Hari Kamis, 13 April, saya terbangun dari kawasan tidur yang nyaman sekitar pukul 06.00/07.00. Lupa tepatnya, soalnya habis tepar semaleman. Oiya, sedikit review perihal kamar di Jazz Guest House ini, everything was good! Awalnya saya pesen single bed, cuman karna ada suatu masalah, saya dipindah ke kamar double bed. Thats fine, tho. Suasana kamarnya cukup bersih, rapi, ada AC, TV, dan WiFi. Kamar mandinya juga meskipun kecil, tapi berfungsi dengan baik dan ada shower air hangatnya. Dan sebagai nilai plus juga, kita sanggup sarapan gratis! Yaa, walaupun dengan sajian seadanya ya. Tapi overall, untuk harga segitu, kemudahan dan pelayanan yang diberikan sudah melebihi ekspektasi saya.
Jazz's Room
Saya udah beres siap-siap sekitar pukul 08.00 and I’m ready to hit the road! Sebenernya, Jazz Guest House ini nyediain juga motor buat disewa, tapi kurang beruntungnya saya, waktu itu semua motornya habis disewa orang lain. Alhasil, saya terpaksa (tapi tetap menyenangkan) keliling kota dengan jalan kaki dan naik angkot. Thats life tho, terkadang kita tidak menerima apa yang kita inginkan. So, yah, nikmati aja apa yang kita punya dan apa yang sanggup kita lakukan.
Untungnya, lokasi Jazz Guest House ini berdekatan dengan beberapa attraction di kota Bandar Lampung. Dan untuk spot pertama, saya bergerak menuju salah satu kawasan yang direkomendasikan di TripAdvisor, yaitu Vihara Thay Hin Bio. Letaknya sekitar 260 meter dari penginapan, jadi cukup jalan kaki aja sekitar 5 menit.
Thay Hin Bio
Thay Hin Bio merupakan vihara tertua se-kota Bandar Lampung, bahkan se-provinsi Lampung. Tempat ini dibangun sekitar tahun 1850 (so, usianya udah 160 tahun lebih) oleh seorang budhist asal Tiongkok berjulukan Po Heng, dan ia menjadi saksi bisu letusan dahsyat Gunung Krakatau pada tahun 1883 silam. Pasca pemugaran, vihara ini kini berdiri kokoh dan tetap beroperasi sebagai kawasan ibadah, plus destinasi wisata yang patut untuk dikunjungi.
Dibandingkan dengan bangunan-bangunan disekitarnya (yang mayoritas ruko), Vihara Thay Hin Bio tampil sangat mencolok dengan dominasi warna merahnya. Begitu masuk, kita akan disambut dengan aroma dupa yang cukup tajam, of course lah ya, namanya juga vihara. Dan kita akan dibentuk terkesima dengan arsitekturnya yang cyantique. Semua patung, ukiran, lukisan dibentuk sangat indah, sangat detail, and very... Chinese, hehe.. Di dalam vihara, terdapat beberapa ruangan dengan aneka macam patung. Dari patung Dewi Kwan Im, Anjing Langit, dan banyak lagi yang saya ngga hafal (dan ngga terlalu ngerti). It was beautiful. Cuman saya ngga terlalu usang di sana, lantaran kebetulan lagi sepi, dan pakaian saya juga ngga terlalu “sopan” (I was wearing a very short pants), jadi awkward sendiri mau ngubek-ngubek seisi vihara. So, saya bergerak ke kawasan berikutnya. Oiya, untuk memasuki vihara ini kita tidak dipungut biaya lhoo alias geratis.
Inside Thay Hin Bio
Next, saya jalan lagi, kali ini eksklusif ke toko buah tangan paling legendaris se-Bandar Lampung, apalagi jikalau bukan Toko Manisan Yen-Yen! Biasanya mah beli buah tangan belakangan yak, tapi berhubung ini lagi searah dan jaraknya hanya 5 helaan napas saja, kesudahannya saya mutusin buat eksklusif kesana. Waktu itu, toko ini masih agak sepi lantaran gres buka, jadi saya sanggup agak santai buat lihat-lihat dan icip sana icip sini, wkwk... Yang sering dibeli orang di sini sih biasanya keripik pisang, kopi, sambal, dan manisan. Saya fokus ke keripik pisang aja, lantaran selain ngga sanggup bawa banyak-banyak (due to saya ngga mau cek in bagasi pesawat) keripik pisang Lampung ini rasanya emang lezat banget. Apalagi yang rasa coklat sama kopi. Hmmm... yummess... Oiya, for information, kini Toko Yen-Yen ini ngga jual lagi keripik pisang brand Aneka lho, tapi mereka jual hasil produksi sendiri yang diberi label “Iyen”. Rasanya? Tetep lezat kok, hehe...
Yen-Yen outlet
Setelah beli oleh-oleh, saya terpaksa balik dulu ke guest house lantaran saya ngga mungkin ngelanjutin jalan dengan tentengan kresek besar berisi keripik pisang ya. Fyuh.. And next, saya kembali ke jalanan dan bergerak menuju Monumen Krakatau di Taman Dipangga. Jaraknya sekitar 800 meter dari guest house, jadi ya cukup jalan kaki juga.
