Muslim.
Sesaji yang sudah siap kemudian diarak mengelilingi bangunan Kemaliq dengan iring-iringan alat musik tradisional. Sementara proses iring-iringan berjalan, ribuan masyarakat setempat dan pengunjung yang tiba menunggu di halaman Kemaliq, menunggu topat dibagikan dan siap saling lempar. Topat yang sudah melewati prosesi kemudian dibagikan kepada masyarakat, sekejab perang pun dimulai, penuh kegembiraan. Tahun ini, selain pengujung lokal, banyak juga wisatawan domestik dan mancanegara yang nampak tiba ingin menyaksikan pribadi perang topat itu. “Mungkin hanya di Lingsar ini bisa ditemukan pelaksanaan program besar umat Hindu dan umat Muslim, yang dilakukan pada waktu dan daerah bersamaan.
"Prosesi iring-iringan sesajen di dalam bangunan Kemalik, yang disakralkan oleh sebagian umat Muslim di Lombok, Umat Hindu melaksanakan upacara Pujawali di Pura Gaduh untuk menghormati Batara Gunung Rinjani, Batara Gunung Agung, dan Batara Lingsar, yang merupakan manifestasi Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan umat muslim melaksanakan napak tilas mengenang jasa penyiar Islam, Raden Sumilir yang dipercaya merupakan penyiar Islam dari Demak, pulau Jawa.
Lombok Barat yang berpenghuni multietnis menjadi salah satu destinasi yang nyaman dan penuh daya tarik bagi wisatawan. “Seperti juga di India yang lebih banyak didominasi Hindu ada Tajmahal peninggalan Muslim, begitu juga di Indonesia yang lebih banyak didominasi muslim ada Borobudur dan candi-candi, tidak ada alasan tidak harmonis. Inilah kekayaan budaya, the colours of culture,” katanya. Usai perang topat, umat Hindu melaksanakan upacara Pujawali di Pura Gaduh, biasanya disertai makemit atau menjalani perenungan dengan menginap di Pura selama tiga malam. Hal yang sama dilakukan umat Muslim Sasak di Kemaliq.
Selama tiga hari itu pula, di sekitar kompleks Pura Lingsar ramai pedagang kaki lima , mulai menjakakan masakan sampai mainan anak-anak. Pengunjungnya pun bukan hanya masyarakat yang melaksanakan ritual, tetapi juga masyarakat umum dari Lombok Barat dan Kota Mataram yang berekreasi bersama keluarganya ke sana .
Inti perang topat memang hanya berlangsung kurang dari satu jam. Namun seluruh rangkaian prosesi ritualnya sudah berlangsung dua hari sebelum perang topat, dan benar-benar menggambarkan toleransi beragama antara umat Hindu dan Muslim di sana . Sehari sebelum puncak perang topat, masyarakat Lingsar melaksanakan prosesi Ngeliningan Kaok atau mengarak dua ekor Kerbau mengelilingi kompleks Pura Lingsar. Kerbau itu masing-masing disediakan oleh masyarakat umat Hindu dan umat Muslim, kemudian disembelih untuk persembahan dan dagingnya diolah dan dimakan bersama-sama. “Ini simbol toleransi. Bagi umat Hindu ternak Sapi itu suci, sedangkan bagi umat Muslim haram memakan Babi, sehingga jalan tengahnya kita gunakan Kerbau. Makanya di Pura Lingsar ini dihentikan membawa persembahan dari daging Sapi atau Babi. hanya boleh unggas atau Kerbau. Kalau dilanggar pemaliq (Akan berdampak buruk),”
Makna seluruh prosesi perang topat ialah pengungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas rejeki yang diberikan sepanjang tahun. Hal ini tak lepas dari keberadaan mata air Langser yang terletak di samping kompleks Pura Lingsar. Secara turun-temurun, masyarakat Lingsar percaya mata air itu berasal dari bekas tancapan tongkat Raden Mas Sumilir, penyiar Islam di Lombok kala ke 15. Hingga sekarang mata air Langser (Langser merupakan asal nama Lingsar), bisa mengairi pertanian bukan hanya di Lingsar saja tetapi juga sampai ke sebagian wilayah Lombok Tengah. Petani di Lingsar bahkan bisa menanam dan menanen padi sampai tiga isu terkini dalam setahun.
Tidak ada komentar