Meskipun orisinil Jember, saya jarang banget main ke tempat-tempat wisata yang ada di kampung halaman saya ini. Kalau diinget-inget, saya cuman pernah sekali main ke salah satu pantai di Jember, namanya Papuma (Pasir Putih Malika). Pantai yang kini jadi magnet wisata utama di "Kota Suwar-Suwir" ini. Saya ke sana beberapa tahun kemudian bareng temen-temen SMA. Pengen sih sebenernya keliling ke spot-spot lain di seputaran Jember. Tapi berhubung kini tinggalnya di Probolinggo, jadi lebih milih pulang ke rumah pas weekend.
Nah, beberapa hari lalu, saya balasannya sanggup kesempatan (dan juga ilham) sebenarnya ada libur tanggal merah, hari Jumat 30 Maret. Dan kebetulan yang "tidak terlalu menyenangkan" juga, saya disuruh lembur hari Sabtu-nya. Maka jadilah saya ber-ide buat jalan-jalan di Jember untuk memanfaatkan libur sehari ituh. Saya balasannya milih main ke beberapa pantai di kawasan selatan Jember. Total satu hari itu saya mampir ke tiga pantai, berhubung lokasi satu sama lain deket banget.
And yes, I’m traveling solo again! ☺️
So here where the story begins...
Jumat, 30 Maret 2018
Tujuan pertama saya waktu itu ialah Pantai Payangan dan Teluk Love. Mungkin sobat ada yang udah pernah dengar dua tempat ini ya. Udah populer juga sih di Jember. Dan mereka ini ada di satu lokasi sama, atau lebih tepatnya bersebelahan, di Desa Sumberrejo, Kecamatan Ambulu.
Saya berangkat dari kota Jember sekitar pukul 06.45 dan perjalanan menuju Payangan memerlukan waktu kurang lebih satu jam. Tentu saja lebih cepat bila menaiki motor dan mengebut. Rutenya pun sangat mudah. Ambil saja arah ke selatan (Ambulu), dan di sepanjang jalan sudah tersedia papan-papan petunjuk yang jelas. Jalanannya terbilang cukup mulus. Namun bersiaplah untuk sedikit bergoyang terkena lubang-lubang, ketika mendekati tempat tujuan.
Begitu hingga di area Payangan, tanpa tedeng aling-aling saya eksklusif “dihalau” oleh seorang bapak penjaga parkiran untuk menepikan motor. Entah itu parkiran resmi atau engga ya. Tapi saya lihat di situ ada beberapa motor yang udah parkir duluan, jadi ya saya percaya aja. Biaya parkirnya dibanderol sebesar Rp5.000.
Sepertinya bila kita berkendara terus hingga ke akrab Teluk Love (ke timur), bakal ada tempat parkir lain di sana. Tapi kata si bapak, bila kita parkir di tempat dia, kita sanggup eksklusif jalan dari Payangan ke Teluk Love tanpa harus bayar parkir lagi. Sungguh sebuah trik marketing belaka. Kerana meskipun kita parkir di mana aja, ya bakalan sama aja. Lha wong di dalam Payangan & Teluk Love kita bebas mondar-mandir.
Anyway, saya pun memasuki area Pantai Payangan.
So excited!
Namun semangat itu sirna tatkala saya di sambut oleh...
sampah!
Yup. Banyak sekali sampah bertebaran di pinggir Pantai Payangan ini. Sebuah warta yang menimpa hampir semua pantai di Indonesia.
Saya berjalan ke arah barat. Karena melihat garis pantai yang panjang, semangat untuk menjelajah dan menyusuri pantai itu pun membuncah. Namun ternyata itu hanya etok-etok belaka, alasannya pas dilihat-lihat kok ya jauh banget jaraknya. Bisa tembus ke Watu Ulo deh kayaknya. Dan bila ditambah dengan berenang sedikit, bakal hingga di Papuma. Hmmm..
Akhirnya saya balik arah dan berjalan ke arah timur. Kalau ke timur, kita akan bertemu dengan bukit, pantai, bukit lagi, pantai lagi, bukit lagi, hingga balasannya ke Teluk Love.
Namun satu kesalahan besar yang saya lakukan waktu itu adalah.... jalan-jalan di pantai pakai sepatu! Ya Allah. Telapak kaki rasanya udah kayak dioven. Belum lagi harus berhenti beberapa kali buat ngeluarin pasir.
Pemberhentian pertama saya ialah sebuah bukit kecil dengan bendera merah-putih di puncaknya. Kalau ngga salah, Bukit Seruni namanya. Dari bawah sih benderanya kelihatan kecil. tapi pas hingga puncak, gede banget lho ternyata!