Dipangga Park
Sekitar 15 menit berjalan, sampailah saya di Taman Dipangga. Sebenernya nih, kawasan ini sanggup jadi asyik buat nongkrong dan rekreasi keluarga. Areanya luas, banyak pepohonan, bahkan ada semacam panggung terbuka gitu, tapi ya sayangnya, kawasan ini tampak ibarat kurang terurus dengan beberapa sampah yang masih tercecer. But overall, its a nice place.
Krakatau Monument
Nah, di tengah taman ini, sehabis naik beberapa anak tangga, ada sebuah bangunan yang dikenal dengan Monumen Krakatau. Monumen ini “terbuat” dari rambu bahari yang terhempas (sekitar 1,2 km dari kawasan aslinya) akhir tsunami pasca letusan Gunung Krakatau tahun 1883. Rambu bahari ini disangga oleh ganjal semen yang berhiaskan relief kejadian meletusnya Krakatau. Melihat relief tersebut dan membayangkan jauhnya rambu itu terseret sedemikian jauh, cukup menciptakan saya bergidik atas apa yang terjadi 130 tahun silam. That was thrilling.
Krakatau Monument's reliefs
Well, kita tinggalkan saja kenangan jelek itu dan lanjut ke destinasi berikutnya. Kali ini, saya mau seneng-seneng, lantaran mau... makan! Hehhe.. Saya mau menyambangi salah satu kawasan makan yang juga nge-hitz seantero Lampung. Tempatnya ialah Bakso Sonhaji Sony! Rasanya kurang jikalau ke Lampung tapi ngga nyicipin Bakso Sony inih. Cabang terdekat dari lokasi saya dikala itu, jaraknya sekitar 4 km, jadi mau ngga mau saya harus naik angkot (warna ungu). Setelah muter-muter sekitar 15 menit, sampailah saya di lokasi dan ternyata masih belom buka, wkwk... Mereka bukanya pukul 10.00.
Bakso Sonhaji Sony
(via makananlampung.com)
Setelah beberapa menit menunggu, kesudahannya saya sanggup pesen juga semangkok bakso yang populer itu. Penampakannya sih sama ibarat bakso pada umumnya ya (of course). Ada pentol, mie kuning, bihun, disiram kuah kaldu, dan ditabur seledri dan bawang. Tapi pas kita belah pentolnya, wew.. Terasa padat, tapi ngga alot. Keliatan banget jikalau proporsi daging dalam gabungan pentolnya cukup dominan. Thats good. Cuman sejujurnya, jikalau dinilai dari rasa keseluruhan.. berdasarkan saya pribadi... lezat sih, tapi ngga terlalu spektakuler. Buat saya, agak kurang nendang aja rasa kaldunya. But thats my opinion ya. Overall, it was delicious. Untuk semangkok bakso+mie yang saya pesen, harganya dibanderol Rp15.000. Oiya, selain jual bakso siap santap, di sini jual juga bakso beku dan daging sapi potong.
Baksonya...
(via makananlampung.com)
Jual daging juga...
Next, kenyang makan, rasanya saya perlu jalan kaki lagi agar makanannya turun di perut. Kebetulan, ada satu destinasi lagi yang letaknya tidak jauh dari Bakso Sony ini. Kebetulan juga, searah buat pulang ke guest house (berhubung saya kudu check out pukul 13.00). Tempat tersebut ialah Masjid Agung Al-Furqon. Jaraknya sekitar 1,4 km dari Bakso Sony dan butuh waktu sekitar 20 menit berjalan kaki.
Masjid Al-Furqon from the street
Pembangunan Masjid Al-Furqon ini diprakarsai oleh presiden pertama kita, Ir. Soekarno, pada tahun 1951. Masjid yang terletak di jantung kota ini , merupakan masjid terbesar se-antero Lampung. Dengan kapasitas hingga 2000 orang, masjid ini tidak hanya digunakan sebagai kawasan ibadah, tapi juga untuk pertemuan, resepsi pernikahan, peringatan hari keagamaan, serta destinasi wisata bagi para pelancong. Pas saya kesana pun, waktu itu lagi rame banget lantaran ada peringatan Isra’ Mi’raj. Banyak anak kecil pakai kostum, ada panggung, ada orang jualan, dll. Thats was so crowded.
The mosque
"Sudahkah Anda Sholat.......?"
Next, lantaran udah makin siang, saya putuskan buat balik ke guest house. Kata temen saya sih, di sana ada GoJek, tapi sehabis pesen dan nunggu usang banget ternyata ngga ada yang “nyantol”. Heft. Akhirnya, saya naik angkot lagi dah. Mana pake program salah jurusan segala, wkwk.. Pokoknya ya, jikalau kita milih bepergian naik angkot di kota asing, banyak nanya aja sama supirnya. Dan ngga cukup sekali nanya. Tapi alhamdulillah, saya hingga kembali dengan selamat di guest house sempurna waktu. Dan saya check out dari sana sekitar pukul 12.45.