Bukit Seruni ini ngga terlalu tinggi, paling 50 meter-an lah. Namun, untuk ke atasnya juga tidak mengecewakan perjuangan. Belum ada tangga-tangga yang sejati. Hanya ada tanah-tanah yang diciduk, serta batu-batu sebagai pijakan. Makara kayak setengah rock climbing gitu. Akan tetapi, semua lelah dan keringat yang kita keluarkan akan terbayar ketika mencapai puncak gemilang cahaya. Pemandangan yang tersaji di atas sungguhlah indah.
Turun dari Bukit Seruni, saya lanjut jalan ke bukit selanjutnya, yakni Bukit Samboja. Jaraknya hanya sekitar 100 meter saja ke arah timur.
Di sepanjang pantai waktu itu cukup sepi ya. Hanya ada beberapa cowok yang sedang memancing. Ada juga satu keluarga yang sedang asyik bermain air. Ada yang sedang duduk-duduk di depan warung. Makara sebenernya, tempat ini tuh sanggup jadi tujuan liburan keluarga yang cukup oke. Terlepas dari tingkat kekotoran yang agak memprihatinkan ya. Namun harus tetap berhati-hati, terutama buat adek-adek kecil, alasannya ombaknya cukup menyeramkan.
Sebelum naik ke Bukit Samboja, kita harus membayar tiket masuk sebesar Rp5.000. Di atas bukit ini, ada beberapa spot yang sanggup kita kunjungi, menyerupai Bukit Seribu Janji, Puncak Seribu Janji, Pantai Anak Panah Arjuna, Batu Buaya, Gunung Surya, & Teluk Love Sisi Utara. Sungguh kreatif ya masyarakat kita dalam pertolongan namanya. Tapi yang jelas, berdasarkan saya Bukit Samboja ini terpelihara dengan cukup baik. Bersih, dan tertata rapi. Banyak bunga-bunga (mungkin mengapa dinamakan “Samboja”, dari “Kamboja” (?)), banyak gazebo buat istirahat, ada pagar pelindung, tangga-tangga yang mumpuni, serta lampu-lampu penerangan.
Awalnya saya ngga nemu itu si "Teluk Love Sisi Utara". Karena pas di puncak bukit, saya ngga sanggup lihat bentuk "love"-nya. Sampai akhirnya, ketika saya sedang turun bukit, saya ketemu sama bapak-bapak penjaga & bapak pemotong rumput. Dari beliau-beliau inilah balasannya saya mendapatakan banyak sekali informasi. Salah satunya, ternyata Teluk Love atau Teluk Cinta itu ada dua lho! (menurut si bapak-bapak ini ya)
Saya pun scroll-scroll foto yang saya ambil dari puncak bukit tadi. Dan ketemulah itu si Teluk Love Sisi Utara! Ternyata udah saya jepret di HP, hehe..
Saya sanggup banyak kisah dari kedua bapak itu. Salah satunya wacana makam/petilasan yang ada di puncak Bukit Samboja itu. Kata bapaknya sih, itu makam keturunan kerajaan Majapahit, yang sebenernya dia sanggup jadi raja, tapi dianya ngga mau jadi raja, or something like that. Kadang-kadang ada juga pengunjung yang berziarah ke sana.
Selain itu, si bapak juga ngasih info wacana camping ground. Makara buat temen-temen yang mau buka tenda, sanggup banget nih. Ada area khusus di pinggir pantai yang disediakan buat camping. Biayanya Rp15.000 per orang, sementara untuk biaya titip motor selama 24 jam sebesar Rp6.000. Lokasi parkirnya beda sama tempat parkir saya tadi ya. Kalau di bapak tempat saya parkir itu, saya tanya Rp10.000 katanya untuk 24 jam. Makara mending parkir motornya di area Bukit Samboja aja.
Anyway, dari Bukit Samboja ini kita sanggup ngeliat satu bukit lagi, yaitu Bukit Suroyo. Bukit yang jadi area utama untuk menyaksikan Teluk Love. Hmmm... melihat dari jauh saja, sudah menciutkan semangat saya buat ke sana. Tinggi banget cuy! Jauh lebih tinggi dari Samboja. Belum lagi bila ke sana, harus melewati “padang pasir” pantai yang amat luas, di tengah terik matahari, kemudian menyusuri jalur naik dan mengelilingi bukit. Hadew...
Tapi udah jauh-jauh nyampe sana masak tidak merampungkan tujuan, ya khan? Akhirnya, saya membulatkan tekad untuk naik ke Bukit Suroyo ituh. Yosh!
Biaya masuk Bukit Suroyo dibanderol sebesar Rp7.500. Kenapa harganya beda dari Bukit Samboja? Karena usut punya usut, berdasarkan hasil wawancara saya dengan bapak kebersihan di atas Bukit Suroyo, ternyata kedua tempat ini pengelolanya berbeza, dan ditambah, pekerja di Bukit Suroyo itu lebih banyak (secara areanya juga lebih gede kan).