Nah, rencana berikutnya, sebenernya saya mau pergi ke Krakatau dan sehabis riset-riset, ternyata agak susah jikalau mau ngeteng/ngecer sendirian ke sana. Belum lagi problem SIMAKSI dan kapal buat hoping island. Jadi, mau ngga mau ya pake travel agent/ikut open trip. Saya udah nyari beberapa travel agent di grup BPI (Backpacker Indonesia) sebelumnya, tapi ternyata buat yang tanggal segitu (14—15 April) rata-rata udah pada full atau geser ke tanggal 15—16 April. Heft. Akhirnya, saya putusin aja lah buat pergi ke Pelabuhan Bakauheni dulu (rata-rata open trip itu start point-nya disana), sambil nunggu + nyari-nyari + mikir-mikir mau kemana selanjutnya, wkwk...
Beruntungnya saya, temen-temen crew Jazz Guest House mau nganterin saya ke kawasan mangkal kendaraan beroda empat travel ke Bakau(heni). Ngga jauh dari guest house-nya juga sih. Nah, buat ke Bakau, kita sanggup salah satunya pakai kendaraan beroda empat travel dengan harga Rp50.000-an, atau opsi lain, kita sanggup balik ke terminal Rajabasa dulu, terus naik bus jurusan Bakauheni. Tapi berhubung saya udah males mau ng-angkot lagi, kesudahannya saya naik travel. Cuman minusnya, ya, nunggu penuh penumpangnya luama banget.
Perjalanan ke Bakau memakan waktu sekitar 2—3 jam dan di sepanjang jalan, kita akan dimanjakan dengan pemandangan bukit-bukit hijau. Tapi udaranya tetep panas. Heft. Karena tidak mengecewakan lama, saya pun ketiduran. Namun hanya sebentar, lantaran si kakak supir membawa kendaraan beroda empat kolam pembalab F1, sehingga menciptakan para penumpang sering menyebut nama Tuhan. Namun, alhamdulillah, sekitar pukul 16.00, kami datang di Pelabuhan Bakauheni dengan selamat.
Port of Bakauheni
(via liputan6.com)
Ternyata pelabuhannya sepakat juga ya. Bersih, rapi, modern, dan tampak lebih terjaga keamanannya. Setelah sholat Ashar, saya jalan keluar pelabuhan sambil cari penginapan. Ada kali 1,5 km saya jalan dan tanya sana-sini, gres kesudahannya nemu penginapan terdekat (dan kayaknya satu-satunya di deket pelabuhan *cmiiw). Sebenernya, ia itu kawasan makan (RM Mini Khas) dan rest area gitu, cuman di sana ada rumah yang kamarnya disewain juga. Harganya Rp150.000 per malam. Lumayan mahal sih tapi yah gimana lagi.
Nah, selama di penginapan inilah saya ngubek-ngubek internet lagi buat cari opsi destinasi selanjutnya. Sempet kepikiran, apa mau balik aja ke Jakarta terus reschedule tiket pesawat, wkwk.. But, NO! Masak udah jauh-jauh ke Lampung mau eksklusif balik. Akhirnya, sehabis pencarian dan pertimbangan panjang, saya mutusin buat putar setir ke Pahawang!
Sebenernya Pahawang ini udah muncul di awal pas saya lagi riset destinasi wisata di Lampung. Cuman saya kesampingkan karena... saya ngga sanggup berenang! Sementara mayoritas aktivitas di sana ialah snorkeling, and everything related to the water. Tapi akhirnya... lantaran gagal ke Krakatau, dan daripada saya ngga ada tujuan terus balik... kesudahannya saya putusin buat ke sana. Dan alhamdulillahnya, ada travel agent yang kebetulan tanggal trip-nya cocok (ke Pahawang juga susah jikalau mau ngeteng sendirian).
Next, saya bakal ceritain pengalaman saya snorkeling pertama kali, with all of the drama, terus ketemu temen-temen baru, dan apa-apa saja yang kita lakukan selama di Pahawang, so stay tune... J
NaraHubung:
Vihara Thay Hin Bio
Jln. Ikan Kakap No. 35, Pesawahan, Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung
Phone: (0721) 482708
Toko Manisan Yen-Yen
Jln. Ikan Kakap No.86, Pesawahan, Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung
Phone: (0721) 482192
Open: 08.00–21.00
Website: iyenfoods.com
Monumen Krakatau/Taman Dipangga
Jln. WR. Supratman, Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung
Bakso Sonhaji Sony
Jln. WR. Monginsidi, Durian Payung, Tanjung Karang Pusat, Bandar Lampung
Phone: 085764139899
Open: 10.00–21.00
Masjid Agung Al-Furqon
Jln. P. Diponegoro, Gulak Galik, Teluk Betung Utara, Bandar Lampung
Phone: 085268207999
Thanks-List:
wikipedia.org, tribunnews.com, for the info
Tidak ada komentar