Dan perjalanan panjang saya menaiki bukit pun dimulai. Rute yang “bener” berdasarkan bapak penjaganya sih ke arah kanan dulu, tapi bila mau eksklusif ke kiri sebenernya ngga papa juga sih. Soalnya bila ke kiri sanggup eksklusif straight to spot Teluk Love. Tapi lantaran waktu itu saya ngga tau ingin mengeksplor lebih, saya ambil rute yang udah ditentukan saja.
Di Bukit Suroyo ini ada beberapa spot menyerupai goa/bunker peninggalan penjajahan Jepang, goresan pena “I Love NKRI”, area camping, Gedung Bumi (yang saya ngga ngerti itu tempat apa maksudnya), dan tentu saja spot dengan view Teluk Love. And that was so beautiful!
Total saya naik turun Bukit Suroyo ini memakan waktu sekitar satu jam.
Lanjut, sesudah Jumatan di akrab Payangan, saya memacu motor menuju Pantai Watu Ulo yang jaraknya hanya sekitar 9 menit saja (ke arah barat). Di akrab gapura, saya kembali di hadang, tapi kali ini bukan untuk parkir, melainkan tiket masuk seharga Rp8.000. Lagi-lagi entah itu resmi atau tidak, saya pun tak tahu. Dari gerbang itu kita masih harus berkendara kurang lebih 3 menit, gres balasannya hingga di pantainya. Di sana, saya di tarik lagi biaya parkir sebesar Rp5.000.
Tapi nih ya, sebenernya bila kita parkirnya mbrasak-mbrasak di tempat yang sepi kayaknya sanggup gratis deh, hehe..
Akhirnya yah sanggup ke sini. Dulu cuman denger dari cerita-ceritanya saja yang melegenda. Cerita wacana sesosok ular besar (sesuai namanya Watu Ulo=Batu Ular) yang katanya kepalanya ada di Banyuwangi, sementara potongan badannya ada di Pantai Watu Ulo ini. Dan kisah ini banyak lah versinya, sanggup sobat googling sendiri.
Waktu itu sepi banget sih di sana. Padahal lagi hari libur ya. But I enjoyed it so much lah. Saya jadi sanggup leyeh-leyeh sesuka hati di dingklik pantai, di bawah naungan payung. Kemudian menikmati makan siang berupa lobster bakar (Rp35.000). Lalu leyeh-leyeh lagi, ditemani deburan ombak, hmm.. wenak pokoke.
Puas bersantai dan menikmati Watu Ulo, tadinya saya mau eksklusif balik ke kota. Tapi kok ya pengen mampir ke Papuma lagi ya. Akhirnya saya bablas dulu ke Papuma, berhubung juga jaraknya hanya sekitar 7 menit saja (ke arah barat).Tiket masuk Papuma dibanderol Rp20.000 di hari libur, plus biaya motor Rp2.000. Jauh lebih mahal ya dari kedua pantai sebelumnya. Tapi emang Papuma ini yang paling ramai sih. Fasilitasnya juga terbilang cukup lengkap.
Cuman satu yang saya sayangkan dari dulu. Harga tiketnya kan udah mahal, mbok ya jalannya diperbaiki gitu lho. Masak udah ngehits tapi jalannya masih bolong-bolong. Dari dulu ngga ada perkembangan deh. Apalagi jalan yang buat baliknya. For information nih, kita bila mau keluar dari Papuma, ngga boleh ambil jalur ke Watu Ulo lagi gaes. Kita nanti bakal diarahin buat muterin jalan kecil yang nanti tembusnya ke jalan Watu Ulo-Ambulu juga. Dan kondisi jalannya itu, mmhh.. rosak!
Sejak terakhir kali saya ke sana. ngga banyak yang berubah sih dari Papuma. Mungkin payung-payung sama dingklik pantainya aja yang tambah banyak. Tapi dari segi kemudahan memang Papuma ini yang paling baiklah sih, dari kedua pantai tadi. Makara ngga heran bila banyak orang yang mengakibatkan Papuma ini sebagai destinasi liburan favorit.
Well, saya mengakhiri perjalanan hari itu di Papuma. Sudah tiga pantai yang saya kunjungi sedari pagi. Meskipun ya, secara geografis ketiga pantai ini masih dalam satu garis, tapi masing-masing mempunyai daya tarik yang berbeda. Semoga ke depan, pantai-pantai ini, dan pantai-pantai di Jember lainnya sanggup lebih terawat dan terjaga kebersihannya ya. Makara sanggup makin meningkatkan pariwisata di Jember.
But overall, that was a fun one-day-trip! ☺️
Seeya
Ada yang udah pernah main ke tiga pantai ini? Share your story below... ☺️
NaraHubung:
Pantai Payangan & Teluk Love
Desa Sumberrejo, Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember
Pantai Watu Ulo
Desa Sumberrejo, Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember
Pantai Papuma
Desa Lojejer, Kecamatan Wuluhan, Kabupaten Jember
Thanks-List:
YOU, for reading this! :)
Tidak ada komentar